Metamorfosis Bahasa Gayo (Jelang Kongres Bahasa Indonesia XII)

oleh

Oleh : Zulfikar Ahmad Aman Dio*

Suku Gayo terdiri dari beberapa sub etnik seperti. Gayo Lut (mulai dari Selatan Laut Tawar sampai perbatasan Bireuen/Aceh Utara), Gayo Deret (Selatan Laut Tawar sampai perbatasan Gayo Lues dan Nangan Raya), Gayo Lues, Gayo Lokop/Serbejadi dan Gayo Kalul.

Salah satu perbedaan antara sub etnik ini adalah pada dialek bahasa Gayo yang digunakan.

Dialek Gayo lut digunakan di kawasan Bukit dan Cik Bebesen, Gayo Deret di kawasan Linge, Syiah Utama, dan Lokop Serbejadi, dialek Gayo Lues di Kabupaten Gayo Lues dan Gayo Alas, serta dialek Gayo Kalul di Kawasan Aceh Tamiang.

Namun saat ini batas-batas dialek ini semakin kabur. Demikian pula dengan bahasa Gayo yang digunakan perlahan-lahan mulai berubah menemukan bentuk yang baru. Khususnya di wilayah Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Perubahan bahasa Gayo secara bertahap mulai berubah sejak pertengahan 30-an ketika pendidikan formal mulai diperkenalkan di Takengon dengan beroperasinya Holland Inlandsche Scool (HIS) yang mulai beroperasi pada 2 Januari 1936.

Sebagai sekolah formal pertama di Takengon, buku-buku ajar yang digunakan berbahasa melayu. Secara bertahap bahasa Melayu mulai diserap dalam bahasa Gayo.

Jika periode sebelumnya bahasa Gayo dipengaruhi oleh bahasa Arab yang ditandai dengan penyerapan beberapa kosa kata Arab dalam bahasa Gayo seperti amal, baleh (akil baleh), bele (bala), hejet (hajat), ilet (bilat), keber (kabar), Joyah (dari Jawiyah-pojok), Kewe/sengkewe (qahwa – kopi) dan berbagai isitilah-istilah dalam agama Islam.

Ada kosa kata dalam bahasa Gayo yang berubah namun memiliki makna yang sama, seperti kata bewene yang berarti semuanya. Sebelum tahun 1920-an kata ini masih berbentuk bedne (huruf “d” dibaca samar, sehingga terdengar ben-ne).

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam bahasa Gayo dari masa ke masa, terutama dalam pengunaan kosa kata dalam percakapan sehari-hari, semakin lama semakin mendekati bahasa Indonesia.

Sebagai contoh saat mengungkapkan “mereka sudah sibuk, kita masih tenang-tenang saja” pada saat ini diungkapkan “Pake ho (jema) nge meh sibuk, kite ni tenang ilen” sedangkan jika kalimat ini disebutkan sebelum tahun 20-an akan ditemukan seperti ini “pong nge daboh, blah ini senie ilen” kalimat terakhir jika disebutkan saat ini akan terdengar aneh atau akan bermakna berbeda, terutama pada kata “senie”.

Senie berarti sunyi/sepi. Kata ini biasa digunakan untuk mengambarkan perbandingan, jika ada hiruk-pikuk sebelumnya kemudian berhenti (sunyi) makia disebut “senie”, namun jika mengambarkan keadaan sunyi dan sebelumnya tidak ada hingar bingar sama sekali maka digunakan kata “sengap” misal, “sengap di kelem ni” ini menggambarkan sejak tenggalam matahari tadi sampai kalimat ini diungkapkan “sunyi sekali malam ini”.

Namun jika hiruk-pikuk dari alat musik keras seperti -keyboard dalam acara tertentu sudah berhenti (sunyi)- sebelum tahun 20-an akan disebut “nge senie keyboard ho” tapi saat ini akan disebut “nge sengap keyboard ho” semakin jarang digunakan sebuah kosa kata Gayo dalam percakapan sehari-hari, semakin besar pula peluang penyerapan bahasa lain dalam bahasa Gayo dan pada suatu saat bahasa Gayo tinggal logat dan tata bahasa saja.

Teknologi turut mempengaruhi perubahan bahasa Gayo. Sebelum kemerdekaan salah satu teknologi alat pemotong adalah pisau. Dalam bahasa Gayo pisau disebut “lopah” dan “luju”.

Keduanya berarti pisau, bedanya luju memiliki bentuk yang khas dan dapat dibawa untuk berperang. Tapi lopah hanya digunakan sebagai alat bantu, termasuk dirumah tangga. Saat ini penggunaan pisau hanya sebagai alat rumah tangga, maka kata luju sudah sangat jarang terdengar.

Teknologi dan pengetahuan tradisional Gayo yang semakin jarang dimanfaatkan berpotensi mempercepat hilangnya kosa kata Gayo.

Dalam sebuah penelitian yang kami lakukan pada tahun 2020 lalu, sekitar 72% kosa kata terkait teknologi tradisonal (tenun Gayo) turut punah, terutama dikalangan urang Gayo (Ayah/Ibu Gayo, lahir dan tinggal di Gayo pada saat penelitian) yang berusia 60 tahun kebawah, tepat ketika teknologi tradisional tersebut mulai punah.

Sebagian masyarakat ada yang meyakini bahasa Gayo sedang menuju pada kepunahan. Ada penelitian yang dikukan oleh beberapa ahli yang menggunakan metode/alat ukur tertentu yang menemukan hal tersebut.

Namun, ada pula yang tidak yakin bahasa Gayo akan punah karena mereka melihat bahasa Gayo masih eksis meski sedang mengalami perubahan bentuk (bermetamorfosis).

Apapun pendapat mereka baik yang setuju atau tidak, yang jelas kita harus berbuat sesuatu untuk menjaga sebelum hilang dan sulit ditemukan kembali.

*Peserta Kongres Bahasa Indonesia XII

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.