Kritisi, Refleksi dan Evaluasi Penegakan Hukum Jinayah di Aceh

oleh

(Masukan untuk FGD di Kejati Aceh, 05 Agustus 2020)

Oleh Dr. Marah Halim, S.Ag., M.Ag., MH

Qanun Jinayah di Aceh secara umum telah berlaku di Aceh selama 20 tahun. Dalam masa pelaksanaan yang panjang itu, baik lembaga penegak hukum maupun masyarakat luas masih merasakan ada hal-hal yang masih lemah dan kurang, karena itulah para stakeholders perlu duduk bersama membicarakan masalah ini. Kejati Aceh mengambil inisiatif untuk melaksanakan FGD (Focus Group Discussion), kebetulan penulis diajak menjadi salah seorang peserta.

Berikut adalah buah pikiran penulis merespon permasalahan yang diangkat dalam FGD tersebut yang mungkin bermanfaat sebagai bahan pemikiran bersama untuk menjadikan hukum jinayah sebagai instrumen perlindungan masyarakat yang lebih baik.

Kritisi Kerangka Pikir FGD

Judul “penegakan hukum jinayah berbasis syari’at Islam sebagai kekhususan Aceh”, pertanyaannya adakah hukum jinayah yang berbasis lain? Juga kata “kekhususan Aceh” atau “keistimewaan Aceh” tidak match dengan berbasis syari’at Islam, karena SI dasarnya bukan UU 18/2001 atau UU 11/2006, tetapi UU 44/1999, tapi keistimewaan Aceh.

Judul optimalisasi penegakan hukum jinayah, tapi isu yang diangkat tidak merepresentasikan keresahan stakeholders penegak hukum utama (kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, Pemasyarakatn), yang muncul hanya “kejaksaan”, seharusnya semua muncul, pertanyaan saya, apakah ada memanfaatkan hasil pelatihan integrasi yang dilakukan DSI yang sudah tiga kali, tapi dari redaksi tidak :

  • Perbedaan persepsi di kalangan penegak hukum dalam menerapkan ketentuan jinayat, mis. dalam kes pelecehan seksual thd anak;
  • Penegakan hukum jinayat hanya pada beberapa jenis jarimah dalam di QA 6/2014, belum pada jarimah lain dalam berbagai QA;\
  • Paradigma yang terbangun di masyarakat terhadap penuntutan hukum jinayat identik dengan hukuman cambuk;
  • Belum pernah ada pendidikan dan pelatihan penegak hukum terpadu dengan modul yang terstruktur dan terintegrasi untuk menyatukan persepsi.

Pertanyaannya, apakah 4 isu itu adalah input yang disepakati untuk diproses/dibedah dalam FGD ini? Atau ini menjadi ajang “brain storiming” atau “curhat” masing-masing lembaga penegak hukum?

Judul “optimalisasi penegakan hukum jinayah”, jika dihubungkan dengan stakeholders yang hadir, sebetulnya yang ditunggu dari setiap wakil instansi disini adalah terobosan atau langkah inovatif dari masing-masing instansi, bukan lagi masalah. Akumulasi terobosan masing-masing itulah nanti mengoptimalkan penegakan hukum jinayah, karena ini “kerja sistem”, bukan satu lembaga saja. Jadi, setiap wakil instansi mengemukakan konsep inovasinya.

Judul mengisyaratkan tekad optimalisasi kuat, tetapi tidak dibekali dengan perubahan paradigma, jika sudah bermasalah tentu paradigma yg perlu diubah, ada shifting paradigm. Setiap terobosan untuk optimalisasi, yang ditinjau pertama kali adalah paradigmanya dulu, setiap lembaga penegak hukum sulit membuat terobosan-terobosan jika paradigma baru tidak dibangun, ada 4 paradigma yang harus diubah:

Pertama, paradigma “penegakan hukum” seperti yang lazim kita lihat, sebaiknya diubah dengan “perlindungan masyarakat” yang lebih filosofis dan obyektif, sebagai tujuan pembangunan itu sendiri; penegakan hukum agak subyektif, maunya kita. Bukan optimalnya penegakan hukum yang perlu dirisaukan, tapi optimalnya perlindungan masyarakat; sebab penegakan hukum bukan tujuan, tapi alat. Rasa terlindungi dan rasa adil yang harus dilihat, 4 masalah diatas itu semua masalah penegak hukum. Perlindungan masyarakat bersifat sosiologis, dinamika masyarakat yang menentukan seperti apa hukum, law as a tool oaf social engineering, hukum harus ikut dinamika sosial, bukan sebaliknya. Dalam ushul “taghayyur ahkam bi taghayyur amkinah, azminah, wa ahwal”.

Kedua, peralihan dari paradigma kekhususan menjadi kepeloporan. Dari judul tampak paradigma memandang hukum jinayah sbg kekhususan, mengapa tidak dipandang sebagai kepeloporan dalam pembangunan hukum pidana nasional yang mandeg itu, sebab kalau tujuannya perlindungan masyarakat, maka Aceh dengan hukum jinayahnya telah memikirkan bagaimana masyarakat lebih terlindungi semua kemaslahatannya: agama, nyawa, akal, kehormatan, harta, keturunan, lingkungan; yang semuanya terkait dengan daya tahan bangsa itu sendiri. Jadi, bukan dari Indonesia untuk Aceh, tapi dari Aceh untuk Indonesia, banyak konsep yang berawal dari Aceh. Ini agar kita percaya diri untuk memperbaiki terus menerus hukum materil dan hukum formil jinayah.

Ketiga, pluralisme penyelesaian pidana, tidak tunggal karena yang dituju adalah rasa keadilan dan perlindungan; sesuai semangat al-Qur’an, taubat, maaf, dan hukum. Karena itu berbagai struktur perlu diberdayakan, jangan ada superioritas dalam eksistensi dan fungsi, ukurannya adalah tercapaikah rasa keadilan atau tidak. Kenapa? Kecenderungan penyeragaman juga krn mindset mengedepankan hukumnya, bukan mengikuti realitas sosial yang dinamis.

Refleksi dan Evaluasi Penegakan Hukum Jinayah

Sesuai tujuan FGD: untuk melakukan refleksi dan evaluasi sekaligus membangun kesamaan persepsi dan dukungan dalam upaya penguatan penegakan hukum jinayat di provinsi Aceh, maka ada tiga hal yang saya ingin refleksi dan evaluasi:

Pertama, menurut saya sebagai akademisi, 20 tahun sudah, berbagai kelemahan sudah selayaknya kita benahi, dengan dada lapang harus diakui. Kalau tujuan FGD ini refleksi dan evaluasi, maka masing-masing lembaga penegak hukum harus legowo mendedahkan kelemahan dan kendala lembaganya, dan terbuka pada solusi apapun, perlindungan masyarakat pikirkan.

Kedua, penilaian saya sebagai akademisi, karena qanun adalah ranah pemerintah daerah, maka sebaiknya ditegakkan oleh perangkat daerah atau WH saja, biar birokrasinya efektif dan efisien; kepolisian dan kejaksaan biar ngurusi yang besar-besar dan jadi pembina. Karena jarimah yang ditangani kelas menengah-ringan saja, agar tidak mahal di ongkos dan waktu, dan juga tidak melanggar HAM dalam prosesnya. Agar eksistensi WH lebih powerful, kita bisa bercontoh pada KPK diberi fungsi penyidikan dan penuntutan khusus untuk tipikor. Saya kira WH pun sudah siap, sudah 20 tahun, sudah dewasa. Jika ini terjadi, mekanisme penganggaran daerah juga lebih mudah.

Ketiga, setelah 20 tahun kita menerapkan hukum jinayah, khususnya 6 tahun QA ttg hukum jinayah, tentu kita melihat kelemahan dan kekurangan sehingga autput dan outcome keadilan sulit didapatkan. Konsep perbaikan ayo kita buat, hari ini kalau bisa kita buat kesepakatan untuk membuat draft perbaikan untuk hukum materil dan hukum formil jinayah: dari WH, Polri, Jaksa, Hakim, akademisi, Dinas Syari’at Islam, MPU, MAA, DPRA, dan lain-lain; ayo kita adu konsep tentang hukum materil dan hukum formil yang mendekati keadilan, nanti akan ada tim khusus untuk memfinalisasinya; jangan hanya mengandalkan konsep dari akademisi dan Dinas Syari’at Islam. Ke-3 hal: pelaku, jarimah, dan hukuman perlu dipikirkan sdh mengarah ke perlindungan dan keadilan-kah; jika merasa ada yang lebih baik, maka ajukan konsep. Karena dalam semua tahapan penegakan hukum itulah keadilan itu dipertaruhkan. Jadi, saatnya hukum materil dan formil untuk jinayah dibangun dengan pendekatan induktif, bukan dengan pendekatan deduktif seperti 20 tahun ini.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.