Demokrasi dan Apakah Kritik Harus Disertai Solusi?

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Demokrasi, diakui atau tidak adalah produk peradaban barat. Di Barat, demokrasi lahir sebagai hasil filsafat pencerahan (Aufklaerung) yang muncul dari proses sejarah sebagai kelanjutan dari Renaissance yang merupakan pembuka gerbang keluar dari zaman kegelapan, sebagai respon atas persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat barat pada masa itu.

Karena mereka mengalami proses yang runut seperti ini, sehingga ketika demokrasi diterapkan di barat. Masyarakat di sana sudah siap karena sejarah sudah membentuk mereka melalui proses, membangun peradabannya secara runut, melalui dari masa kegelapan, ke renaissance, lalu Aufklaerung (pencerahan) yang menjadi landasan bagi mereka untuk menerima demokrasi sebagai sebuah sistem, kemudian masuk masa modern dan post modern.

Proses seperti yang mereka alami, tidak banyak dialami negara-negara non barat yang mengadopsi demokrasi sebagai sistem politiknya. Di tempat lain, seperti kita di Indonesia misalnya, awalnya demokrasi memang dipahami dengan paripurna oleh para pendiri bangsa, karena mereka memang dididik dalam alam pendidikan barat sehingga mereka mampu mengadopsi demokrasi secara paripurna.

Tapi kemudian, sejarah kita membuat segalanya berjalan berbeda. Diawali dengan proses mendapatkan kemerdekaan kita yang keras, yang dipicu dengan semangat anti asing yang membuat kita membuang nyaris semua sistem peninggalan Belanda selain sistem hukumnya. Kemudian sejarah membuat kita jatuh ke dalam rezim otoriter yang membuat demokrasi ditafsir ulang dengan tafsir tunggal penguasa saat itu di mana segala sesuatu termasuk perbedaan pendapat harus disampaikan sesuai dengan selera penguasa.

Orba membuat kita terjebak dalam suatu kekeliruan fundamental dalam demokrasi: dalam ajaran penguasa Orba, demokrasi hanyalah sesuatu yang dimanifestasikan dalam PEMILIHAN BEBAS (dan rahasia). Padahal ini adalah pemahaman yang sama sekali keliru, sebab bangsa-bangsa kuno, antara lain suku bangsa VIKING dan bangsa Yunani, sudah mempraktekkan sistim pemilihan bebas ini dalam sistim pemerintahannya, tapi apakah itu demokrasi?.

Sementara yang benar adalah: INTI daripada demokrasi adalah KEBEBASAN BERPIKIR dan BERBICARA (freedom of thought and freedom of speech)

Alhasil, pasca Orde Baru, rata-rata dari kita hanya mengetahui demokrasi sebatas ASAL-KATA nya dari bahasa Yunani yang berarti kekuasaan rakyat. Tetapi sedikit sekali dari kita yang paham kalau demokrasi kuno dari Yunani itu sebenarnya sudah sama sekali tidak memadai untuk situasi zaman sekarang, sebab terlalu primitif. Demokrasi modern yang kita kenal sekarang dan dipraktekkan di barat dasarnya adalah rasionalitas, REASON, RASIO atau akal.

Proses penuh lompatan yang tidak linier ini membuat kita tergagap-gagap. Apalagi ketika di masa Orde Baru, kurikulum pendidikan kita dirancang berbasis hafalan tanpa perlu memahami esensi.

Tahun 1998 (kembali secara tiba-tiba), demokrasi dalam pengertian adanya kebebasan berpikir dan berbicara kita dapatkan kembali, perjalanan waktu membuatnya hadir dalam bentuknya yang paling vulgar, liberal dalam pengertian bebas sebebas-bebasnya.

Pasca 1998, kebebasan berpikir dan bersuara memang kita dapatkan kembali, tapi dasarnya alias pondasinya yaitu REASON alias RASIO belum pernah dibangun. Alhasil, kebebasan bersuara ini pun jadi bablas sebablas-bablasnya.

Salah satu ciri dari demokrasi adalah adanya kritik pada penguasa. Sesuatu yang dulu di masa Orba, jangankan untuk dilakukan, bahkan untuk membayangkannya bisa dilakukan secara terbuka di depan publik secara terus terang apa adanya, rasanya mustahil. Sekarang, semuanya bebas dilakukan.

Sayangnya, karena kita memang tidak dipersiapkan untuk itu. Dalam era kebebasan ini, kita tidak memiliki bekal yang baik untuk memberikan kritik yang baik. Sehingga, saat ini, jarang sekali kita melihat kritik yang berkualitas.

Beberapa hari ini, media sosial milik masyarakat Gayo riuh denga perdebatan tentang kritik dan solusi, yang mengapungkan pertanyaan klasik “Apakah Kritik harus disertai solusi?”

Status dengan pertanyaan ini, begitu banyak dikomentari dengan riuh redam dengan berbagai jawaban, pro dan kontra. Tapi kalau kita perhatikan, tak ada satupun dari komentar itu yang mempertanyakan esensi dari status ini “Apa yang dimaksud dengan kritik, per definisi”

Diakui atau tidak, definisi kritik yang dipahami oleh setiap kita bisa dikatakan tidak pernah diajarkan disekolah. Definisi kritik yang kita pahami rata-rata adalah hasil dari persepsi dan tafsiran kita sendiri. Bukan, kritik dalam definisi skolastik atau kritik sebagaimana diartikan oleh para pendiri sistem demokrasi.

Secara umum kita amati, masyarakat kita mengartikan kritik sebagai ketidak setujuan pada satu pendapat atau kebijakan, pandangan yang berbeda, atau menunjukkan sisi buruk dari orang yang dikritik. Secara umum demikian.

Tapi benarkah definisi kritik, seperti itu?

Secara umum, kritik berasal dari kata “kritein” yang berarti “hakekat”, “substansi”, “inti masalah”, “pokok persoalan”.

Jadi dilihat dari definisi ini, sebenarnya kritik adalah sebuah usaha menunjukkan hakekat dari sebuah hal atau suatu hal dari sisi kekurangannya. Inti dari kritik adalah, menunjukkan hakekat, terlepas dari baik dan buruknya.

Karena definisi seperti itulah, di barat kritikus itu bahkan menjadi sebuah profesi yang pelakunya adalah seorang yang benar-benar professional yang mengkomunikasikan penilaian dan pendapat dari berbagai bentuk, entah itu politik, kebijakan sosial atau pemerintah, karya kreatif seperti seni, sastra, musik, bioskop, teater, mode, arsitektur sampai makanan. Kritik juga dapat dianggap sebagai subjek mereka.

Kritikus, melakukan penilaian kritis, baik yang berasal dari pemikiran kritis atau tidak, mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk penilaian sejauh mana item yang dikaji mencapai tujuannya dan niat pembuatnya dan pengetahuan tentang konteksnya. Yang disebut dengan kritik di sini adalah respon mereka pribadi , baik itu positif maupun negatif.

Ada sebuah pernyataan bagus dari Terry Durack yang merupakan seorang kritikus restoran tentang tujuan kritik. Dia menjelaskan bahwa dari kritik “Anda berharap untuk diskusi yang menyeluruh, obyektif dan sah” yang menempatkan “opera, seni, atau buku ke dalam konteks, sehingga menambah pengetahuan Anda sendiri”; dalam konteks kritik restoran, ini berarti “bukan tentang saya suka atau tidak; ini tentang saya membantu Anda memutuskan apakah Anda akan suka atau tidak.”

Dan ini bisa kita lihat di dunia Wine, dimana orang mengenal sosok Parker yang merupakan kritikus anggur kenamaan, yang pendapatnya bisa membuat harga anggur yang dia kritik anjlok sehancur-hancurnya atau sebaliknya, melambung tinggi. Karena dengan ulasannya, orang jadi mengerti, apa yang akan mereka suka dan apa yang tidak.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan hadirnya demokrasi sendiripun sebenarnya berawal dari kritik. Benar, titik tolak kemajuan Iptek dimulai oleh Galileo Galilei yang merombak dogma yang diajarkan di lembaga pendidikan yang berbasis pada filsafat Aristoteles. Pra Galilei, bisa dikatakan semua ilmuwan bahkan filsuf, hanya membebek pada Aristoteles.

Bukan hanya filsuf barat. Para filsuf muslim, entah itu Ibnu Sina, Al Farabi sampai Ibnu Rushd pada hakikatnya hanyalah “komentator” Aristoteles. Galilei membalikkan itu, meski sebelumnya dia selalu dihina dan diejek oleh kolega sesama akademisi, karena dianggap lancing menantang Aristoteles yang agung, dia tak gentar.

Dia menghancurkan dogma Aristoteles yang mengatakan benda berat akan jatuh lebih cepat dibanding benda ringan dengan cara menjatuhkan dua bola besi dari material yang sama tapi berbeda ukuran yang berat. Apa yang terjadi? Ternyata kedua bola besi berbeda berat itu, jatuh bersamaan. Gugurlah doktrin Aristoteles yang sudah bertahan selama nyaris dua millennium alias 2000 tahun.

Dunia ilmiah pun geger, banyak yang mengagumi Galilei sesudah itu, tapi lebih banyak lagi yang membencinya dan menuduhnya penyihir. Karena dogma Aristoteles tidak hanya meliputi dunia ilmiah tapi juga bahkan ranah teologi, berbagai pembuktian yang dilakukan Galilei ikut mengusik doktrin gereja.

Meski seabad sebelum kelahiran Galilei, Ferdinand Magelhaens sudah membuktikan bumi itu bulat melalui pelayarannya. Tapi, pengamatan Galileo atas peredaran bulan-bulan Jupiter mengelilingi planet induknya lah yang menunjukkan dengan jelas dan terang benderang bahwa bumi bukan pusat semesta. Alhasil seperti diketahui bersama, Galilei pun dihukum tahanan rumah oleh otoritas gereja.

Tapi meski ditahan, Galilei banyak didatangi tokoh penting dari penjuru eropa. Pertemuan dengan Galilei inilah yang kemudian menghasilkan berbagai gagasan filsafat yang terlepas dari doktrin Aristoteles.

Hampir dua abad setelah Galilei lahir Immanuel Kant yang filsafatnya kemudian mengubah total wajah dunia. Dari filsafatnya inilah kemudian lahir solusi yang menghancurkan segala penghambat yang menghalangi perkembangan ilmu pengetahuan sebagaimana dialami orang-orang Pra Galilei. Dan filsafat itu termaktub dalam buku – Critique of PURE REASON – kritik atas akal atau rasio murni.

Apa yang disampaikan oleh Kant di sini adalah permasalahan klasik di dunia ilmiah, dimana permasalahan yang dihadapi dicoba diselesaikan melalui akal murni alias PURE REASON. Di sini Kant menemukan, masalah mustahil bisa diselesaikan dengan argumen yang hanya berdasarkan akal murni, karena selogis apapun lawan bicara memberikan argumen, lawannya akan selalu bisa menemukan argumen juga kuat sehingga perdebatan tak akan pernah putus.

Contoh nyata dari situasi ini bisa kita lihat pada polemik antara Al Ghazali dan Ibnu Rushd. Tahafut Al Falasifah Al Ghazali yang penuh argumen kuat berbasiskan kitab suci dibalas dengan argumen yang sama-sama berbasiskan kitab suci dengan sama kuatnya di oleh Ibnu Rushd dalam Tahafut Al Tahafut. Sampai hari ini pendukung dari dua kubu tak pernah mencapai kata sepakat, argumen siapa yang lebih kuat di antara kedua tokoh ini.

Kemudian, kembali ke pertanyaan. “Apakah kritik harus disertai solusi?”

Dengan mengetahui definisi kritik yang berarti “hakekat”, “substansi”, “inti masalah”, “pokok persoalan”. Seharusnya pertanyaan itu tak akan muncul. Sebab dengan seorang kritikus menunjukkannya, orang yang dikritik sudah bisa menemukan solusinya, sebab dialah yang paling tahu penyebab dari permasalahan itu dan bagaimana solusi untuk mengatasinya. Malah jadi lucu kalau yang dikritik malah minta solusi pada yang mengajukan kritik.

Bayangkan, produsen anggur terkenal seperti Château Cheval Blanc atau Château Petrus mendapat kritik negatif dari Parker, kemudian sang pemilik mengatakan “ Baiklah, karena kamu mengeritik begitu, lalu apa solusi yang bisa kamu tawarkan?” Dijamin dia akan menjadi tertawaan pecinta anggur dari seluruh dunia.

*Penulis adalah pengarang novel “Romansa Gayo dan Bordeaux”

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.