Bidadari Rimba [1]

oleh

[Novelet]

Oleh: Salman Yoga S

Pengantar Redaksi:

Setelah mendapat apresiasi dari sidang pembaca yang cukup menggembirakan dengan penayangan novelet karya Win Ruhdi Bathin yang berjudul Alivtina sebanyak 14 edisi pada tahun 2016, Ruang Budaya LintasGayo.co yang mempunyai visi mempublikasi dan mengabadikan nilai-nilai budaya dan sejarah Gayo dalam tahun 2017 ini akan kembali menyajikan sebuah novelet  terbaru yang berjudul “Bidadari Rimba”. Ditulis oleh Salman Yoga S, penayangannya akan hadir secara berkala tanpa mengurangi ruang dan porsi jenis karya sastra lainnya.

Sidang pembaca dan pencinta sastra yang kami cintai, novelet ini adalah sajian kedua di Ruang Budaya LintasGayo.co yang media online lainnnya di dunia hanya sedikit yang menyajikan hal yang sama. Diinspirasi dari hasil liputan-liputan crew media ini dan disiarkan beberapa waktu yang lalu. Novelet “Bidadari Rimba” berlatar sejarah perang melawan kolonialis dan keberadaan makhluk yang bernama Manti di belantara Gayo, sosok makhluk misterius berwujud manusia yang konon hidup di hutan-hutan rimba.

Perbedaannya dari novelet sebelumnya adalah pada bahasa pengantar. Novelet “Alivtina” disajikan sebagai hasil terjemahan dengan menggunakan bahasa Gayo dari naskah asli yang berbahasa Indonesia, sementara novelet “Bidadari Rimba” disajikan dalam bahasa Indonesia.

Akhirnya dengan rendah hati, kami persembahkan novelet fiksi “Bidadari Rimba”. Selamat berapresiasi dan semoga bermanfaat.[Redaktur Budaya dan Sastra LintasGayo.co]

***

BAWA apa saja yang dapat mematikan. Pedang, pisau, rui tuénéh, gegasak racun, kunyur uluh atau apapun itu. Jangan lupa pang-pang yang punya mantera uris dan kebal berada di barisan paling depan, yang lain ikut di belakangku dan tunggu perintah”.

Ilustrasi Novelet Bidadari Rimba

Aba-aba dari lelaki tegap itu menggelegar, membangkitkan semangat puluhan tentara tak berseragam. Tubuhnya kekar dengan otot-otot tangan yang membiru. Sementara sekumpulan orang yang diperintah terlihat bergegas membenahi barang bawaan dan perlengkapan senjata siap hunus. Seketika anjing-anjingpun menggonggong seperti menyaksikan sesuatu berkelebat di antara kegelapan dari pucuk-pucuk pepohonan belantara. Kabut mulai menguap beranjak ke udara seiring asap tungku ditiup angin. Hari masih gelap, udara dingin menyapu setiap pori-pori. Usai shalat subuh yang khusuk, perapian dipadamkan dengan semburan air dari ruas-ruas bambu.

“Ingat, jangan ada jejak yang tertinggal”

Kata lelaki itu lagi sambil berdiri membetulkan kain sarungnya yang diselempangkan ke bahu. Matanya awas menghitung satu demi satu para pengikut setianya. Tak jarang ia juga memantikkan kata-kata yang berbau mantra dalam kunyahan sirih di mulutnya yang memerah. Sesekali ia semburkan kehampir setiap sudut bekas tempat mereka tidur semalaman.

Sebuah camp yang terbuat dari tumbuhan hutan, mirip sebuah gubuk yang berkamuflase dengan alam sekitar. Atapnya dipenuhi dengan jalinan dedaunan liar, sementara tiang-tiangnya adalah potongan cabang dan ranting kayu yang diikat dengan belahan rotan. Ada lima camp yang dibuat berjajar mengapit sebuah camp yang terlihat lebih tinggi dan luas.

Dari atas anak tangga camp inilah lelaki tegap itu memandang ke sekitar sambil mengawasi sekelilingnya.

Ada kecemasan sekaligus tanggungjawab besar yang ia emban, sebuah kondisi yang sama sekali tidak pernah diinginkan oleh setiap anak negeri. Jika bisa memilih, sesungguhnya lelaki tegap itu lebih nyaman berada di rumah bersama ayah ibu dan kelima adik-adiknya yang mulai tumbuh remaja. Mengolah tanah dan menanaminya dengan sayur mayur hijau, atau berlumur lumpur di sawah menanam padi untuk kelangsungan hidupnya sekeluarga. Malam bercengkrama di sisi perapian dengan gelak canda bocah-bocah lucu melafal ejaan alif di atas baris a, ba di bawah baris bi, ta baris depan tu, abitu atau bershalawat kepada Nabi Muhammad dengan nada didong. Ketika sudah larut malam mendekap selimut dengan buaian kekeberen Tetungkapur.

Namun sejak kabar kedatangan para penjajah yang ingin menguasai tanah dan rakyatnya terdengar mulai mendekat, ia tak dapat tenang lagi berada di kampung. Terlebih berita-berita yang ia terima dari sejumlah pedagang garam dari pesisir, penjajah-penjajah itu juga berencana akan melakukan penyerangan ke daerahnya.

“Betul bang, mata kepalaku sendiri yang melihat mereka membawa senjata. Setiap pagi mereka berbaris di tanah lapang dan berteriak één, twee, drie, een saluutschoten beweging. Bahkan barang-barang dagangan kami selalu diperiksa. Jika ada yang membawa pedang atau senjata lainnya lalu ditangkap”, kata Brahim suatu sore di teras menasah kampung.

Ini tentu bukan cerita pertama yang didengar oleh lelaki tegap itu. Beberapa hari sebelumnya si Amat juga pernah menyampaikan kesedihannya karena sebagian dari hasil panen padinya harus diserahkan kepada kopral penjajah itu. Katanya sebagai pajak.

Hey elke keer dat u ons rijstoogst belasting ja, anders kon je sterven schot”, jelas Amat terbata-bata menirukan bahasa tentara berkulit merah. []. Bersambung……

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.