Oleh : Zulfikar Ahmad Aman Dio*
Blang Rakal, sebuah wilayah di perbatasan Tanoh Gayo, menyimpan sejarah panjang hubungan manusia dan satwa liar.
Pada 19 Desember 2024, sebuah momen mengharukan terjadi di CRU Sayeung. Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, berjabat “tangan” dengan seekor gajah yang menyambutnya dengan penuh khidmat, mengulurkan belalainya dengan hati-hati ke arah menteri mengalungkan bunga selamat datang.
Dengan penuh persahabatan gajah menjulurkan belalai lembut menjabat tangan sang Menteri.
Jabat tangan ini menjadi simbol harapan, menandai akhir konflik antara manusia dan gajah yang telah berlangsung selama 17 tahun.
Namun, kisah ini tak hanya tentang pertemuan hari itu. Permukiman Blang Rakal telah berdiri jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, bahkan tercatat dalam sejarah kolonial saat Sultan Aceh melintasi kawasan ini pada Maret 1901 (baca: Surat Kabar Het News Van Den Dag, 2 April 1901, halaman 3).
Pasukan Belanda mengepung sang Sultan hingga ke Beuroesah (Bersah), yang kini dikenal sebagai Karang Ampar. Seabad lebih kemudian, wilayah ini kembali menjadi saksi drama manusia dan alam.
Konflik antara masyarakat dan satwa liar, terutama gajah, baru mulai terjadi sekitar 17 tahun lalu.
Sebelumnya, manusia dan satwa hidup berdampingan dengan harmonis. Pada tahun 1930-an, wilayah ini bahkan menjadi lokasi pembuatan film “Rango” oleh Paramount Pictures, yang menggambarkan keakraban manusia dengan satwa liar, termasuk harimau dan orangutan. (baca: https://shorturl.at/OV6Di ). Namun, perkembangan zaman mengubah segalanya.
Jejak Gajah dan Persinggungan Ruang
Hutan di sekitar Kecamatan Pintu Rime Gayo dan Karang Ampar, yang dahulu menyediakan ruang jelajah luas bagi gajah, kini menyempit oleh konversi lahan menjadi permukiman dan pertanian.
Prilaku gajah hidup berkelompok, ditepi hutan yang menyediakan pakan baginya, biasanya berupa rumput dan alang-alang. Saat gajah jantan mulai tumbuh dewasa dia pergi menjauh dari kelompok ibunya, dalam radius 60 km dia akan memantau dan menjaga ibu dan “adik-adiknya”.
Secara periodik gajah yang mengalami perubahan hormonal, dikenal sebagai “musk,” saat perubahan ini mereka menjadi lebih agresif, terutama ketika mereka kesulitan menemukan pasangan.
Meski belum ditemukan bukti kuat, gajah menghindari perkawinan sedarah. Setelah menemukan pasangan mereka akan membentuk keluarga baru, peristiwa terpisahnya gajah jantan muda kembali akan terulang.
Prilaku hidup berkelompok untuk makan dan “membangun keluarga” kini terhalang memicu konflik antara manusia dan gajah.
Koridor tradisional gajah, sebelum tahun 1980-an membentang sepanjang 3.800 kilometer dari Aceh Selatan hingga Aceh Timur, kini terputus-putus akibat pertumbuhan permukiman.
Sejak 2007, intensitas konflik meningkat. Berbagai upaya mitigasi, seperti pembangunan parit anti-gajah dan kawat kejut, belum mampu menyelesaikan masalah secara komprehensif.
Sayangnya, parit yang dibangun sering kali tidak sesuai dengan kondisi alam, sehingga mudah longsor saat musim hujan. Parit anti gajah semestinya dibangun berbentuk huruf “L” dengan dasar dan dinding agag miring, bukan berbentuk huruf “U”.
Seharusnya yang dibangun adalah “rering” (dinding-bahasa Gayo), bukan “parik” (parit).
Jalan Menuju Perdamaian
Kunjungan Raja Juli Antoni ke CRU Sayeung bukan hanya simbolis, tetapi juga bagian dari upaya nyata untuk mengakhiri konflik ini.
Menindaklanjuti hasil pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan Raja Inggris, rencana besar disusun untuk menciptakan ruang jelajah yang memadai bagi gajah.
Namun, masyarakat setempat, melalui pertemuan dengan Menteri Kehutanan, mengajukan permohonan pengelolaan hutan berbasis adat, desa, atau perhutanan sosial lainnya.
Permintaan ini menimbulkan dilema. Jika ruang yang dialokasikan untuk masyarakat tumpang tindih dengan jalur hidup gajah, konflik berpotensi berulang.
Dengan jumlah populasi gajah sekitar 75 ekor di DAS Peusangan pada 2016, kebutuhan ruang mencapai 15.000 hektare. (se-ekor gajah membutuhkan lahan seluas 200 ha untuk ketersediaan pakan sepanjang tahun).
Ini baru untuk kebutuhan pakan, belum lagi untuk kebutuhan sosial lainnya, tanpa restorasi koridor tradisional, alokasi ruang ini tetap tidak akan cukup.
Masa Depan di Tangan Kita
Jabat tangan antara Raja Juli Antoni dan gajah pada 19 Desember 2024 adalah simbol harapan dan komitmen untuk mewujudkan perdamaian abadi.
Jika masyarakat dan pemerintah berhasil menjaga harmoni seperti yang telah terjalin selama ratusan tahun di Tanoh Gayo, maka tanggal ini layak dikenang.
Semoga anak cucu kita, baik manusia maupun gajah, dapat menikmati harmoni yang sama di masa depan. Sebuah warisan perdamaian yang terjalin di bawah langit Tanoh Gayo. []