Jatuhnya Benteng Pëparik (Bag 5) ; Bidin, Sang Kejurun Petiamang

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Di tengah pasukan Marsose berseragam hijau yang sedang mengaso. Tampak anak muda usia dua puluhan yang tidak pakai seragam. Wajahnya cukup tampan dan dari garis wajahnya tampak garis-garis kebangsawanan.

Anak muda ini bernama Bidin, secara de jure, saat ini dialah penguasa tertinggi di wilayah kejurun Pëtiamang, di mana Paser dan Pëparik adalah bagian dari wilayahnya.

Dia duduk terpaku di bawah sebuah pohon yang cukup rindang. Masih terbayang di matanya, bagaimana benteng Paser jatuh dan mayat-mayat orang-orang sebangsanya bergelimpangan bersimbah darah.

Berbagai macam perasaan berkecamuk di dadanya. Masih terbayang di wajahnya, bagaimana raut muka Rëjë Paser yang dia lihat pertama kali saat mereka bertemu dengan Sultan Aceh di Rawe, di wilayah Lut. Wajah keras penuh kebanggaan itu terakhir dia lihat sudah layu dipenuhi darah dalam keadaan tubuh tanpa nyawa.

Bidin sangat menyesalkan kekeras kepalaan rakyat di wilayah kekuasaannya yang ngotot melawan Belanda, padahal dari sisi apapun mereka kalah segalanya. Belanda sudah tahu persis bagaimana keadaan setiap kampung, siapa saja orang-orang berbahaya, senjata apa saja yang dipunya. Sementara, rakyat Gayo, benar-benar tidak tahu apa-apa tentang lawannya. Keputusan rakyat Gayo dan Alas untuk berperang dengan Belanda ini, di mata Bidin seperti orang yang memutuskan masuk ke dalam gua tanpa cahaya sementara di dalamnya dipenuhi dengan hewan-hewan berbahaya, seperti kelabang, ular sampai beruang. Tak ada harapan untuk keluar hidup-hidup.

Dia sangat menyesalkan berbagai informasi menyesatkan yang disampaikan orang-orang yang katanya patriot sampai ahli agama, bahwa kalau Belanda berkuasa, mereka akan dikafirkan, tidak boleh lagi menyembah Allah, masjid-mesjid akan dibakar dan anak-anak akan dibunuh dengan suntikan.

Padahal sepengetahuannya, Belanda tidaklah seperti itu. Banyak sekali pegawai Belanda yang merupakan muslim yang taat. Mesjid-mesjid dibangun, anak-anak disekolahkan, bahkan berangkat menunaikan ibadah haji ke tanah sucipun difasilitasi. Jadi buat apa melawan mereka dalam perang yang sia-sia ini, bukankah ini sama saja dengan bunuh diri?

Bidin sudah sekuat tenaga berusaha mengingatkan rakyat di wilayahnya, sudahlah menyerah saja. Tak ada gunanya melawan Belanda. Tapi para Rëjë dan Rëjë Ciq di Gayo ini benar-benar tak bisa dimasuki informasi yang benar. Sudahlah bodoh, keras kepala pula.
Posisi Bidin yang duduk termenung di bawah pohon, rupanya menarik perhatian dua orang prajurit Marsose yang juga sedang mengaso.

“Si Bidin itu apa fungsinya di sini? Katanya Raja, tapi kita lihat sampai sekarang tidak ada satupun kepala kampung yang mau mengikuti kata-katanya, tetap saja kita harus membantai satu kampung untuk menaklukkannya,” celoteh seorang Kopral asal Ambon sembari melirik ke arah seorang anak muda yang duduk termenung di bawah pohon.

“ Aku dengar dari pembicaraan para perwira komandan kita, katanya raja di sini memang berbeda dengan raja-raja di Jawa. Di sini, jangankan di belantara ini, menurut mereka, bahkan di pesisir sana pun raja tidak terlalu dipedulikan orang titahnya. Buktinya, meskipun kita sudah berhasil menangkap dan menundukkan raja Aceh. Perlawanan tetap ada di mana-mana. Ini memang tempat yang sangat berbeda dengan Jawa,” jawab temannya yang berasal dari Manado.

“Apalagi Bidin ini, masih semuda ini. Katanya, sebenarnya dia menjadi raja pun karena ambisi bapaknya. Dia masih semuda itu, belum menikah, lalu diharapkan untuk dihormati dan didengarkan oleh para pemimpin kampung itu? Ya mustahil. Ditambah lagi, dia juga tidak lahir di sini, dia lahir di Tamiang, sehingga sebenarnya tidak begitu paham karakter dan budaya orang sini,” Lanjut si prajurit asal Manado.

“Lalu, kalau dia tidak berguna seperti itu, buat apa dia tetap dipertahankan? Kenapa tidak dihabisi saja. Cuma menjadi beban,” ketus si kopral Ambon.

“Kalau aku dengar-dengar, bos-bos di atas sana punya rencana untuk dia. Gayo ini terlalu sulit untuk dikendalikan kalau situasinya terus seperti ini. Tidak ada raja yang dipatuhi, semua orang maunya melakukan apa yang dia suka tanpa ada otoritas yang dihormati. Jadi, nanti kalau daerah ini sudah berhasil kita taklukkan. Bos-bos di atas sana mau mengadopsi system pemerintahan seperti di Jawa dan daerah-daerah taklukan lainnya. Dikendalikan oleh seorang bangsawan lokal, lalu kalau ada apa-apa, kita tinggal minta pertanggungjawabannya, bukan sampai ke urusan mencuri ayampun harus Belanda yang menangani. Yang aku dengar, si Bidin inilah yang dipersiapkan untuk menjadi raja yang mengatur daerah ini,” jelas si Manado.

“Kenapa harus dia? Seperti tak ada lagi orang yang lebih pintar dan berguna,”

“Yang pintar dan berguna ada banyak, tapi yang bisa kita atur dan sudah pasti bisa kita pegang kepalanya, si Bidin ini. Karena dia tidak dihargai orang-orang di sini, dia akan bergantung penuh kepada kita. Kalau dia nanti sudah berhasil kita dudukkan menjadi raja. Orang-orang di sini mungkin saja tetap tidak menghormatinya. Tapi dengan adanya kita di belakangnya, paling tidak orang-orang akan takut dan tidak berani menentangnya. Bukankah begitu cara menundukkan orang? Kalau tidak bisa dengan rasa hormat, tundukkan dengan rasa takut,” Pungkas si Manado.

Seorang anggota pasukan Marsose tampak mendekati Bidin. Saat Bidin menoleh ke arahnya, prajurit ini menunjuk kearah bukit di mana van Daalen dan Scheepens beserta para perwira lain berada.

Bidin bangkit dari duduknya dan mengikuti sang prajurit menuju kea rah bukit yang ditunjuknya.

Terkait : Jatuhnya Benteng Pëparik (Bag 4) ; Pasukan Marsose

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.