Pentingkah Modul Penguatan Moderasi Beragama?

oleh

Oleh : Johansyah*

Beberapa waktu lalu, Kementerian Agama (Kemenag) mengeluarkan modul bertajuk “Membangun Karakter Moderat: Modul penguatan Nilai Moderasi Beragama pada RA-MI, dan MTs-MA. Menurut Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Kemenag, modul ini bertujuan untuk memperkuat karakter moderasi siswa agar tidak ekstrim kanan, yakni kafir mengkafirkan, dan tidak ekstrim kiri yakni liberal (Republika online, 04/07).

Dalam hal ini, sebagaimana dilansir di Republika online (06/07), seorang cendikiawan muslim dan prakrisi pendidikan Islam, Adian Husaini menilai bahwa modul ini dikhawatirkan akan menambah beban guru.

Menurutnya pembelajaran yang ada saat ini sudah cukup, tidak perlu lagi ditambah dengan yang lain. Jika ada umat muslim yang tidak moderat dalam beragama, berarti ada yang keliru dengan pemahamannya.

Sekiranya dipertanyakan lagi, perlukah modul penguatan moderasi beragama di madrasah? Kita bisa lihat beberapa aspek terkait. Paham ekstrim, baik kiri maupun kanan yang muncul di Indonesia saat ini, apakah muncul dari lulusan-lulusan madrasah? Dan apakah sistem pembelajaran agama di madrasah saat ini cenderung melahirkan generasi yang ekstrim?Ataukah ada faktor eksternal lain yang sebenarnya tidak berkelindan dengan pembelajaran agama di madrasah sedikit pun

Dalam pandangan saya kemunculan paham ektrim bukanlah disebabkan karena pembelajaran agama Islam di madrasah yang keliru. Atau bukan pula karena para gurunya mengajarkan agar saling kafir mengkafirkan maupun mengarah ke paham liberal. Justru selama ini pembelajaran agama Islam di madrasah sudah berada pada jalur yang tepat dan tidak perlu diragukan lagi.

Artinya saya ingin tegaskan bahwa kemunculan paham ekstrim itu bukanlah disebabkan oleh pembelajaran agama Islam di madarasah yang keliru. Justru kemunculan paham ini lebih disebabkan oleh faktor eksternal. Di antaranya adalah jaringan internasional seperti Islamic State of Iraq And Syiria (ISIS) yang merambah ke Indonesia.

Mereka merekrut orang-orang yang pemahaman Islamnya dangkal dan mendoktrin pemahaman keliru tentang Islam itu sendiri sehingga banyak yang terpengaruh.

ISIS sendiri menurut analisis banyak kalangan, sebenarnya bukan murni lahir dari gerakan dan perjuangan Islam sesungguhnya, tapi segaja diciptakan oleh kelompok tertentu untuk mengobrak-abrik Islam. Bisa dikata ISIS merupakan proyek politik besar yang bertujuan untuk melemahkan Islam itu sendiri, agar Islam identik dengan ekslusif, teoris, dan agama yang kejam.

Sekiranya ISIS sungguhan berjuang atas nama umat Islam dan membela umat Islam, seharusnya mereka berada di garda depan menggaungkan dan melakukan jihad (jika jihad dimaknai sebagai perang membela Islam) ketika muslim Uighur disakiti, muslim Rohingya ditindas, dan ketika Palestina berjuang dari tekanan dan penjajahan Israel.

Tapi di mana mereka? Sama sekali tidak pernah kelihatan. Anehnya mereka melakukan bom bunuh diri di beberapa tempat dengan menyebutnya sebagai bagian dari jihad, padahal yang mereka bunuh juga adalah saudara sesama muslim. Bukankah aneh?

Selain ISIS dan organisasi yang serupa, paham ektrim diakui atau tidak muncul di dunia kampus. Ide dan gagasan Islam liberal lebih banyak muncul dari kalangan kampus, terutama Universitas Islam Negeri (UIN) yang pada intinya merupakan sesuatu yang wajar jika pemikiran-pemikiran itu berkembang terbatas untuk kalangan kampus.

Sayang, terkadang pikiran-pikiran aneh dalam pandangan awam ini terkadang disebar begitu saja ke publik tanpa mempertimbangkan akibatnya. Alih-alih pembaharuan, pada akhirnya pemikiran-pemikiran ala liberal ini kemudian mendapatkan hujatan dari kalangan awan. Sementara mereka yang memiliki pemikiran menganggap awam perlu berpikir lebih cerdas. Ujung-ujungnya bukan solusi problematika Islam yang diperoleh, tapi persoalan umat yang semakin runyam saja.

Kalau begitu, yang menjadi pusat perhatian pemerintah terkait paham ekstrim sejatinya bukan madrasah, karena paham Islam ekstrim sama sekali tidak berkaitan dengan lembaga ini. Justru yang harus menjadi perhatian pemerintah adalah dunia kampus dan politik Islam global.

Justru ketika modul penguatan moderasi beragama diperuntukkan bagi madrasah, ada kesan bahwa teroris dan jihadis yang bunuh diri seolah-olah lahir dari kekeliruan pembelajaran agama di madrasah.

Dengan tetap berusaha berpikir positif, jangan-jangan pembuatan modul ini proyek kelompok tertentu. Mudah-mudahan tidak. Lagi pula, untuk menguatkan pemahaman dan karakter moderasi beragama, kita maksimalkan saja mata pelajaran agama Islam yang sudah ada di kurikulum madrasah, mulai dari qur’an, hadits, akidah akhlak, fiqh, sejaah kebudayaan Islam, dan bahasa Arab.

Semua materi dalam kurikulum agama madrasah tersebut selama ini justru mengarah pada pemahaman Islam moderat. Satu contoh saja, ketika kita mengajarkan sejarah kebudayaan Islam, dengan sub materi sejarah perjuangan Rasulullah Saw yang penuh sabar, menghargai orang lain yang berbeda keyakinan sekali pun, bagaimana pula metode dakwahnya yang sangat santun, berbasis pada keteladanan, dan seterusnya.

Lalu di mana ekstrimnya? Justru materinya sangat kental dengan nilai-nilai moderasi beragama. Demikian halnya dalam akidah. Kita mengajarkan kepada anak agar memiliki tauhid yang kuat. Mampu memahami dan mewujudkan lalilaha illallah dalam kehidupan.

Sembari mengajarkan kepada anak-anak agar tetap menghargai orang lain dengan keyakinan yang berbeda. Meski alqur’an menyebut mereka kafir, tapi dalam interaksi keseharian, katakan dengan orang China di sekitar, tentu kita tidak mengajarkan anak-anak agar memanggil mereka kafir.

Dan tentu, bicara arti kafir dalam pandangan alqur’an sebenanya juga bukan sekedar terkait dengan orang yang berbeda keyakinan, justru orang yang tidak mensyukuri nikmat juga disebut alqur’an sebagai kafir.

Intinya di sini, kita mengajarkan anak-anak kuat secara tauhid dengan tetap menghargai keyakinan orang lain dalam batas-batas yang telah ditetapkan. Jangan pula moderasi beragama ini sampai disalahpahami dan salah kaprah, yakni dengan menganggap semua agama sama sehingga memeluk agama saja tidak ada masalah. Tentu pemahaman seperti ini menyesatkan anak-anak kita nantinya.

Sebagai upaya antisipatif terhadap menyebarnya paham ekstrim, modul tentang moderasi beragama sah-sah saja. Tapi bagi saya pribadi, kalau memang tujuannya menguatkan dan menumbuhkan karakter moderasi beragama, maksimalkan saja materi pendidikan agama Islam yang ada.

Tanpa faktor politik, sebenarnya umat Islam Indonesia adalah umat yang sangat moderat dan saling menghargai antara satu dengan yang lainnya. Buktinya minoritas tidak pernah merasakan tekanan psikologis yang berarti. Bandingkan dengan nasip minoritas muslim Rohingya, Uighur, dan yang lain-lainnya. Jadi soal membangun karakter moderasi di madrasah tidak perlu diragukan lagi. Semoga bermanfaat.

*Kasi Dakwah dan Syi’ar Pada Dinas Syari’at Islam dan Pendidikan Dayah Kabupaten Aceh Tengah.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.