Oleh : Zikri Iwan Sempena
Akhir-akhir ini Tarin-Tarin Ko Pe menjadi sebuah topik yang cukup hangat di kalangan masyarakat Gayo khususnya Aceh Tengah.
Perdebatan tersebut muncul berawal dari desakan ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), yakni Amry Jalaluddin terhadap Majelis Adat Gayo untuk menghapuskan Tarin-Tarin Ko Pe.
MPU menilai bahwa Tarin Ko Pe bukanlah bagian dari syariat dan bukan pula bagian dari budaya Gayo, benarkah demikian? Sebelum pembahasan lebih jauh, sepatutnya kita mengonsepkan Tarin Ko Pe dan permasalahannya agar kemudian dapat diurai lebih lanjut.
Tarin Ko Pe bukanlah subjek tunggal, ia merupakan sub bagian dari permasalahan yang lain atau lebih tepatnya musik. Tarin Ko Pe sendiri merupakan bagian dari hiburan keyboard yang diselebrasikan di sela-sela kegiatan upacara pernikahan.
Berbicara keyboard sama halnya dengan membahasa musik, keyboard dan Tarian.
Dalam perdebatan fikih sendiri, musik merupakan perdebatan yang belum tuntas antara kalangan konservatif dan moderat.
Kalangan konservatif cenderung menolak musik dengan salah satu dalil yang disandarkan pada perkataan Rasulullah,
“Sungguh akan ada sebagian dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras, dan alat-alat musik (HR. Bukhari, no. 5590) dan masih banyak dalil yang digunakan oleh mereka dalam mempertahankan argumentasinya.
Pada kalangan moderat, semisal pandangan Syeikh Yusuf Qardawi dalam karyanya berjudul fikih musik dan lagu dalam perspektif Qur’an dan Sunnah, ia cenderung menampakkan keterbukaan terhadap muk musik.
Adapun alasannya pengharaman musik itu sendiri bersifat tidak mutlak seperti pengharaman khamar ataupun zina. Pernah terdapat riwayat ketika Abu Bakar menegur budak yang menabuh sebuah rebana, kemudian nabi menegur Abu Bakar sebagai isyarat “biarkan saja hari ini hari raya” (wallahu ‘alam).
Kemudian alasan selanjutnya, musik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan publik saat ini. Musik akan selalu anda temui bahkan pada nada dering handphone yang mungkin tak sekelas Iphone, TV yang yang sampai 21 inch termasuk juga radio.
Pada intinya kemajuan zaman ini tidak bisa kita hindari dari celah kecil manapun. Di akhir dapat disimpulkan, musik diperbolehkan selama tidak mengandung kemaksiatan dalam pandangan kaum moderat. Lalu bagaimana dengan Keyboard dan Tarin Ko Pe, apakah di dalamnya terdapat kemaksiatan.
Pembahasan mengenai musik di dalam keyboard dalam pembahasan ini mungkin sementara dapat disebut tuntas, lalu bagaimana konten dari keyboard tersebut?
Setelah keluarnya pernyataan MPU Aceh Tengah tentang larangan Tarin Ko Pe ada beberapa kelompok yang agaknya panik.
Padahal yang dipermasalahkan di awal adalah Tarin Ko Pe bukan pada keyboardnya.
Ketika respons dari kalangan tersebut muncul di media kabar, entah mengapa sekilas muncul di kepala penulis kisah Rasulullah yang menentang pemujaan berhala yang memiliki dampak pada usaha pengrajin berhala saat itu dan hal tersebut juga menjadi faktor penghambat dakwah periode Mekkah. kita tidak akan membahas itu lebih lanjut, anggap saja hanya sebagai refresh sahaja.
Konten Keyboard
Kembali pada konten dari keyboard, apakah isinya sesuatu yang melanggar ketentuan syariat dan norma adat Gayo?
Selama pengamatan penulis, sejak usia 7 tahun sampai saat ini telah mengenal dan mengamati keyboard dan unsur di dalamnya, termasuk seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.
Di sini kami ingin mengajak pembaca atau netizen berpikir sejenak, apakah seorang yang tak jelas status gendernya lazim dalam adat istiadat Gayo tampil dan diberi panggung pada keyboard?
Lazimkah dalam istiadat Gayo wanita bernyanyi ditambah berjoged kemudian dikelilingi pria dan disawer di atas pentas? Itulah realitas di lapangan, dan perlu dicatat itu hanya dilakukan oleh oknum-oknum.
Nyatanya banyak dari pengelola keyboard yang taat akan norma adat dan syariat, hampir banyak kita temui para penyanyi wanita khususnya menggunakan pakaian yang sopan sesuai ketentuan adat dan syariat.
Di sini kami juga mencoba menangkap asbabul wurud dari keluarnya fatwa larangan Tarin Ko Pe oleh MPU Aceh Tengah. Permasalahan awalnya ialah semenjak viralnya biduan yang bernyanyi di atas panggung tanpa mengenakan pakaian yang sesuai adat dan syariat.
Dari itu penulis berasumsi fenomena yang terjadi pada acara ulang Transmigrasi Jagong Jeget memberi pengaruh keluarnya larangan Tarin-tarin Ko Pe.
Meskipun sebenarnya keyboard telah menjadi permasalahan tempo dulu. Misal, ketika Ramadhan di sekitaran tahun 2022 selepas Tarawih, mungkin hampir tiap malam penulis mendengar playlist Youtube Teman, full ceramah Tgk Husaini. Tgk Husaini merupakan dai kondang asal Bener Meriah. Dalam ceramahnya menyebutkan,
“saya sampaikan kepada masyarakat, MPU Bener Meriah tidak akan menghadiri undangan yang di dalamnya ada keyboard”, kurang lebih seperti itu redaksi yang disampaikan.
Tapi sayang, penulis sendiri kurang ingat alasan dari beliau. Dari itu penulis nantu akan menguraikan persoalan dalam sub saran pada MPU dan itu bukan di sini tempatnya.
Tarin-Tarin Ko Pe
Kembali pada titik permasalahan. Salah satu alasan Tarin Ko Pe dilarang karena wanita dianggap tidak layak menari atau berjoget di depan umum. Pertanyaan yang mendasar adalah, dapatkah disebut Tarin Ko Pe sebagai tarian atau joget? jawaban dari kami sendiri, jika disebut Taian dia bukan Taian, disebut joget ya dia bukan joget.
Jika disebut tarian maka ia bukan seni yang bersifat konsumtif dan jika disebut joget maka ia bukanlah gerakan carut marut yang tak jelas.
Penulis sendiri menangkapnya lebih sebagai selebrasi, sebagaimana selebrasi SIUUU… Ronaldo atau selebrasi Cool Palmer yang tujuannya adalah perayaan.
Mari kita mencoba bertanya kembali apakah selebrasi Tarin-tarin Ko Pe itu mampu memancing syahwat, karena memang umumnya dilakukan oleh wanita?
Permasalahan dasarnya ialah tercampurnya laki-laki dan perempuan dalam satu pentas yang berpotensi memunculkan sumang dalam istilah adat.
Sejauh ini sepengamatan penulis, belum terlihat campur baur itu, namun penulis agak terheran melihat kekacauan pikir pemuda, ketika menyinyir Fatwa MPU justru menampakkan hal demikian dengan mengantungkan HP di ujung sapu dan melangkah ke pentas.
Dia menolak Fatwa MPU dengan menunjukkan hal yang memang MPU kritis terhadap itu.
Lebih jauh lagi kita akan bertanya apakah Tarin Ko Pe bagian dari budaya Gayo? Jawabannya iya. Tarin Ko Pe beserta keyboardnya/kibot sadar tanpa disadari telah menjadi bagian dari budaya kita.
Perdebatan ini sudah muncul beberapa bulan lalu di media instagram dan di kalangan masyarakat masih cakah menyebutkan keyboard bagian dari budaya kita. Dalam sebuah diskusi di kampung-kampung, kibot merupakan sebuah hiburan yang diadakan ketika pesta di Gayo, terutama pesta pernikahan.
Sebelum adanya kibot, masyarakat telah lebih dulu mengenal Band. Band dan kibot sendiri disebut dibawa oleh orang Batak ke Tanoh Gayo. Menyambung penelitian Lamhot Sihombing (Peranan Alat Musik Keyboard Pada Musik Tradisional Masyarakat Karo), memang kibot sendiri telah lebih dulu dikenal di Karo sebagai hiburan yang menggantikan alat musik tradisional.
Dengan demikian dapat disimpulkan kibot sendiri telah menyatu pada kehidupan orang Gayo, baik dari segi sosial dan ekonomi.
Kesimpulan dan Saran
Tulisan ini tidaklah memberikan hasil akhir atau memberi jawaban dari permasalahan, melainkan berupaya melihat permasalahan secara lebih objektif.
Tujuan tulisan ini adalah sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat dan pihak terkait, ya walaupun terkadang masyarakatnya tidak membaca tulisan ini.
Di sini penulis mencoba memberi suara terhadap pihak terkait dan berupaya menjelaskan mengapa fatwa yang dikeluarkan MPU cenderung ditentang oleh masyarakat.
Sampai saat ini sudah lebih dari 1 Minggu dan rasanya pernyataan MPU tidak begitu di dengar oleh masyarakat.
Mengapa terjadi demikian? Menurut penilaian pribadi, fatwa yang dikeluarkan MPU terkesan terlalu cepat dalam mengambil kesimpulan.
Coba kita mengambil contoh fatwa MPU yang telah lalu seperti pengharaman Games PUBG misal. Alasan dari pengharaman tersebut karena di dalamnya mengandung kekerasan.
Argumen semacam ini biasanya kurang memuasakan dan memerlukan argumentasi tambahan. Kemudian baru-baru ini juga keluar larangan buka puasa bersama campur baur laki dan perempuan.
Dan penulis sendiri yakin fatwa tersebut tidak digubris oleh publik, karena MPU sendiri kurang memberikan alasan yang argumentatif atas fatwanya.
Hal demikian dapat dikatakan kemandekan dalam berijtihad. MPU selaku wadah para ulama perlu kiranya berijtihad di tengah majunya peradaban ini.
Banyak permasalahan baru yang mana peran ulama penting untuk itu, seperti masalah cangkul padang, tambang ilegal, bitcoin dll. Ijtihad (fikih) bagian penting dalam membangun kebudayaan muslim saat ini.
Menyambung Ahmet T Kuru dalam bukunya yang berjudul “Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” menyebutkan, jika peradaban Yunani disebut sebagai peradaban filsafat, maka peradaban Islam adalah peradaban fikih.
Bagaimana tidak, kehidupan berkeluarga anda dibangun atas hukum keluarga. Kehidupan berniaga anda diatur dalam hukum muamalah.
Saat ini permasalahan kehidupan sudah mulai baru dan kompleks termasuk permasalahan kibot dan beberapa permasalahan lain yang telah disebutkan. kibot, cangkul padang, lingkungan, pagar laut memerlukan ijtihad ulama untuk itu dan ulama pun punya ijtihad untuk itu.
Beberapa wacana yang sudah muncul seperti fikih perkotaan dan fikih lingkungan. Hukum itu milik Tuhan yang diserahkan kepada ulama untuk publik, bukan seolah penuh dimiliki oleh elit.
Kita sebagai muslim tentunya meyakini Islam sebagai Rahmatan lil Alamin. Islam sebagai rahmat bagi alam semesta ini tidaklah dapat dipahami secara utuh hanya dengan pijakan normatif. Oleh karena itu penting ijtihad ulama di situ.
Kita perlu juga mengingat kebudayaan Islam kita di Aceh khususnya Gayo telah berbenturan dengan kearifan lokal. Kebudayaan kita sendiri sebenarnya telah memiliki kaidah dalam merumuskan kebudayaan sendiri. semisal pepatah Aceh menyebutkan, “adat ngon syariat lage zat ngon sifet”. Dalam pepatah Gayo “edet mungenal, hukum mubeda”.
Ini menunjukkan Islam dalam pengertian hukum dan syariat memiliki peran signifikan terhadap pembentukan kebudayaan Aceh dan Gayo.
Terkait permasalahan di awal, penulis ingin menyampaikan kepada keluarga, jika penulis menikah nanti hendaknya cukup rukun, syarat dan walimah saja tidak lebih. Ini sekaligus pernyataan penulis, moderat dalam bersikap dan fundamental dalam berprinsip.
*Mahasiswa Pasca Sarjana, UIN Yogyakarta