Qanun Jinayah Aceh Jangan Sampai Seperti KUHP

oleh

Oleh : Dr. Marah Halim, S.Ag., M.Ag., MH*

70 tahun lebih usia KUHP di zaman kemerdekaan, plus pra kemerdekaan berarti telah ratusan tahunlah UU tentang hukuman terhadap kejahatan tersebut berlaku di republik yang katanya sudah merdeka ini. Ibarat orang yang sudah lansia, masihkah bisa diandalkan sebagai pelindung? Itulah kira-kira perumpamaan dari keberadaan KUHP terhadap masyarakat.

Hukum, khususnya hukum pidana atau jinayah, jika tidak diubah bisa jadi bukan membawa kebaikan bagi masyarakat, justru menjadi tirani bagi masyarakat. KUHP yang mendewakan hukuman penjara untuk semua kejahatan telah terbukti membawa penderitaan untuk banyak orang, bukan hanya yang dipenjara, tetapi juga orang-orang yang berkaitan dengan dirinya; istri menjadi “janda”, anak jadi “yatim”, orang tua kehilangan anak, dan sebagainya. Hukuman penjara membuat orang “mati” sebelum mati.

Intinya, bukan hukuman penjara harus ditiadakan, tetapi perlu dipikir ulang, perbuatan jahat apa saja yang layak hukuman penjara dan berapa lama yang dianggap adil bagi semuanya, bagi pelaku dan bagi masyarakat.

Namun meski buruknya hukuman penjara itu sudah disadari sejak lama, tapi KUHP yang menjadi sumbernya tidak juga diubah meski fakultas hukum ada di seantero universitas di Indonesia, guru besarnya juga banyak, doktornya juga tidak sedikit, magisternya “beleak” tapi KUHP tidak tetap abadi. Yang bersuara hanya sebagian kecil dari para guru besar itu, bahkan telah beberapa orang guru besar hukum pidana yang sudah almarhum belum sempat melihat hukum pidana karya anak bangsa berlaku di republik ini.

Yang jelas persoalannya bukan masalah kemampuan para guru besar, para doktor, para magister, dan para sarjana hukum di kampus; hukum pidana baru itu harus lahir melalui persalinan politik, jika dokternya dalam hal ini parpol tidak berkenan menolongnya maka sampai kapanpun hukum pidana itu tidak akan lahir.

Akhir tahun lalu, para perancang UU KUHP baru itu hampir saja berteriak kegirangan tatkala parlemen yang “mengandungnya” telah menunjukkan tanda-tanda mengedan; sepertinya akan segera melahirkan. Tapi, alangkah kecewanya mereka, lagi-lagi dokternya yaitu parpol yang kuat menggagalkan proses itu.

Ironi memang, KUHP yang sudah usang itu kini betul-betul tidak lagi dapat diandalkan untuk menjadi medium berlindung masyarakat dari kejahatan-kejahatan yang potensial mengganggu ketenangan hidup. Puncak dari kemarahan yang terpendam itu salah satunya sering terungkap tanpa sadar dalam memberi kepanjangan dari KUHP, “kasih uang habis perkara”.

Hukum yang Statis itu Merusak
Setiap kita membaca al-Qur’an pasti isti’azhah, membaca “aku berlindung kepada Allah dari setan yang dikutuk”, kini mari kita baca sama-sama bahwa kita berlindung kepada Allah dari perilaku-perilaku setan yang terkutuk, yaitu pola pikir-pola pikir setaniyah yang tidak mau berubah kepada yang lebih baik karena ada kepentingan sepihak atau segelintir orang atau kelompok yang dipertahankan. Pola pikir yang anti perubahan itu jika didukung oleh instrumen politik yang kuat maka akan sangat sulit untuk mengajukan perubahan apapun.

Kita berlindung kepada Allah, jangan sampai sindrom KUHP yang tidak berubah itu terulang kembali pada qanun jinayah di Aceh. Qanun Jinayah di Aceh harus diperlakukan sebaliknya, jika perlu setiap tahun ia direvisi agar selalu segar dan sangar pada kejahatan, sama halnya seperti parang, harus diasah terus jika dirasa tidak berfungsi dengan sebenarnya.

Dilema KUHP sebaiknya menjadi pelajaran berharga bagi kita di Aceh yang menerapkan hukum jinayah sebagai bagian dari instrumen perlindungan masyarakat Aceh. Jangan sampai hukum jinayah disakralkan atau dianggap suci seolah tidak bisa diubah, justru hukum jinayah harus diubah sesering mungkin. Bahkan jika perlu, setiap tahun harus direvisi hal-hal yang bisa membuat penerapannya menyebabkan ketidakadilan bagi masyarakat, baik materilnya maupun formilnya. Setiap tahun hukum apapun yang menyangkut kepentingan masyarakat harus “berulang ubah”.

Aceh harus betul-betul mengambil manfaat sebesar-besarnya dari keberadaan qanun jinayah untuk melindungi masyarakat. Hukum pidana plus yang tidak berlaku di tempat lain di Indonesia harus bisa menjadi instrumen yang mendukung wujudnya ketertiban sosial di Aceh.

Perbuatan-perbuatan pidana yang dimasukkan ke dalam qanun jinayah meski sekelas peraturan daerah adalah perbuatan-perbuatan yang merupakan induk dari berbagai kejahatan. Di manapun di dunia, induk kejahatan itu adalah khamar, judi, dan zina. Meski ada 10 jenis jarimah dalam qanun jinayah, tetapi sesungguhnya hanya tiga itu saja.

Perubahan yang simultan baru akan bisa terjadi jika kita betul-betul merubah paradigma dan pola pikir kita bahwa hukum jinayah dan hukum-hukum tentang masalah lainnya dalam pelaksanaan syari’at Islam bukan tujuan, bahkan syari’at Islam itu sendiri bukan tujuan; yang menjadi tujuan adalah kemaslahatan hidup bersama kita sesama manusia. Jadi, hukum mengabdi pada masyarakat atau sosial, bukan sebaliknya seperti KUHP, sosial masyarakat yang dipaksa mengabdi kepada hukum.

Jika hukum jinayah tidak diubah, bisa-bisa dia menjadi alat untuk membuat penderitaan manusia, bukan lagi alat untuk merekayasa sosial ke arah yang lebih baik. Contohnya telah ada dan nyata. Salah satu masalah dalam penerapan hukum jinayah yang kerap muncul dalam berbagai forum tentang itu adalah hukuman bagi pemerkosaan.

Qanun membangun sistem hukuman yang bersifat alternatif (tergantung pada keputusan hakim), yakni antara cambuk 125 s.d 175 kali atau denda 1250 s.d 1750 gram emas atau hukuman penjara 125 s.d 175 bulan.

Dalam praktik, ada putusan Mahkamah Syar’iyyah yang hanya menjatuhkan hukuman cambuk kepada pemerkosa, selesai dieksekusi cambuk dia bebas lenggang kangkung lagi. Tentu ini sangat meresahkan masyarakat dan melukai rasa keadilan bagi korbannya.

Pemerkosaan tentu saja harus dianggap sebagai kejahatan luar biasa karena menyangkut kehormatan perempuan. Pemerkosaan tidak bisa dipandang sama dengan kejahatan seperti mencuri, minum khamar, berjudi dan sebagainya; ia harus dianggap sebagai extra ordinary crime seperti halnya korupsi.

Banyak masyarakat yang memprotes penerapan hukuman cambuk bagi pemerkosa. Hukuman cambuk dianggap terlalu ringan untuk kejahatan sekelas memperkosa. Pemerkosaan dapat disamakan dengan penjajahan atas kehormatan dan martabat seseorang, baik laki-laki maupun perempuan.

Jika hukumannya terlalu ringan, maka dikhawatirkan orang tidak akan takut melakukan perbuatan terkutuk itu. Menurut mereka hukuman yang paling layak adalah penjara.

Tanpa terasa, 6 tahun sudah masalah-masalah yang seperti hukuman terhadap pelaku pemerkosaan itu nangkring dalam qanun jinayah dan belum ada tanda-tanda akan berubah; padahal telah dibuat berbagai forum seperti seminar dan FGD yang menggunakan anggaran negara untuk membahas itu.

Dalam seminar, semua stakeholders tampak sepakat untuk mengubah ketentuan-kietentuan qanun yang tidak memberi perlindungan dan jaminan hak masyarakat luas, tetapi setelah diseminarkan dan di-FGD-kan hasilnya seolah raib ditelan bumi, dan begitu ada kasus lain muncul barulah siuman kembali dari pingsan kesadaran.

Mekanisme yang Mudah

Dibandingkan KUHP, merubah Qanun Jinayah jauh lebih mudah mekanismenya sebab ia hanya setingkat peraturan daerah. Keberlakuannya juga hanya untuk Aceh. Karena itulah, ibarat obat ia harus terus ditingkatkan sesuai tantangan penyakit yang dihadapi di lapangan.

Penyebab mandegnya perubahan adalah birokrasi yang tidak luwes dan luas memberi kesempatan dan dukungan untuk merubah ketentuan-ketentuan jinayah yang tidak pro-perlindungan masyarakat. Banyaknya hasil kajian dari berbagai forum seharusnya terus direkam oleh berbagai instansi terkait untuk segera diproses. Membiarkan hasil kajian yang berharga sama saja membiarkan masyarakat menderita.

Seharusnya prinsip yang dipegang dalam hukum jinayah sama dengan prinsip dalam ilmu kesehatan. Dalam ilmu kesehatan, satu orang saja yang terkena penyakit yang menular atau berbahaya, sudah cukup dianggap sebagai kejadian yang luar biasa (KLB). Prinsip yang sama perlu diadopsi saat memperlakukan hukum jinayah.

Satu orang saja tersiksa dan merasa tidak adil dengan putusan jinayah, maka sudah cukup syarat untuk meninjau ulang ketentuan yang ada, jika dibiarkan berlarut akan memakan korban berikutnya. Kini itulah yang terjadi. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.