Oleh : Fauzan Azima*
SECARA kejiwaan, orang kaya takut kehilangan harta. Sama seperti pejabat takut kehilangan jabatan. Mereka yang memiliki dua hal ini rela menempuh langkah apapun demi mempertahankan harta dan jabatan. Itu manusiawi.
Tapi sedikit dari mereka memahami bahwa ada kala kekayaan dan kedudukan tidak memberi manfaat kepada pemilik. Itu adalah saat pemilik bermasalah dengan hukum. Saat waktu itu tiba, maka semua yang terlihat hebat itu ambyar.
Meskipun orang berkata, “hidup tidak sempurna kalau tidak pernah berperang dan dipenjara.” Karena saat berhadapan dengan urusan hukum, apalagi yang berurusan dengan penjara, tidak semua orang punya mental baja.
Bahkan saat menerima surat pemanggilan pemeriksaan dari aparat penegak hukum, mental seseorang pasti jatuh. Belum lagi saat juru periksa bertanya, “apakah Saudara sehat?”
Uang dan jabatan juga tidak berarti apa-apa saat pemiliknya menjadi pesakitan. Satu per satu kawan menghindar dan menghilang. Orang-orang yang biasa mengerumuni pergi entah kemana. Bahkan orang-orang mencibir, “rasain lu, korup sih.”
Dalam urusan hukum, seorang yang menjabat sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pelaksana Teknis kegiatan (PPTK), rekanan dan pejabat penerima aliran dana, yang selama ini dikejar karena dibutuhkan orang, mulai merasakan sepi dalam keramaian kehidupan di lembaga pemasyarakatan.
Kejadian-kejadian ini mungkin bakal dirasakan oleh orang-orang yang membiarkan pembangunan dan perbaikan Jalan Simpang Sp Serule-Serule dibangul asal jadi. Proyek itu menghabiskan Dana Alokasi Khusus (DAK Penugasan) tahun 2021 dengan nilai kontrak Rp 5,5 miliar.
Ya, mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka. Ketidaksesuaian pengerjaan jalan itu tidak hanya mengakibatkan kerugian negara. Mereka juga membahayakan warga Serule yang juga ingin menikmati kue pembangunan sama seperti orang di kota.
Jalan asal jadi berpotensi mengisolasi mereka. Saat ini, jalan itu mulai rusak meski baru dibangun. Dengan anggaran yang terbatas, seharusnya jalan itu dapat bertahan dan “melayani” kebutuhan warga Serule untuk akses yang mudah hingga lima tahun ke depan.
Apalagi saat ini, seiring datangnya musim hujan, aspal jalan itu mulai “mencair”. Tapi uang dan jabatan memang menggiurkan. Bahkan setelah janji jabatan diucapkan, orang yang diamanahkan untuk memegang sebuah tanggung jawab cenderung korup (baca: rusak).
Pembangunan jalan di daerah terpencil membuka peluang besar untuk jadi bancakan korupsi karena minim pengawasan. Di Serule, dugaan penyimpangan yang menyebabkan kerugian negara terhampar di sepanjang jalan itu. Padahal jalan itu dapat memberikan kebahagiaan bagi rakyat kecil jika dibangun sesuai spesifikasi. []