[Puisi] Antara Gayo dan Uludac
LK Ara
Aku dari tanah Gayo, seribu bukit,
tempat angin membawa cerita nenek moyang.
Di lembah dan rimba, kami tumbuh,
menyusuri garis waktu yang jauh,
hingga tiba pada sebuah dongeng tua:
kami berasal dari Rum,
dibawa oleh Genali, seorang pelaut,
yang mengarungi samudra mencari rumah baru.
Cerita itu, yang pernah kudengar di sudut dapur,
mendadak hidup di antara awan Uludac.
Aku berdiri di puncaknya,
terbawa kereta gantung yang memisahkan bumi,
dan langit terasa begitu dekat.
Setiap langkah menuju puncak ini,
adalah perjalanan pulang,
pulang ke akar yang terbenam di antara legenda.
Uludac seperti memanggilku,
bukan sekadar tempat,
tapi sebuah isyarat:
rumah leluhur yang dulu hilang.
Di sana, aku ingin berdidong,
seperti di Gayo, di bawah langit luas,
menjeritkan lagu Ceh Uria:
“Emun si atas isihen kao mari.”
Awan tinggi, di mana kau berhenti?
Apakah jejak Genali masih tersisa di sana?
Ataukah hanya dongeng yang melayang
di antara angin yang sunyi?
Langit di atas Uludac begitu berbeda,
namun terasa akrab di hatiku.
Seolah aku, meski jauh dari Gayo,
tetap membawa serpihan tanah bukit itu.
Gunung ini mengajarkanku,
bahwa perjalanan bukan sekadar menempuh jarak,
tetapi mendekatkan hati pada Sang Pencipta.
Di tanah Gayo, bukit-bukit adalah harapan,
di Uludac, puncak menjadi jawaban.
Aku menatap dunia dari ketinggian ini,
dan melihat kebesaran-Nya.
Uludac, kau bukan hanya puncak,
kau adalah rumah bagi cerita yang hilang,
kau adalah jembatan antara dongeng dan kenyataan.
Dan aku, dari seribu bukit yang belum kupuncaki,
akhirnya mengerti:
perjalanan ini adalah takdir yang dirajut sejak lama,
oleh angin, awan, dan waktu. [SY]
Istanbul-Kalanareh, 2019~2024