Oleh : Zulfikar Ahmad Aman Dio*
Bahasa adalah cerminan peradaban, sebuah jejak yang merekam perubahan zaman. Dalam upaya merekam dinamika bahasa Gayo, pengumpulan korpus sedang dilakukan untuk melacak bagaimana bahasa ini berkembang dari masa ke masa.
Seperti halnya bahasa lain di dunia, bahasa Gayo mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh lingkungannya, baik dalam struktur maupun penggunaannya.
Teknologi yang berkembang pun turut meninggalkan jejaknya dalam khazanah bahasa ini.
Salah satu contoh menarik adalah terminologi dalam teknologi tekstil. Sebelum alat-alat modern ditemukan, masyarakat Gayo menggunakan tenun tradisional dengan berbagai alat pendukung, salah satunya lundu.
Kata ini semakin samar di ingatan kolektif, hanya tiga dari sekitar 200 responden berusia di atas 70 tahun yang masih mengenalnya. Lundu, atau ruwi ni rungkilen (bulu landak), dulu digunakan untuk mengurai benang yang kusut sebelum diletakkan di elangan.
Punahnya seni tenun Gayo menyebabkan kata ini perlahan-lahan hilang dari keseharian masyarakat.
Teknologi tradisional Gayo berkembang selaras dengan sumber daya alam yang tersedia. Dari keterbatasan, lahir inovasi yang menopang kehidupan masyarakatnya.
Korpus bahasa Gayo sendiri diawali dengan pengumpulan glosarium dari kamus yang disusun oleh G.A.J. Hazeu pada tahun 1907.
Kamus ini ditulis dengan bantuan Nyak Puteh dari Isaq dan Aman Ratus dari Gayo Lues, yang memberikan informasi mengenai istilah-istilah yang digunakan pada masa itu.
Dari kamus tersebut, terungkap bahwa cempege dahulu digunakan sebagai istilah untuk mesiu dan obat-obatan.
Menariknya, cempege kini berperan dalam teknologi modern seperti baterai litium-sulfur (Li-S) dan kaca cerdas (smart glass), yang dapat mengubah transparansi berdasarkan intensitas cahaya atau suhu.
Jika terminologi ini telah digunakan lebih dari seabad lalu, tentu ada pengetahuan lokal yang patut digali lebih dalam.
Merawat bahasa Gayo berarti menjaga warisan pengetahuan dan teknologi nenek moyang untuk kesejahteraan generasi mendatang. Tak hanya itu, melalui bahasa, kita juga dapat menelusuri jejak budaya, termasuk seni tari yang pernah berkembang.
Di sekitar tahun 1907, pada malam pertama bei (aman manyak) di rumah mpurah-nya, berlangsung malam jege kul, di mana keluarga berkumpul, menari bergantian, dan bercanda sepanjang malam.
Menjelang pagi, aman manyak diajarkan tarian oleh keluarga istrinya, mempererat rasa persaudaraan dalam ikatan pernikahan.
Malam berikutnya, pada narén bei, ia menampilkan tarian yang telah dipelajari, kali ini di hadapan saudara-saudara perempuan istrinya.
Mereka menyenandungkan lagu-lagu untuk menggoda dan menguji kemampuan menarinya, termasuk tari manuk uwo, sebagaimana tertulis dalam halaman 185 kamus Hazeu.
Kamus ini juga mencatat bagaimana seluruh prosesi mu-narén bei tetap menjunjung tinggi nilai sumang dan kemali. Bisa jadi, pada saat saudara-saudara istrinya meminta agar bei mulai menari, terdengar lantunan lagu yang menggoda:
Tarén… tarén… kopè aman manyak gelah likak…wo…
Harapan kita, korpus bahasa Gayo dapat segera terwujud, menjadi jendela bagi anak cucu untuk mengunduh kembali khazanah ilmu dan teknologi leluhur mereka, demi masa depan yang lebih sejahtera.
*Peneliti Sejarah dan Bahasa Gayo