Pemimpin yang Berjarak

oleh

Oleh : Arfiansyah, PhD

Dalam diskursus filsafat negara dasar dan klasik, negara dibentuk atas dasar kesepakatan warganya. Pada masa-masa awal, warga sepakat untuk mendirikan, karena itu mereka memperjuangkan, sebuah satu kesatuan masyarakat politik dengan batas wilayah tertentu.

Dengan kesepakatan itu, mereka bersama-sama memperjuangkan masa depan bersama. Tidak ada kontrak tertulis. Tidak ada kesepakatan tertulis. Kesepakatan itu murni bersumber dari cita-cita bersama yang muncul dari hati dan pikiran yang dalam.

Dalam konteks di Aceh misalnya, orang Aceh dahulu tidak pernah tahu batas wilayah ujung timur negara yang mereka sepakati untuk bergabung. Bahkan sebagian besar orang Aceh dulu, mungkin tidak pernah bertemu dengan orang Sulawesi. Apalagi Papua.

Tapi dalam cita-cita mereka, wilayah dan orang-orang di dalamnya akan menjadi saudara yang kemudian mereka sebut sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Mereka menetap dari Sabang hingga Marauke.

Mereka ini membayangkan dalam kepala mereka ada sebuah negeri yang besar akan dibentuk. Mereka tak perlu tahu siapa orang-orang di dalam negeri yang besar itu. Yang mereka perlu tahu hanyalah apakah orang-orang itu memiliki cita-cita dan imajinasi yang sama.

Lalu kemudian, mereka menyepakati bahwa layaknya sebuah rumah tangga atau desa, negara harus memiliki pemimpin. Mereka bersama-sama sepakat untuk menunjuk seorang yang layak untuk memimpin langkah mereka menuju masa depan bersama.

Pemimpin ini ditunjuk, disepakati, dan diangkat oleh masyarakat yang tadi bersepakat. Pemimpin tidak bekerja sendiri. Dia didukung oleh orang-orang yang menurutnya bisa mewujudkan mimpi bersama.

Karena mustahil mengajak semua masyarakat untuk bermusyawarah setiap hari, dia meminta orang-orang yang pintar, cerdik cendikia dan berkepribadian mulia untuk bersamanya mengemban amanah masyarakat.

Tentu saja masyarakat juga dilibatkan dalam proses bernegara melalui beberapa media yang dibuat untuk mempermudah dan mempersingkat proses komunikasi antara masyarakat dan pemimpinya.

Karena tabiat manusia yang linglung dan mudah dibisiki iblis, warga juga sepakat bahwa pemimpin ini harus dikontrol untuk menghindari kekuasaan menjerumuskannya yang juga berarti menjerumuskan masyarakat.

Dia kemudian dikontrol oleh sekelompok orang yang ditunjuk dan diangkat oleh masyarakat. Pemimpin dan kelompok itu juga harus dikontrol bersama-sama. Untuk itu dibuatlah alat kontrol berupa seperangkat hukum.

Semuanya harus patuh dan memegang teguh hukum. Baik pemimpin, kelompok pengawas, dan masyarakat sama-sama harus taat pada hukum agar ketertiban umum terwujud dan agar tidak individu yang disakiti.

Negara-negara yang sekarang maju adalah negara-negara yang pemimpin dan kelompok pengawasnya itu menyadari bahwa mereka ditunjuk, disepakati dan diangkat oleh masyarakat.

Mereka berpegang teguh pada hukum yang mereka sepakati. Apapun yang mereka kelola adalah milik masyarakat yang mempercayakan tugas pengelolaan itu kepada mereka. Dalam kata lain, mereka tidak memiliki harta benda apapun.

Mereka tidak memiliki uang kalau masyarakat tidak sepakat untuk memberikan mereka gaji. Mereka tidak memiliki rumah dan mobil dinas kalau masyarakat tidak mengizinkan mereka untuk memilikinya. Mereka tidak bisa melakukan penambangan, bila masyarakat tidak mengizinkanya karena potensi-potensi buruk yang diakibatkan oleh penambangan.

Mereka tidak bisa melakukan perjalanan dinas apabila masyarakat berpikir bahwa itu tidak diperlukan atau memberi mamfaat untuk cita-cita bersama tadi.

Pada masa-masa kritis seperti saat bencana kesehatan saat ini, kesadaran dan kemampuan pemimpin dan orang-orang yang ditunjuk dan diangkat oleh masyarakat itu sedang diuji.

Apakah mereka layak mendapatkan kepercayaan itu atau tidak. Beberapa negara menghadapi krisis kesehatan ini dengan mengajak masyarakat yang memberikan kepercayaan kepada mereka.

Beberapa negara berhasil melakukan itu, terutama negara maju. Masyarakat berpatisipasi penuh mendukung semua rencana pemerintah karena mereka percaya bahwa semua rencana pemerintah adalah untuk mereka.

Kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin adalah kunci. Contoh di antaranya adalah Belanda, Singapore, Jerman, Swiss, dan negara-negara Skandanavia.

Kepercayaan ini dibentuk karena kesadaran pemimpin/pemerintah bahwa semua yang dia kelola dan keuntungan dari pengelolaan itu adalah milik masyarakat dan karenanya harus kembali ke masyarakat.

Sehingga, meskipun pemerintah menerapkan pajak negara yang sangat tinggi, seperti di Finlandia dan Belanda, masyarakat percaya bahwa pajak itu kembali ke masyarakat dalam berbagai bentuk seperti infrastruktur jalan yang lebar dan mulus, fasilitas kesehatan lengkap, pendidikan, lingkungan dan lainnya.

Pemimpin di negara-negara itu tidak berpikir sehingga tidak mengatakan bahwa semua yang berasal dari pemerintah, terutama dalam keadaan bencana, adalah bantuan pemerintahan kepada masyarakatnya.

Tetapi mereka berpikir bahwa itu adalah kewajiban yang mereka harus lakukan kepada masyarakat yang telah menunjuk, menyepakati, dan mengangkatnya menjadi pemimpin.

Dalam berkomunikasi mereka mengunakan kata “memberikan” atau “menyalurkan” dan kata-kata lain yang tidak menempatkan pemerintah pada satu sudut yang berbeda dan jauh dari masyarakat.

Belanda misalnya, pemerintahnya mendisribusikan (tidak mengunakan kata bantuan) laptop gratis untuk untuk anak-anak SD hingga SMA yang tidak memiliki laptop untuk belajar online. Fasilitas internet juga diberikan.

Kata “bantuan” memberi makna keterputusan yang jauh antara pemimpin dan mayarakat. Sehingga memberikan kesan kuat bahwa pemimpin atau pemerintah dan masyarakat adalah dua kelompok yang berbeda.

Dengan menghindari kata-kata seperti “bantuan” dalam pekerjaan dan keterbukaan dalam sikap pemimpin, masyarakat dan pemimpin serta orang-orang yang dia tunjuk untuk bekerjasama dengannya menjadi saling percaya dan menjadi satu kesatuan.

Satu kesatuan ini persis seperti satu kesatuan keluarga (asal asul negara dalam filsafat negara klasik dimulai dari sebuah keluarga).

Kepala keluarga berusaha keras untuk bekerja mencapai cita-cita keluarga. Kepala keluarga, anak, atau saudara kandung tidak pernah mengatakan memberikan bantuan kepada anak-anak, orang tua atau saudara.

Tetapi mereka memberi atau memenuhi kewajiban terhadap anak-anaknya, ibu-bapak atau saudara. Keterbukaan kepala keluarga akan kekurangan dan kelebihan menjadi kepercayaan yang kemudian menjadi modal utama untuk berkerja bersama-sama di dalam keluarganya.

Keacuhan masyarakat di Aceh akan arahan pemimpin dan pembantunya dalam mengangani wabah adalah buah dari sikap yang berjarak yang ditunjukan oleh pemimpin dan orang-orangnya.

Masyarakat tidak merasakan bahwa pemimpin dan kelompok pengawasnya tadi adalah bagian dari mereka. Entah kenapa di Indonesia, sejak puluhan tahun silam, pemimpin dan kelompok-kelompok yang ditunjuk oleh masyarakat terus menerus memisahkan dirinya dari masyarakat.

Siapapun yang ditunjuk, disepakati dan diangkat oleh masyarakat selalu saja menjauh dan membentuk kelompoknya sendiri yang terpisah dari masyarakat. Mereka menjadi kelompok lain; Kelompok penguasa.

Sedangkan masyarakat adalah objek kekuasaan. Kelompok rentan. Ini sama seperti hubungan kepada rumah tangga dan pembantu rumah tangga. Atau, pada masa lalu, seperti tuan dan budak.

Kepala keluarga/tuan dan pembantu rumah tangga/budak tidak pernah bersepakat atas dasar sukarela seperti hubungan suami istri atau masyarakat dan pemimpinnya. Mereka diikat oleh dasar kekuasaan dan keterpaksaan.

Dampak buruk dari ini tentu saja seperti yang telah kita perhatikan bersama-sama. Pemimpin berjalan di atas cita-citanya sendiri.

Dengan kekuasaan yang tidak kontrol oleh pengawasnya dan dengan hukum yang tidak dia pegang teguh, dia “memberi bantuan” bukan melaksanakan “kewajiban” untuk masyarakat yang mempercayakan harta benda mereka (negara dan segala sesuatu di dalam tanah, air dan di udara) kepadanya.

Lihat saja tulisan pada sembako yang baru saja kita terima. Kita senang menerimanya. Tetapi tidak bangga.

*PhD Antropologi Hukum di Universitas Leiden, Belanda

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.