Oleh: Dr. Budiyono, S.Hut, M.Si (Akademisi dan Penggiat Lanskap Gayo)
1. Pendahuluan
Aceh Tengah adalah jantung dataran tinggi Gayo, tempat kopi arabika tumbuh di antara kabut, tanah vulkanik, dan harapan petani.
Wilayah ini juga menyimpan kekayaan hutan tropis yang menjadi penyangga ekosistem dan sumber kehidupan masyarakat adat.
Namun, dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Aceh Tengah 2025–2029, arah pembangunan tampak kabur.
Pemerintah daerah terjebak dalam retorika hijau, sementara realitas lapangan menunjukkan stagnasi produksi kopi, degradasi varietas unggul, dan laju deforestasi yang mengkhawatirkan.
Kopi arabika Gayo bukan sekadar komoditas, melainkan identitas budaya dan ekonomi masyarakat Gayo. Ironisnya, komoditas ini tidak mendapatkan tempat yang layak dalam dokumen perencanaan strategis daerah.
Ketika visi pembangunan tidak berpijak pada kekuatan lokal, maka yang terjadi adalah pembangunan yang kehilangan akar dan arah.
2. Retorika Hijau dalam Dokumen Perencanaan
RPJMD Aceh Tengah 2025–2029 memang memuat istilah-istilah progresif seperti “ekonomi hijau”, “penguatan sektor unggulan”, dan “pembangunan berkelanjutan”.
Namun, tidak ada satu pun sub-bab yang secara eksplisit menyebut kopi arabika Gayo sebagai prioritas pembangunan ekonomi. Padahal, Aceh Tengah menyumbang lebih dari 40% produksi kopi arabika nasional, dan varietas Gayo 1, Gayo 2, serta Gayo 3 telah diakui sebagai varietas unggul nasional.
Lebih ironis lagi, tidak ada satu pun strategi konservasi yang menyasar Pinus merkusii Aceh, spesies endemik yang menjadi tulang punggung ekosistem hutan dataran tinggi.
Pemerintah justru sempat merencanakan menjadikan 20.000 hektare hutan pinus sebagai habitat gajah Sumatera, sebuah kebijakan yang dikritik oleh akademisi karena tidak sesuai secara ekologis. Ini menunjukkan bahwa retorika hijau tidak dibarengi dengan pemahaman ekosistem lokal.
3. Realitas Lapangan: Produksi Kopi Menurun, Varietas Terabaikan, Hutan Tergerus
Produksi kopi arabika Gayo di Aceh Tengah mengalami penurunan dari 37.000 ton pada 2020 menjadi sekitar 31.500 ton pada 2024. Penurunan ini tidak hanya disebabkan oleh faktor agronomis, tetapi juga karena kurangnya peremajaan varietas unggul seperti Gayo 1, Gayo 2, dan Gayo 3.
Ketiga varietas ini memiliki keunggulan dalam produktivitas dan ketahanan terhadap penyakit, namun tidak ada program daerah yang secara aktif memproduksi dan mendistribusikan bibitnya kepada petani.
Sementara itu, laju deforestasi di Aceh Tengah terus meningkat. Hutan pinus merkusii yang seharusnya menjadi zona konservasi justru terancam oleh ekspansi pertanian dan kebijakan yang tidak berbasis ekologi.
Ketika varietas kopi unggul dan kekayaan hutan lokal tidak dijaga, maka yang hilang bukan hanya komoditas, tetapi juga warisan ekologis dan budaya.
4. Ketimpangan Prioritas dan Lemahnya Kepemimpinan Ekologis
Anggaran pembangunan daerah lebih banyak dialokasikan untuk proyek-proyek infrastruktur fisik dan belanja rutin birokrasi. Sementara itu, sektor produktif rakyat seperti kopi dan kehutanan hanya mendapat porsi kecil dan tidak strategis.
Tidak ada sinergi antara Dinas Perkebunan, Dinas Kehutanan, dan Bappeda dalam membangun sistem lanskap berkelanjutan yang menyatukan konservasi, produksi, dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam konteks ini, pernyataan Fauzan Azima dalam sebuah diskusi publik di Aceh Besar menjadi sangat relevan:
“Damai yang kita rasakan hari ini harus kita jaga dan rawat, namun bukan berarti perjuangan sudah berakhir.”
Pernyataan ini bukan hanya refleksi atas sejarah konflik Aceh, tetapi juga kritik halus terhadap stagnasi pembangunan pascaperdamaian. Ketika perjuangan tidak dilanjutkan dalam bentuk keberpihakan pada petani, hutan, dan ekonomi rakyat, maka damai hanya menjadi jeda, bukan kemajuan.
5. Ketahanan Pangan dan Kemiskinan: Dua Indikator yang Terabaikan
Data dari Badan Pangan Nasional menunjukkan bahwa Indeks Ketahanan Pangan (IKP) Kabupaten Aceh Tengah stagnan di angka 68, jauh di bawah ambang ideal nasional 80.
Sementara itu, angka kemiskinan menurut BPS Aceh Tengah 2024 masih berada di kisaran 14,27% sedangkan angka kemiskinan Provinsi Aceh hanya 12,33%, lebih tinggi dari rata-rata provinsi.
Minimnya intervensi terhadap sektor kopi dan kehutanan berkontribusi langsung terhadap rendahnya IKP dan tingginya angka kemiskinan.
Ketika petani tidak mendapatkan perlindungan, akses pasar, dan dukungan teknologi, maka produktivitas menurun, pendapatan stagnan, dan ketahanan pangan terganggu. Ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi kegagalan struktural dalam perencanaan pembangunan.
6. Alternatif Pendekatan: Dari Lanskap ke Kesejahteraan
Untuk menjawab krisis ini, pendekatan yang ditawarkan harus bersifat lintas sektor dan berbasis tapak. Berikut beberapa strategi yang dapat diterapkan:
• Pendekatan Lanskap Terpadu: Integrasi antara konservasi hutan pinus merkusii, produksi kopi varietas unggul, dan penguatan kelembagaan petani dalam satu sistem tata kelola.
• Skema Perlindungan Petani Kopi di Kawasan Hutan: Legalitas akses melalui izin perhutanan sosial, pendampingan teknis, dan jaminan pasar melalui koperasi berbasis desa.
• Program Peremajaan Varietas Kopi Gayo 1–3: Produksi bibit unggul, distribusi gratis atau bersubsidi, dan pelatihan budidaya terpadu.
• Insentif Ekologis dan Skema Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL): Petani yang menjaga tutupan hutan dan menerapkan praktik agroekologi diberi insentif langsung dari pemerintah atau mitra donor.
• Integrasi Program FOLUR ke RPJM Desa dan Kecamatan: Bukan hanya menjadi proyek nasional, tetapi benar-benar menyatu dalam perencanaan lokal.
Dengan pendekatan ini, kita tidak hanya menekan laju deforestasi, tetapi juga meningkatkan pendapatan petani, menurunkan angka kemiskinan, dan memperkuat ketahanan pangan secara sistemik.
7. Penutup
Aceh Tengah tidak kekurangan potensi, tetapi kekurangan arah. Ketika kopi Gayo dan hutan pinus merkusii hanya menjadi narasi dalam RPJM, maka pembangunan kehilangan akarnya.
Pemerintah daerah harus keluar dari jebakan retorika dan mulai bekerja dari tapak, bukan hanya dari meja rapat. Seperti yang diingatkan Fauzan Azima, perjuangan belum selesai—dan hari ini, perjuangan itu adalah memastikan bahwa pembangunan benar-benar berpihak pada rakyat dan alam.
📚 Referensi
• Hutan Pinus Bukan Rumah Gajah – Lintas Gayo
• Kisah Pemantauan Hutan di Balik Secangkir Kopi Gayo – WRI Indonesia
• Kopi Gayo: Kajian Historis dan Sosiologis – Repository Ar-Raniry






