Generasi Gayo, “Tajamkan Senjatamu”

oleh

Oleh : Marah Halim*

Suatu ketika pada Perang Salib edisi Perang Salib III (1189-1192 M), dalam suatu pertempuran sengit Salahuddin al-Ayyubi versus Richard The Lion Heart, Salahuddin terlihat ada masalah dengan pedangnya, Richard yang melihat hal itu lantas menghentikan pertempuran selama satu hari, semata-mata ingin memberi kesempatan kepada Salahuddin untuk mengasah pedangnya.

Bukan Perang Salib atau Salahuddin atau Richard yang hendak dielaborasi dalam tulisan ini, tetapi pedang yang tajam; ya, pedang yang tajam sangat penting untuk bertempur dan untuk mempertahankan diri. Tidak ada pedang atau senjata atau pedang yang tumpul sama saja membiarkan diri menjadi mangsa di hutan belantara, tak terkecuali belantara kehidupan.

Kebiasan membawa senjata tajam atau setidaknya mengoleksinya konon masih menjadi tradisi yang hidup dalam masyarakat Gayo. Bapak kami almarhum dulu menyimpan pedang panjang dalam lemari pakaian di kamar beliau sebagai alat berjaga-jaga kalau-kalau ada orang jahat. Pedang itu berfungsi menjadi “peneger semangat” kami sekeluarga; maklum kami tinggal di tengah-tengah perkebunan kopi yang luas-lebat di lembah Kelupak Mata; jarak antara satu rumah dengan rumah lain sampai ratusan meter. Semua kami tau tempat pedang itu disimpan, kadang kami coba memegangnya; mengamatinya sebagai karya seni tetapi tidak pernah mengetes ketajamannya karena kami yakin pedang itu tajam.
Perubahan Zaman

Zaman sudah berubah, masa sudah berganti; dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang normal tidak ada lagi perang dan ancaman nyawa secara fisik, justru kedua hal itu sangat dibenci. Sekarang tidak ada lagi perang kolosal yang membawa pedang yang tajam mengkilat; perang seperti itu hanya bisa kita nikmati sebagai tontonan di channel Youtube saja.

Akan tetapi, “perang” dan “serangan” tetap berlanjut dalam bentuk yang telah bermetamorfosa. Peperangan kini beralih “perang” dalam memenuhi penghidupan dan untuk bertahan hidup secara layak. Perang kehidupan, perang untuk bertahan hidup dan perang untuk membuat hidup menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.

Setiap perang bersifat “mematikan”, “merebut” dan “mempertahankan diri”; tak terkecuali “perang” saat ini juga mematikan, merebut, dan harus mempertahankan diri dengan senjata, tetapi dengan senjata yang sama sekali berbeda. Sekarang jika orang bertempur memakai pedang bisa dipastikan ia akan tewas seketika diberondong oleh senjata api.

Demikian juga, jika ada orang membawa-bawa senjata tajam seperti kebiasaan orang Gayo justru akan berurusan dengan polisi alias kena sweeping.

Senjata tajam kini berganti dengan pisau berpikir (tools of analysis) seprpti bahasa, logika, matematika, dan statistika; demikian empat sarana berpikir ilmiah menurut Prof. Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya “Filsafat Ilmu”. Ya, keempat senjata ;itulah yang harus dibawa dan harus tajam ketika mengarungi hidup di belantara kehidupan yang tak bertepi saat ini.

Memiliki dan menguasai salah satu saja senjata itu secara tajam, dipastikan seseorang akan bisa bertahan hidup dalam belantara hutan kehidupan saat ini penuh dengan persaingan dalam semua aspek kehidupan. Pedang dan pisau sudah lama “disarungkan” dan “dimuseumkan”. “Besilo nume ne doa kin ukurni jema kati maju, ilmu iwan ulu imen I dede si munentun kite murip wan denie”, begitu lirik salah satu lagu dari grup Singkite.

Dengan salah satu atau salah dua atau salah tiga dari senjata itu dikuasai dengan baik oleh seseorang, dipastikan ia bisa menghadapi “medan perang kehidupan” di manapun; bukan hanya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri.

Saat ini banyak diaspora Indonesia yang mungkin ada juga orang Gayo yang menetap di berbagai negara di Eropa, Amerika, Jepang, Korea, dan seantero dunia; pertanyaanya, mengapa mereka tetap hidup? Jawabannya tidak lain karena mereka membawa “senjata tajam” yang tidak lain adalah bahasa, matematika, logika, dan statistika seperti yang dikatakan oleh Prof. Jujun.

Banyak bidang ilmu dan pekerjaaan kini menjadikan bahasa sebagai alat. Siapapun yang menguasai bahasa, khususnya bahasa ilmu seperti bahasa Inggris dan bahasa Arab dengan baik, akan memenangkan “peperangan” dan “perebuatan” kesempatan kerja di bidang-bidang yang mengandalkan senjata itu. Ilmu-ilmu sosial dan budaya adalah ilmu-ilmu mengandalkan bahasa sebagai senjata utama.

“Bahasamu adalah batas duniamu,” demikian filsuf Jerman, Ludwig von Wittgenstein mengatakan. Benar sekali, contoh sederhana orang yang hanya bisa bahasa Gayo (lokal) maka perjalanannya paling jauh hanya sampai kilometer 35 saja; dan orang yang menguasai bahasa Indonesia (nasional) maka bisa dipastikan bisa pergi bukan saja dari Sabang sampai Merauke, tetapi juga ke negara-negara yang menggunakan bahasa Melayu seperti Malaysia, Singapura, Philipina Selatan, dan Brunai Darussalam. Jika ingin berjalan lebih jauh lagi, maka orang harus menguasai bahasa Inggris dan bahasa Arab, dua bahasa yang bukan saja bahasa komunikasi tetapi juga bahasa ilmu di seluruh dunia.

Kini, dengan majunya kebuadayaan China dalam berbagai hal, sepertinya belajar bahasa Mandarin merupakan satu kemestian jika kita tidak ingin “tewas” dalam peperangan modern ini.

Dengan senjata logika juga orang akan bisa memenangkan “peperangan”. Tidak sedikit profesi yang mengandalkan logika sebagai skill andalannya untuk “bertahan hidup”. Profesi sebagai pendakwah, penceramah, guru, dosen, penulis, dan sebagainya adalah sedikit profesi yang menjadikan logika sebagai senjata andalan. Biasanya pasangan senjata ini adalah bahasa, karena bahasa dan logika sangat dekat.

Contoh baik dalam hal ini adalah pendakwah kondang seperti Zainuddin MZ dan Abdul Somad yang bisa berbahasa dan berlogika dengan sangat baik sehingga eksis dalam waktu yang lama.

Matematika tak pelak merupakan senjata yang sangat dicari dan dibutuhkan di zaman post-modern ini. Perkembangan teknologi bisa dikatakan dipicu oleh “pedang” yang satu ini. Berbagai “senjata” lain merupakan turunan dari Matematika, misalnya ilmu komputer, ilmu akuntansi, dan sebagainya. Siapapun yang menguasai “pedang” Matematika dengan baik akan memenangkan persaingan dalam berbagai bidang. Setumpul-tumpul “pedang” ini masih dapat digunakan untuk menjadi guru les privat bagi anak-anak sekolah; sedangkan mereka yang sudah tajam menguasai ilmu pedang ini bisa menjadi programmer, akuntan, dan lain-lain.

Penguasaan pedang Matematika akan sangat baik jika dikombinasikan dengan statistika. Ilmu statistik ini sangat besar gunanya dalam perencanaan pembangunan modern. Tidak ada satupun urusan pembangunan yang tidak terkait dengan data, sebab data menyajikan kondisi tentang penyelenggaraan suatu program pembangunan.

Sampai saat inipun belum terlalu banyak orang yang menekuni ilmu pedang ini; bahkan dalam formasi CPNS tahun 2020 ini formasi ini merupakan formasi yang tidak terisi alias tidak ada pelamar. Tentu saja ini merupakan peluang sekaligus tantangan bagi generasi muda untuk menekuni ilmu pedang ini.

Tidak sedikit dari diaspora Indonesia itu adalah kaum perempuan, artinya yang memiliki senjata tajam itu adalah mereka, dan yang memenangkan pertempuran dan merebuat peluang adalah mereka; tentu hal yang sangat tidak mungkin dalam pertempuran bersenjata pedang tajam di masa lalu; pedang itu kini adalah otak yang brilian. Dalam Islam tidak ada batasan antara laki-laki dan perempuan untuk menguasai senjata ini.

Tidak adanya senjata atau tumpulnya senjata yang dimiliki oleh seseorang saat ini, dipastikan ia akan akan kalah dalam persaingan dan akan tersisih dalam kehidupan. Banyaknya generasi Gayo yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi dan lebih memilih “mencetak generasi Gayo selanjutnya” besar kemungkinan karena tumpulnya senjata yang mereka miliki (bahasa, logika, matematika, dan statistika); karena itu mereka “takut masuk hutan” karena di hutan kehidupan itu penuh dengan “binatang (orang jahat)” sekaligus “bintang (orang baik)” yang seharusnya “dikalahkan” dengan senjata berpikir yang tajam.

Kesimpulannya, tumpulnya senjata berpikir (matematika, bahasa & sastra, teknologi informasi, statistika dan logika) yang dimiliki generasi Gayo diakibatkan oleh salahnya sistem pendidikan, apakah karena siswanya sendiri atau sekolahnya, sehingga pisau yang diberikan kepada sistem sampai tamatnya tetap tumpul karena pengasahan yang salah; atau jangan-jangan pisaunya sendiri malah belum ada.

*Penulis adalah pemerhati SDM (human resources), tinggal di Banda Aceh.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.