Dua Petapa di Bawah Jantung Pisang

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

“Win, gere ke mudoa ko? Beluh ku toyoh ni awal si male peloah ho (Win, tidakkah kamu punya ilmu? Pergilah ke bawah jantung pisang yang mau mekar itu),” perintah seorang ibu setengah baya pada satu siang kepada dua anak muda tanggung yang duduk di pos ronda.

Kedua anak muda itu baru saja dibully anak-anak kota. Begitulah nasib orang-orang kampung yang kosong dari ilmu. Tidak berwibawa dan orang pun merendahkannya. Berangkat dari keprihatinan itulah ibu setengah baya itu memberi saran agar mereka bertapa di bawah jantung pisang yang akan mekar.

Tidak menunggu waktu ashar, kedua anak muda itu mulai mempersiapkan altar di bawah pohon pisang sampai posisi wajah berhadap-hadapan dengan jantung pisang itu. Para petapa hanya perlu beberapa tetes air yang jatuh dari jantung pisang yang akan mekar. Kesuksesan petapa bergantung pada keberhasilan menampung air jantung itu pada kedua telapak tangannya.

Kedua anak muda itu membuat altarnya masing-masing dengan jarak 50 meter. Mereka memilih pisang yang paling rendah dengan tujuan; pertama tidak terlalu banyak menghabiskan bahan kayu, kedua kalau godaannya berat, mudah melarikan diri.

Kedua Altar sudah berdiri dengan kokoh. Kini mereka mempersiapkan mental agar tidak keok saat bertapa datang godaan. Kedua anak muda itu tidak lagi makan. Biasa orang yang terlalu lapar hilang takutnya.

Mereka membuat diri selapar-laparnya dengan olah raga berat. Mereka mulai menguras dan mengisi bak air mandi menasah kampung. Mudah-mudahan pekerjaan mereka dihitung sebagai amal ibadah.

Azan maghrib berkumandang, mereka pun pergi ke mesjid menunaikan shalat berjama’ah. Mereka masih menunggu sampai shalat isya agar hati mereka semakin mantap dalam kesucian. Sembari menunggu waktu pukul 9 malam, mereka mengisi kekosongan waktu dengan membaca semua ayat-ayat Qur’an yang mereka hafal.

Tiba waktunya, mereka sudah duduk di altar masing-masing. Satu pemuda berniat agar memiliki ilmu supaya kuat; bisa mencabut batang kelapa, mampu melempar batu sebesar mobil Innova, dan punya kekuatan setara dengan 100 ekor gajah. Sedangkan pemuda satu lagi, punya niat dalam bertapa agar perempuan yang dia sukai tunduk patuh kepadanya sebagai mana Raja Sulaiman menundukkan Putri Balkis.

Tiga jam pertapaan mereka aman dan lancar. Memasuki jam ke empat, tepat pada pukul 12 malam mulailah datang godaan. Jantung pisang mulai mengeluarkan suara layaknya orang perempuan melahirkan. Semula para petapa menutup mata, kini mulai terbelalak karena tidak tahan mendengar jeritan kesakitan orang yang “ngeden” bayi dalam perutnya.

Masih berlangsung godaan perempuan akan melahirkan, mulai mendekat kelabang besar yang lebarnya setengah meter dan panjangnya 10 meter seakan memakan para pemuda itu. Seorang pemuda petapa yang ingin “ilmu perempuan” berteriak kencang, jatuh dan pingsan di tempat.

Petapa yang ingin kuat itu, bertanya dalam hati apa yang terjadi dengan kerabatnya? Namun dia tetap meneruskan pertapaannya. Sementara godaannya semakin mengerikan. Ular besar lewat di depannya dan berlalu, sempat pemuda itu mengurut dadanya,

“selamat…selamat,” katanya.

Tiba-tiba ular itu kembali lagi, mulutnya menganga dengan taring sebesar betis orang dewasa seolah memakannya. Petapa itu semakin takut sampai menutup matan, namun semakin dia menutup matanya semakin tampak jelas ular itu. Sementara beberapa mayat yang tidak sempurna wujudnya mengelilinginya dengan suara menyeramkan.

Dalam kekalutan itu, petapa berfikir keras dengan menganggap godaan itu seolah sedang nonton film horor 4 dimensi di bioskop. Sejak itu sang petapa tidak begitu takut lagi, namun bajunya sudah terlanjur basah. Kalau diperas airnya bisa mencapai dua gelas air minum.

Menjelang pukul 2 dini hari, kedua telapak tangan yang dirapatkan ditetesi air jantung pisang. Sejurus dengan itu, tiba-tiba datang manusia bertubuh besar datang dan duduk di hadapan pemuda petapa itu.

“Hai anak muda, apa yang yang kau inginkan,” tanyanya.
“Saya ingin kekuatan, guru!” jawab pemuda petapa itu.
“Kesinilah, saya bisikkan lafadz do’anya,” kata orang besar itu.
Petapa pun menyapu “air ketuban” jantung pisang itu ke kepalanya. “Guru besar” itupun seketika menghilang.

(Mendale, Jum’at, 3 Juni 2020)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.