Saudari, Sebutan Untuk Siapa? (Menanggapi Isi Surat Perintah Kadinkes Aceh Tengah)

oleh
Surat Perintah Penunjukkan Plt Kadinkes Aceh Tengah, setelah pejabat lama mengundurkan diri, tertulis Saudari yang seharusnya Saudara. (Ist)

Oleh Muhammad Syukri*

Sejak kemarin, sebuah naskah dinas (surat resmi) yang diterbitkan oleh Pemkab Aceh Tengah beredar di whatsapp grup (WAG). Naskah dinas itu berupa Surat Perintah Nomor 875.1/199/SP/2025. Anehnya menjadi bahan tertawaan anggota WAG.

Apa yang ditertawakan? Dalam diktum pertama surat perintah itu tertulis kata Saudari dr Yunasri M.Kes. Padahal, hampir semua warga Aceh Tengah mengenal dr Yunasri M.Kes berjenis kelamin laki-laki. Kenapa tidak disebut Saudara dalam surat tugas tersebut?

Dalam bahasa Indonesia, kata “Saudari” digunakan sebagai bentuk sapaan yang sopan untuk merujuk kepada seorang perempuan, terutama dalam situasi formal atau resmi.

Biasanya, “Saudari” digunakan dalam percakapan resmi, surat menyurat resmi, pidato, atau saat berbicara dengan seseorang yang tidak terlalu akrab.

Misalnya, dalam sebuah pidato atau pertemuan, seseorang bisa mengatakan:
“Saudari Anu, apakah Anda bersedia memberikan pendapat Anda?”

Salah menulis sebutan Saudari untuk seorang laki-laki, memang persoalan sepele dalam surat pribadi. Bisa minta maaf melalui pesan WA dengan alasan salah ketik.

Namun menjadi tidak sepele manakala kesalahan itu tertuang dalam surat resmi berkekuatan hukum, apalagi ditandatangani oleh seorang kepala daerah. Siapa yang harus minta maaf?

Beberapa tahun lalu, saya pernah bertugas mengoreksi draf surat resmi sebelum diteken bupati.

Diposisi itu, saya kerap memperbaiki kata dan kalimat. Termasuk menempatkan titik, koma dan tanda baca sesuai dengan fungsinya.

Semua itu dilakukan agar bahasa dalam draf surat resmi itu mudah dibaca dan gampang dimengerti. Paling penting memenuhi standar ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD).

Ternyata fungsi yang saya kerjakan tidak disenangi oleh banyak orang. Alhasil mereka mengatakan, “kalau draf surat resmi masuk ke meja bapak itu, titik koma pun diperiksanya.”

Stigma itu sah-sah saja. Show must go on. Mungkin diantara mereka ada yang tidak suka dikoreksi atau terbiasa menggampangkan segala sesuatu. Sungguh dimaklumi.

Bagi saya, naskah resmi yang sudah dibubuhkan tanda paraf, sekurang-kurangnya tidaklah sampai ditertawakan para pembaca.

Baik karena kerancuan bahasa atau timbul multi tafsir atas isi surat resmi tersebut. Semoga pengalaman hari ini menjadi bahan renungan bagi kita semua.

*Mantan Birokrat di Aceh Tengah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.