Oleh : Angga Prasetiya*
Schools serve the same social functions as prison and mental institutions to define, classify, control, and regulate people -Michel Foucault-
Sekolah sebagai Aparatus Ideologi Negara
Kehadiran sekolah dalam masyarakat seringkali diterima secara given tanpa dipertanyakan lebih jauh apa sebenarnya esensi dari sekolah. Sekolah hanya dipahami sebagai lembaga yang mendidik, menyadarkan, dan memanusiakan manusia.
Seakan hanya melalui “cetakan” sekolah, manusia secara paripurna baru dapat dikatakan manusia karena ia dianggap telah memiliki atribut intelektualitas dan moralitas.
Pemahaman seperti itu tentunya bersifat mistifikasi, pasalnya sekolah selalu memiliki fungsi ideologis karena keterkaitannya dengan relasi kekuasaan.
Sekolah memiliki otoritas untuk mengartikulasikan yang legitim dari kekuasaan dengan cara melarang, mengarahkan, dan menghukum tubuh-tubuh yang dianggap menyimpang dari diskursus kekuasaan.
Tidak ada yang luput dari pengawasan sekolah untuk menundukkan tubuh-tubuh dengan cara memaksanya agar bertindak sesuai dengan kemauan kekuasaan, termasuk hal yang paling privat sekalipun seperti orientasi seksual.
Oleh karena itu, konsekuensinya sekolah tidak cukup dipandang sebagai lembaga yang mengemban tugas suci untuk mencerdaskan ―jikalau memang ada semacam aktus mencerdaskan di dalam sekolah―, melainkan bagaimana menciptakan manusia-manusia yang patuh dan berguna sesuai kehendak kekuasaan.
Althusser dalam bukunya Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara menggunakan terminologi Ideology State Apparatuses (ISA)/Aparatus Ideologi Negara untuk merujuk institusi-institusi pelayan ideologi kelas penguasa seperti lembaga agama, keluarga, komunikasi (pers, radio, dan televisi), serikat buruh, budaya (sastra, seni, dan televisi), dan pendidikan (sekolah).
Membedakannya dengan State Apparatus (SA)/Aparatus Negara yang selalu menegaskan rust en orde secara represif seperti tentara, polisi, pengadilan, dan penjara.
Pembedaan antar dua terminologi tersebut menampakkan bahwa penegakan kekuasaan tidak selalu represif ―meskipun aparatus ideologi negara tidak selalu tidak bersifat represif― melainkan ia terdistribusikan dalam kehidupan keseharian, yang tidak disadari bahwa sebenarnya cara hidup manusia selalu imanen dan terkooptasi oleh kekuasaan.
Tidak ada kelas yang berkuasa dengan waktu yang lama tanpa mengamankan kekuasaannya ke dalam aparatus ideologi negara. Dalam sejarah pertentangan kelas, selalu melibatkan penghancuran aparatus ideologi negara milik kelas yang telah digulingkan, karena ia merupakan arena di mana kekuasaan mewujudkan dirinya.
Seperti halnya dalam Revolusi Perancis, menurut Althusser penghancuran aparatus negara bersamaan dengan penghancuran aparatus ideologi negara dominan dari kelas aristokrat pada saat itu yaitu gereja, dan mendirikan dalam bentuk barunya aparatus ideologi pendidikan ―sekolah― sebagai domain baru kekuasaan borjuis.
Dengan demikian, sekolah sebagai aparatus pendidikan tidak mungkin diselenggarakan secara netral, objektif, dan bebas nilai. Ia selalu mengalami pengkondisian atas kehendak kuasa yang determinan.
Demistifikasi pemahaman atas sekolah sebagai lembaga yang “mencerdaskan, netral dan bebas nilai” hanya dapat dilakukan dengan cara menyingkap fungsi ideologisnya. Fungsi ideologis sekolah termanifestasikan dari bagaimana mekanisme sekolah saat ia dioperasionalkan.
Dalam pandangan Marxian sekolah tak ayal lagi merupakan tempat direproduksinya relasi-relasi produksi kapitalisme. Seperti yang dijelaskan oleh Althusser:
Ia mengambil anak-anak dari setiap kelas sejak masih bayi, dan kemudian untuk bertahun-tahun, di mana anak berada pada kondisi paling rentan, dijepit di antara Aparatus Keluarga Negara dan Aparatus Pendidikan Negara, ia memasukkan ke mereka, apakah dengan metode baru atau lama, sejumlah tertentu pengetahuan-tentang-bagaimana yang dibungkus dengan ideologi yang berkuas.
Di sekitar umur enam belas tahun, sejumlah besar anak-anak dilempar ‘ke dalam produksi’: inilah pekerja atau petani kecil. Sebagian pemuda lain yang menyesuaikan diri dengan pelajaran, terus melanjutkan.
Dan, terlepas dari apakah baik atau buruk, ia terus melanjutkan sampai jatuh di tepi jalan dan mengisi pos-pos teknisi menengah dan kecil, pekerja kerah-putih, eksekutif menengah dan kecil, semua jenis borjuis kecil.
Bagian yang terakhir mencapai puncaknya, baik jatuh ke dalam intelektual yang setengah bekerja, atau untuk menjadi, selain ‘intelektual dari pekerja kolektif’, juga agen eksploitasi (kapitalis, manajer), agen represi (tentara, polisi, politisi, administrator, dsb).”
Fungsi ideologis sekolah berkorespondensi dengan kepentingan kelas borjuis. Pengetahuan yang diajarkan di sekolah sebenarnya adalah bentuk domestifikasi, dengan cara menyodorkan pemahaman bahwa kapitalisme adalah sebuah afirmatif dalam menjalani hidup.
Sekolah mengkomodifikasikan peserta didik sebatas angkatan kerja yang siap dilempar ke dalam mekanisme pasar, implikasinya ia tidak lagi diperhitungkan sebagai manusia dengan segala bentuk humanitas yang melekat padanya karena telah direduksi sebatas komoditi dan dapat diperjualbelikan.
Keberhasilan sekolah dalam mendidik juga seringkali digaungkan dari seberapa banyak lulusannya yang bekerja, padahal kerja bukan lagi kerja berguna ketika ia memproduksi nilai.
Seperti penjelasan Marx, bahwa kerja memproduksi nilai ―kerja abstrak (abstract labour)―adalah bentuk alienasi manusia terhadap produktivitas hasil kerjanya ketika upah ditetapkan menjadi nilai tukar ideal.
Kondisi penerima upah semakin teralienasi saat komoditi disirkulasikan ke dalam bentuk kapital yang selalu mengandung nilai lebih (surplus value), yaitu keuntungan yang didapatkan oleh pemilik komoditi dari hasil kerja yang tidak dibayarkan.
Sialnya, sekolah selalu melakukan pembiusan melalui pemahaman tentang kesuksesan dengan tolak ukur “sudah bekerja” setelah tamat. Sekolah berperan penting dalam mengalienasikan manusia, sebatas komoditi milik kelas borjuis.
Tokoh seperti Ivan Illich juga lebih menganggap sekolah sebagai lembaga kontrol sosial daripada lembaga yang “mendidik”. Pandangannya didasarkan bahwa sekolah selalu menginstitusionalkan nilai-nilai.
Apapun yang tidak ditentukan oleh sekolah selalu dianggap tidak potensial untuk dipelajari. Pengetahuan baru disebut pengetahuan ketika ia diajarkan di sekolah, sekaligus juga diputuskan apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang baik dan tidak baik untuk dipelajari oleh peserta didik.
Akibatnya aktivitas belajar yang seharusnya mengoptimalkan kebebasan diri untuk “mengetahui” tereduksi dengan proses pengajaran di sekolah yang sangat mekanistik.
Peserta didik diartikan telah mempelajari sesuatu ketika ia mampu melalui berbagai sintaksis pembelajaran yang ditetapkan oleh guru.
Pembelajaran pada akhirnya menyebabkan peserta didik menerima begitu saja terhadap apapun yang diberikan sekolah kepadanya tanpa membedakan antara belajar dan pengajaran.
Fenomenologi sekolah sebagai bentuk kontrol sosial terlihat saat penyelanggaraan sekolah, selalu mempraktikkan tiga hal yaitu penentuan umur yang wajib sekolah, hubungan guru-murid, dan kewajiban kehadiran penuh waktu di sekolah.
Kewajiban umur tertentu untuk bersekolah tidak bisa dilepaskan dari anggapan adanya masa kanak-kanak yang harus dibentuk melalui sekolah mulai dari cara berperilakunya, cara berbicaranya, hingga cara ia menentukan pilihan hidupnya.
Pada titik ini sekolah dianggap “magis-ajaib” karena adanya anggapan hanya melalui sekolah anak-anak dapat dididik. Agar sekolah dapat “mencetak” peserta didik yang diinginkan, maka hubungan antara guru-murid bersifat patron-klien perlu direalisasikan.
Hubungan seperti itu terwujud dari peran guru sebagai pusat kebenaran, yang harus dijadikan pedoman oleh peserta didik.
Jika memakai istilah Rancière, guru terejawantahkan sebagai eksplikator dengan segala bentuk otoritas yang dimilikinya untuk menjadi media artikulasi atas kebenaran tertentu kepada peserta didik.
Dalam menjalankan perannya, sang eksplikator seakan-akan menciptakan jarak dari anggapannya tentang sebuah realitas, sehingga ia selalu mengklaim dapat menemukan dan menduplikasikan sebuah realitas secara an sich yang akan diberikan dalam bentuk pengetahuan kepada peserta didiknya.
Sang eksplikator selalu mengandaikan sebuah realitas dari apa yang diartikulasikannya, maka segala sesuatu darinya selalu benar.
Sementara itu di sisi lainnya, kehadiran sang eksplikator selalu melanggengkan hubungan yang subordinat antara guru-murid, karena mensituasikan guru sebagai pusat kebenaran saat ia mengartikulasian pengetahuan, sementara murid adalah sekumpulan orang-orang bodoh yang memerlukan guru untuk mengetahui sesuatu.
Jelas, tidak ada sebuah tindakan emansipatoris dalam pembelajaran selama masih terdapat sebuah pembelahan antara guru “yang maha pintar (omniscient)” dengan sekelompok peserta didik “yang bodoh (the ignorant)”.
Bentuk ketergantungan lainnya terhadap sekolah adalah kewajiban menghadiri pembelajaran penuh waktu di sekolah.
Kehadiran penuh waktu di sekolah didasarkan oleh pemahaman adanya kewajiban peserta didik untuk menyelesaikan muatan-muatan pelajaran yang telah disusun dalam jangka waktu tertentu, hingga pada akhirnya setelah menyelesaikan seluruh muatan pelajarannya dan telah mencapai kriteria kelulusan, maka peserta didik dianggap qualified dibuktikan dengan ijazah.
Namun, kehadiran penuh waktu di sekolah justru melahirkan relasi hubungan guru-murid yang lebih kompleks. Guru tidak lagi sekedar menjadi seorang eksplikator dalam menjelaskan muatan pelajaran, tapi ia merangkap sebagai pengawas, penentu moral, dan ahli terapi terhadap peserta didiknya.
Guru sebagai pengawas berperan untuk memastikan setiap peserta didik harus berada dalam keteraturan yang ditetapkan oleh sekolah. Peserta didik yang tidak mematuhi aturan sekolah selalu dibedakan dari peserta didik lainnya dan dianggap sebagai anak nakal.
Kenakalan yang ditetapkan oleh sekolah menjadi momok menakutkan bagi peserta didik karena dapat mengeksklusikannya dari tatanan normatif dengan dalih “tidak bisa dididik”.
Selain itu, penetapan standar moral oleh guru adalah bagian lainnya dari bentuk pengasawan atas peserta didik. Standar moral berguna menentukan perilaku apa saja yang dianggap bermoral dan tidak bermoral.
Dalam proses penentuannya, guru selalu mengintegrasikan dirinya dengan diskursus kekuasaan, sehingga ia sebenarnya representasi dari kekuasaan yang menuntut sebuah kepatuhan. Pengawasan selalu bekerja dalam himpunan larangan maupun pembatasan agar cara berperilaku peserta didik sesuai dengan acuan moral yang homogen.
Menurut Freire satu-satunya yang mendasari hubungan antara guru-murid harusnya adalah objek pengetahuan. Objek pengetahuan ini tidak semata-mata disodorkan secara otoritatif melalui proses selektif oleh guru, melainkan berdasarkan pengalaman otentik.
Konsientisasi transitif-kritis hanya termanifestasikan dalam upaya mengkritisi pengalaman otentik yang dialami peserta didik, sehingga akan muncul pemahaman bahwa kondisi yang eksis pada aras struktur sosial tidak begitu saja terberi, melainkan selalu berada dalam lingkup mekanisme kekuasaan yang bekerja.
Kelahiran konsientisasi transitif-kritis menghendaki resturukturisasi atas struktur kekuasaan, yang selama ini melaksanakan domestifikasi dengan cara membungkam keberanian kelompok tertindas untuk bersuara (culture of silence).
Dengan demikian apa yang disebut oleh Freire kemudian sebagai pendidikan kritis, bukan sekedar peserta didik dapat mendeskripsikan sebuah objek pengetahuan berdasarkan instruksi sintaksis oleh guru, yang penting justru mengkritisi pengalaman otentiknya untuk mengungkap sebuah praktik penindasan dan memikirkan kemungkinan-kemungkinan pembebasannya.
Dalam mempertahankan fungsi ideologisnya sekolah terus menciptakan mitos-mitos sebagai sebuah ritus yang wajib ditaati setiap orang. Sekolah dengan serampangan menyatakan bahwa kegiatan belajar harus dilaksanakan di sekolah, kurikulum dianggap sebagai barang ampuh yang dapat menjawab kebutuhan peserta didik di masa depan, segala bentuk pembelajaran di luar diskursus sekolah selalu dianggap tidak ilmiah, dan kepintaran seseorang ditentukan dari seberapa banyak menguasai materi yang dikuantifikasikan sebatas angka-angka dalam rapor maupun ijazah.
Relasi seperti ini apa yang Illich sebut sebagai “mitos konsumsi tanpa henti (Myth of Unending Consumption)”, suatu kondisi di mana ketergantungan terhadap sekolah sudah sangat jauh tertanam dalam kehidupan keseharian setiap orang. Ia menjelma menjadi sebuah komoditi konsumtif yang akan selalu dibutuhkan.
Seseorang yang tidak sekolah sudah pasti dieksklusikan dari masyarakat pada umumnya, dilabeling sebagai “bodoh”, dan “tidak punya masa depan”.
Sekolah dianggap sebagai lembaga spesialis yang mempunyai keahlian untuk mencetak manusia secara luar-dalam, dan peserta didik sebagai klien yang perlu penangangan khusus.
Sirkulasi kekuasaan yang mewujud dalam eksistensinya atas aparatus ideologi negara selalu menempatkan manusia dalam pusaran ideologi.
Althusser mengemukakan konsekuensi determinan yang dialami oleh manusia ketika ia dihadapkan atas ideologi. Pertama, ideologi merepresentasikan hubungan imajiner individu dengan keberadaan riil mereka.
Praktik material adalah prasyarat yang menandai keberadaan riil manusia, ia hadir dalam bentuk pengungkapan gagasan-gagasan sebagai aktivitas hidup keseharian manusia.
Namun, gagasan-gagasan tersebut bukanlah sebuah natur yang menyatakan diri dalam keberadaan riil manusia, melainkan bentuk pengkodifikasian ideologis yang imajiner.
Dikatakan imajiner, karena kesadaran untuk bertindak justru ditentukan dari luar keberadaan riil manusia itu sendiri. Kesadaran tidak lagi disebut kesadaran jika segala praktik materialnya teralienasi dalam bentuk subjek-subjek yang terkondisikan.
Dalam kerangkeng ideologi, manusia hanya bisa mencapai keberadaan riil-nya melalui transposisi imajiner yang dinyatakan oleh ideologi.
Kedua, ideologi menginterpelasikan individu sebagai subjek. Tidak ada suatu bentuk ideologi apapun yang bekerja tanpa menetapkan kategori-kategori subjek, karena hanya melalui subjek ideologi mencapai puncak eksistensinya.
Subjek adalah himpunan tubuh individu secara konkret bertindak melalui interpelasi yang dikenakan atasnya. Interpelasi dapat diterapkan atas subjek, jika pengkondisiannya selalu mensyaratkan adanya “subjek absolut” yang punya otoritas tidak sekedar menginterpelasikannya, tetapi berperan dalam merumuskan dan menentukan diskursus tertentu agar subjek bisa bertindak.
Oleh karena itu, dengan sendirinya kehadiran ideologi mengeleminasikan “keotentikan” manusia dengan segala bentuk caranya untuk “mengada”, karena subjek hanya diartikan sebagai subjek sejauh ia bertindak sebagai subjek yang diinterpelasikan.
Sekolah sebagai Sarana Pabrikasi Kepatuhan dan Kegunaan
Peran sekolah sebagai atribut kekuasaan untuk menundukkan individu menjadi tubuh yang patuh sebenarnya secara simbolis dapat dilihat dari atribut sekolah itu sendiri.
Gedung sekolah dibangun secara berjejer dengan ruang kantor guru terletak di tengah, memungkinkan guru untuk melihat ke segala penjuru ruangan belajar peserta didik dari kejauhan; pos penjaga terletak di gerbang depan sekolah, mengawasi siapa saja yang boleh masuk ke dalam sekolah serta menjamin keamanan sekolah melalui kegiatan patroli di setiap sudut sekolah.
Terdapat ruang ibadah tempat nilai-nilai agama diartikulasikan sebagai acuan moral dalam berperilaku; ruang BK (Bimbingan Konseling) tempat segala bentuk penyimpangan ditentukan sekaligus tindakan untuk menyembuhkannya.
Ruang perpustakaan sebagai tempat dikumpulkan buku bacaan yang harus dibaca; dan pagar yang mengelilingi gedung tidak hanya sekedar pembatas sekolah, melainkan tempat ditetapkannya wilayah yang berbeda antara kawasan sekolah, zona bagi para individu dibentuk dengan segala praksisnya dan wilayah di luar sekolah sebagai tempat yang terlepas dari setiap bentuk aktivitas “mendidik”.
Jika memakai istilah Panoptikon dari Bentham, sekolah ternyata memiliki kesamaan fungsi yang paling fundamental dengan penjara, yaitu fungsi kontrol.
Fungsi kontrol ini diterakan atas tubuh dengan cara mengenakan larangan atasnya, seperti menentukan cara berpakaian dan berpenampilan; memantau setiap perilaku ―bahkan terdapat sekolah yang memasang kamera CCTV di setiap kelas agar mengawasi tubuh menjadi lebih efektif― serta mendokumentasikannya ke dalam jurnal sikap harian bahwa peserta didik telah berperilaku sesuai dengan aturan sekolah.
Sebaliknya perilaku menyimpang juga terdokumentasikan dalam jurnal sikap harian sebagai dasar pemberian sanksi; mengkodifikasikan nilai-nilai agama sebagai acuan absolut dalam berperilaku, dengan sendirinya melahirkan suatu pemahaman bahwa tubuh dan segala caranya untuk bertindak selalu dalam pengawasan yang maha kuasa, sehingga satu-satunya pilihan adalah dengan mematuhi segala bentuk pengkodifikasiannya; menetapkan pengetahuan sebagai satu-satunya pengetahuan bagi peserta didik melalui muatan pelajaran; dan penyensoran buku-buku yang boleh dibaca di lingkungan sekolah.
Dalam fungsinya sebagai Panoptikon, tidak ada hal yang luput dari sekolah untuk mengawasi tubuh-tubuh peserta didik.
Sekolah juga memperbaiki tubuh-tubuh peserta didik yang terlanjur melakukan perilaku menyimpang, dengan menyediakan “bengkel tubuh”. Bengkel tubuh ini berguna untuk memperbaiki tubuh-tubuh yang rusak karena dianggap telah melakukan perilaku menyimpang dari tatanan moral sekolah.
Kehadiran Guru BK di sekolah adalah sebuah prasyarat tempat bengkel tubuh diwujudkan. Melalui hubungan yang dibangun seakan-akan intim dan rahasia, konselor menginterogasi secara detail faktor penyebab peserta didik melakukan suatu perilaku menyimpang.
Di sini, ia menginterupsi lebih jauh sampai ke ranah paling privat, dengan memberikan “resep” jika ingin menjadi individu yang baik yaitu tak ayal lagi resep tersebut adalah “kepatuhan”.
Interogasi terhadap tubuh-tubuh menyimpang ini turut menyumbang kelahiran diskursus tentang perilaku menyimpang itu sendiri, sehingga sekolah selalu mengembangkan teknologi kekuasaanya agar kontrol atas tubuh semakin efektif.
Dengan demikian, dalam ranah konseling yang sering diartikan sebagai penyembuhan adalah bentuk lain dari penundukkan tubuh, tidak ada lagi yang tersisa dari ranah privat atas tubuh yang ada hanya “penelanjangan tubuh-tubuh”.
Hilangnya hal yang privat dari tubuh juga dijelaskan oleh Foucault dalam bukunya Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan bahwa sesuatu yang kini dianggap paling intim yaitu seks juga tidak luput dari pengawasan sekolah.
Di sekolah, seks tidak dapat dibahas secara bebas, ia selalu ditabukan dengan memunculkan praanggapan bahwa seks hanya dapat dibahas dalam cakupan usia kedewasaan tertentu ―tapi anehnya di luar sekolah justru terdapat ruang-ruang yang tersedia di mana seks dapat dibahas secara bebas dan menjadi hal lumrah―.
Sekolah juga mereproduksi pengetahuan tentang organ tubuh seperti alat vital tidak lagi dipandang hanya dalam bentuk mekanisnya, melainkan disimbolkan sebagai pemicu birahi yang dianggap berbahaya karena dapat menjerumuskan seseorang ke dalam dosa besar, sehingga kenampakannya di ruang publik dilindungi sedemikian rupa bahkan dari tatapan mata sekalipun.
Diskursus tentang seks hanya dapat diperbincangkan di sekolah sejauh ia menampakkan aspek positifnya, seperti pengandaiannya dalam bentuk etis bahwa hubungan seks hanya dapat dilakukan setelah seseorang menikah, hubungan seks juga dipresentasikan dengan istilah-istilah klinis, di sini perbincangan tentang seks selalu ditempatkan secara pantas atau tidak pantas.
Di luar aspek positifnya, semua yang berkaitan dengan seks dianggap perilaku menyimpang ―onani, masturbasi, seks bebas, homo seksual, lesbian, inses, dan lainnya―.
Memahami seks dari segi utilitasnya adalah tindakan mereduksi secara ontologis atas seks itu sendiri bahwa seks adalah erotis, ia terlepas dari segala bentuk nilai yang disangkakan atasnya.
Penyematan nilai terhadap seks inheren dengan menetapkan regularitas atas pemahaman tentang seks yang benar sejauh ia dinormalisasikan.
Akan tetapi, konsekuensi logis dari normalisasi tersebut tidak hanya berakhir pada aras wacana, melainkan kepatuhan tubuh untuk bertidak sesuai dengan pewacanaan atas seks “yang benar” juga dituntut. Kepatuhan itu diperoleh dari “ritual” yang dilaksanakan sekolah terhadap tubuh-tubuh peserta didik.
Dalam memproduksi kepatuhan, sekolah mendistribusikan seluruh teknologi kekuasaanya untuk menundukkan tubuh-tubuh.
Salah satu cara yang paling fundamental adalah melalui mekanisme disiplin. Implementasi mekanisme disiplin di sekolah adalah relasi yang menempatkan peserta didik sebagai objek belaka.
Peserta didik memahami disiplin sebagai kewajiban yang harus dipatuhi tanpa mempertanyakan relasi seperti apa yang menyebabkan disiplin harus ada di sekolah.
Peserta didik tidak lagi bertanya mengapa dia harus bangun pagi untuk masuk sekolah; mengapa harus memakai seragam jika hanya untuk belajar di sekolah; mengapa harus memakai sepatu hitam; mengapa dilarang berambut gondrong; mengapa harus diam, mendengar guru saat ia mengajar; hingga mengapa belajar harus dilaksanakan di sekolah pun tidak lagi dipertanyakan.
Momentum kemunculan disiplin memang berkaitan erat tindakan intensifikasi penundukkan tubuh melalui regulasi. Ia juga berkaitan dengan kelahiran teknik melatih diri yang berpengaruh terhadap kemampuan seseorang untuk menguasai sebuah keterampilan.
Akan tetapi, disiplin belum dikatakan paripurna bila belum mencapai tujuan utamanya yaitu: menjadikan tubuh-tubuh yang lebih patuh dan lebih berguna.
Oleh karena itu, mekanisme disiplin menjadikan tubuh sebagai tempat ditanamkannya kekuasaan adalah suatu keniscayaan. Untuk menghasilkan tubuh yang patuh, regularitas dalam bentuk aturan-aturan baku perlu ditetapkan.
Tentunya regularitas bukan dalam bentuk koersif yang menggunakan cara pemaksaan untuk mematuhinya. Melainkan yang dibutuhkan adalah regularitas korektif, karena melalui regularitas korektif tubuh dapat memperbaiki dirinya sendiri dengan pembiasaan, sehingga pelanggar tiba di titik kesadaran bahwa apa yang dilakukannya adalah kesalahan karena tidak sesuai secara normatif.
Sehingga satu-satunya tindakan yang dapat dilakukan adalah memperbaiki dirinya agar sesuai dengan kebanyakan orang, jika tidak ingin dianggap berperilaku menyimpang.
Sementara itu, di sisi lainnya dalam rangka menghasilkan tubuh yang berguna, semua bentuk kehendak bebas yang dilakukan oleh tubuh dieleminasikan, digantikan dengan berbagai aktivitas latihan tersistematis, teratur, dan berulang, dengan demikian tubuh akan mencapai puncak efisiensinya.
Melalui latihan juga tubuh dipredikatkan berguna sejauh ia mampu menguasai suatu keterampilan tertentu yang sering disebut dengan “bakat” atau “kapasitas”.
Mekanisme disiplin adalah bentuk penjinakan tubuh karena ia mengobjektifikasikan subjek untuk bertindak dengan menciptakan sebuah ruang sekaligus membatasinya sesuai dengan kehendak kekuasaan.
Kepatuhan dihasilkan dalam mekanisme disiplin sangat tergantung dengan cara pengontrolan yang digunakan terhadap tubuh. Terdapat empat metode pendisiplinan tubuh, yang secara implisit juga sering sering dipraktikkan sekolah.
Pertama seni penyebaran, tindakan untuk mengontrol tubuh menyebabkan dalam mekanisme disiplin kehadiran ruang tempat individu disebar dan ditempatkan adalah kebutuhan yang sangat fundamental.
Himpunan individu dianalisis, diklasifikasikan, dan dikelompokkan berdasarkan identitas yang diberikan atasnya sehingga pengontrolan lebih mungkin untuk dilakukan.
Penyebaran ke dalam kelompok-kelompok juga bertujuan mencegah komunikasi antar individu secara intens, sehingga kemungkinannya untuk bersatu melawan status quo dapat direduksi.
Di sekolah penyebaran peserta didik ke dalam tingkatan kelas ―ruang penundukkan― berkorespondensi dengan tindakan memantau kehadiran peserta didik melalui absensi harian; mencatat setiap perilaku dalam jurnal harian; dan memantau tingkat pengetahuan peserta didik melalui penilaian formatif maupun sumatif.
Semua tindakan peserta didik di dalam kelas, ditabulasikan sebagai aspek yang perlu untuk selalu diawasi dan dikoreksi. Namun dalam perkembangannya, mekanisme disiplin tidak cukup hanya sekedar mengarahkan tindakan secara kolektif.
Para individu perlu diberi perannya masing-masing sehingga tindakannya tidak lagi dikaitkan dengan motif kelompok, ia murni tindakan individu dan segala bentuk dampaknya terafirmasi sebagai tanggung jawab pribadi.
Disiplin bertransformasi dari yang sejatinya relasi penundukkan tubuh terhabituasikan menjadi sebuah kewajiban individu.
Kedua, kontrol aktivitas. Mekanisme pengontrolan dapat dengan mudah ditemukan dalam sekolah dari tersistematisnya setiap aktivitas tubuh.
Aktivitas peserta didik selalu dirujuk dari sebuah jadwal dengan ritme yang teratur, berdasarkan pada penguasaan berbagai keterampilan, dan pemberlakuan pengulangan-pengulangan. Segala aktivitas di luar jadwal yang telah ditetapkan, dipandang tidak menghasilkan sebuah kegunaan.
Tidak heran jika melihat jadwal belajar di sekolah mulai dari tiba sampai selesai pembelajaran semua aktivitas sudah terjadwal secara sistematis, peserta didik diarahkan untuk mengikuti jadwal yang ada dan jika tidak mengikutinya maka dianggap sebagai tindakan indisipliner. Ketiga, strategi menambah kegunaan waktu.
Di sekolah, pemanfaatan waktu adalah kunci utama bagi keberhasilan penerapan disiplin. Tubuh dipaksa berpacu dengan waktu, untuk mencapai efisiensi melalui skema pemberian latihan, praktek, dan ujian dalam jangka waktu yang paralel.
Latihan dilaksanakan berdasarkan keberurutan waktu dan menyesuaikan dengan tingkat kesulitannya. Latihan juga bukan sekedar melatih olah pikir agar peserta didik berpikir sesuai dengan domain pengetahuan kekuasaan, melainkan juga melatih gestur perilaku tubuh.
Selanjutnya, diperlukan pelaksanaan ujian untuk mengevaluasi sejauh mana keberhasilan latihan yang diberikan. Hasil pelaksanaan ujian dijadikan dasar untuk memilah peserta didik berdasarkan aspek kognitif, psikomotor dan afektif.
Peserta didik dianggap pintar dan memiliki sopan santun yang baik ketika ia meraih ranking tertinggi dari serangkaian aktivitas latihan maupun ujian, padahal pintar sejatinya bagi sekolah adalah sinonim dengan “patuh dan berguna”.
Keempat, kekuatan yang tersusun. Penyebaran tubuh ke dalam suatu ruang agar mudah dikontrol ternyata tidak cukup. Mekanisme disiplin mengharuskan himpunan tubuh dalam sebuah ruang tersegmentasikan melalui pemberian seperangkat latihan untuk menguasai suatu keterampilan tertentu.
Artinya ruang tidak lagi dipandang sebagai kesatuan yang homogen, melainkan terdiri dari beragamnya pembagian keterampilan. Hal ini menyebabkan individu tidak dapat dikenali selain dari keterampilan yang dikuasainya, sebuah momentum bagi individu menjadi berguna.
Selain itu, segmentasi individu berdasarkan keterampilan juga menyebabkan tubuh lebih efektif untuk diawasi, dikoreksi, dan diperintah karena menempatkan tubuh lebih intens lagi di bawah penanganan otoritas kekuasaan.
Contoh yang mungkin dapat diangkat mengenai implementasi segmentasi keterampilan individu di sekolah adalah pembelajaran berdiferensiasi, yang digadang-gadang berpusat kepada peserta didik.
Pembelajaran berdiferensiasi berangkat dari asumsi bahwa potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik berbeda antara satu dengan yang lainnya, oleh karena itu harusnya pembelajaran di sekolah mengakomodasi peningkatan potensi tersebut.
Untuk menggali informasi tentang potensi peserta didik, guru melakukan asesmen diagnostik dengan cara mengklasifikasikan peserta didik berdasarkan potensi yang akan ditingkatkan.
Di sini potensi peserta didik tidak lagi penting, yang penting justru adalah bagaimana penggunaan strategi guru agar potensi itu diarahakan sesuai dengan diskursus kekuasaan, katakanlah istilah yang sedang tren kini “Profil Pelajar Pancasila” ―tidak ada kebebasan belajar pada sekolah dalam bentuk formalnya, semuanya harus dikaitkan dengan tujuan akhir dari struktur kurikulum yaitu memproduksi kepatuhan dan kegunaan―.
Akibatnya alih-alih memberikan kesempatan peserta didik seluas-luasnya dalam belajar, pembelajaran berdiferensiasi justru menjadi sarana segmentasi individu dengan intensitas pengontrolan yang lebih subtil.
Empat metode pendisiplinan tubuh yang telah dijelaskan di atas menunjukkan bahwa esensi disiplin bukanlah semata-mata sebuah sebuah kewajiban yang begitu saja harus dipenuhi.
Melainkan, ia berkaitan dengan penjinakkan melalui tindakan mengintegrasikan tubuh ke dalam sirkulasi kekuasaan, sehingga mensyaratkan tubuh harus selalu dalam kondisi patuh dan berguna. Akan tetapi, terdapat model pengontrolan lainnya yang tidak dapat dipisahkan dari mekanisme pendisiplinan yaitu mekanisme menghukum.
Pemberian hukuman pada dasarnya adalah sebuah atribut kekuasaan saat ia menyatakan dirinya atas tubuh yang dihukum, tubuh didaulat menjadi milik otoritas melalui penembusan kesalahan. Sebagai teknologi kekuasaan untuk menormalisasikan tubuh-tubuh, pola hukuman terus berkembang dari masa ke masa.
Pada abad pertengahan, beberapa negara di Eropa, pemberian hukuman fisik yang kejam seperti pemenggalan kepala, penggantungan, roda penyiksaan, dan pemotongan anggota tubuh adalah model yang umum digunakan untuk menghukum.
Penyelenggaraan hukuman pun dilakukan secara terbuka dan dapat dilihat oleh setiap orang, hal ini bertujuan untuk menegaskan eksistensi kekuasaan kepada khalayak melalui hukuman yang diberikan terhadap tubuh terpidana.
Dalam perkembanganya kini tindakan menghukum tidak lagi sebatas dikenakan atas tubuh secara fisik, namun justru menyasar hal yang lebih “mendalam” dari tubuh yaitu “jiwa”.
Jiwa di sini bukan bukan dimaksudkan sebagai sebuah entitas metafisik terpisah dari tubuh, melainkan akumulasi kesadaran yang terbentuk melalui proses pewacanaan.
Tindakan menghukum sebagai teknologi kekuasaan bermain pada aras kesadaran, yang melahirkan cara pandang etis terhadap rasa bersalah lebih dalam lagi saat melakukan suatu perilaku menyimpang. Menghukum bukan lagi melenyapkan tubuh bersama kesalahannya, melainkan menghukum memiliki tujuan preventif.
Transformasi mekanisme menghukum tidak terjadi secara begitu saja. Pergeseran objek dalam menghukum, secara bersamaan juga menentukan ulang apa saja yang dimaksud dengan perilaku menyimpang, pelaku perilaku menyimpang, dan tindakan menghukumnya.
Pada titik ini, pendistribusian tanda-tanda ke dalam tubuh secara sosial terkait dengan segala bentuk perilaku menyimpang menjadi sebuah imperatif.
Pendistribusian tanda-tanda perilaku menyimpang dilakukan dengan cara memformalkan tanda-tanda itu sendiri, melalui kehadiran psikiater yang berperan dalam mengkodifikasikan segala bentuk tindakan tubuh ke dalam istilah-istilah ilmiah; dan institusi-institusi sebagai subsidiary judge seperti sekolah, rumah sakit, juga penjara tempat direproduksinya tanda-tanda perilaku menyimpang sekaligus upaya penyembuhannya.
Kemunculan tanda-tanda dalam bentuk formalnya, menyebabkan perilaku menyimpang tidak lagi hanya dapat diartikulasikan secara vertikal melainkan ia hadir dalam bentuk koeksistensif tanda-tanda pada tubuh sosial.
Akhirnya, kulminasi dari tindakan menghukum adalah menumbuhkan jejaring antar tubuh individu yang saling mengawasi.
Mekanisme menghukum tubuh sosial hanya dapat mencapai puncak efesiensinya ketika hukuman memberikan efek korektif, aplikatif, dan preventif.
Tindakan menghukum harus memberikan bentuk kerugian yang lebih besar dari keuntungan yang akan didapatkan jika suatu perilaku menyimpang berhasil dilakukan.
Hal ini tentu saja melahirkan sebuah pemahaman, bahwa jika kerugian lebih besar didapatkan dari sebuah perilaku menyimpang, maka hal paling ekonomis dapat dilakukan justru menaati setiap aturan yang ada.
Upaya preventif dalam menghukum dilakukan dengan cara memberi hukuman bukan saja bagi orang yang melakukan perilaku menyimpang, orang yang tidak melakukan perilaku menyimpang juga harus mengetahui efek dari sebuah hukuman, karena itu hukuman harus jelas menetapkan sebuah perilaku menyimpang agar orang lain dapat membedakan sebuah kejahatan dan kebaikan, yang nantinya akan melahirkan kebenaran secara umum untuk menentukan perilaku menyimpang itu sendiri.
Dalam bentuk korektifnya pemberian hukuman harus mampu mencegah pengulangan kembali terhadap segala perilaku menyimpang.
Sekolah bukan hanya tempat segala bentuk perilaku menyimpang dilarang, secara bersamaan perilaku menyimpang juga dipelajari, dianalisis, diberikan status moral, dan dipresentasikan dengan istilah-istilah ilmiah-klinis.
Sekolah adalah tempat tampilnya relasi antara kekuasaan dan pengetahuan, dengan memilah apa yang dianggap menyimpang dan tidak menyimpang, apa yang ilmiah dan tidak ilmiah melalui justifikasi pengetahuan.
Tidak ada kekuasaan yang eksis tanpa memproduksi pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang tidak melayani kekuasaan.
Seperti yang dijelaskan oleh Apple bahwa kurikulum di sekolah bukanlah disusun atas dasar epistemologis nir-nilai, ia selalu termanifestasikan sebagai ideologi yang berfungsi mengimplementasikan fungsi kontrol dari kekuasaan.
Dalam konteks mekanisme menghukum, pengetahuan yang direproduksi di sekolah menjadi modalitas pengartikulasian bahwa bentuk hukuman yang tidak lagi menyentuh tubuh secara fisik adalah buah dari kemajuan humanisme.
Padahal, tidak ada ada namanya humanisme dalam soal menghukum, yang ada hanya perkembangan teknologi kekuasaan semakin canggih untuk mengintervensi tubuh lebih detail dan sekolah adalah salah satu sarananya.
Kesimpulan
Sudah saatnya cara pandang delusional yang menyatakan bahwa sekolah adalah institusi formal bebas nilai, netral, memanusiakan manusia, dan mencerdaskan generasi bangsa harus ditanggalkan.
Tidak ada celah untuk menyatakan bahwa sekolah harusnya terletak di luar sirkulasi kekuasaan, maka cara terbaik untuk memahami sekolah adalah justru menempatkannya sebagai bagian dari kekuasaan dengan cara menyingkap fungsi ideologisnya.
Sekolah dalam fungsi ideologisnya, selalu mengkategorikan subjek-subjek dan pengkondisian caranya untuk bertindak.
Implikasinya pembelajaran di sekolah alih-alih membangun kesadaran kritis peserta didik, yang terjadi justru pewarisan culture of silence (kebudayaan diam) melalui hubungan pseudo-komunikasi antara guru dengan peserta didik.
Sekolah beroperasi dengan memproduksi pendisiplinan tubuh, mengkodifikasi dalam bentuk pengetahuan tanda-tanda perilaku menyimpang yang tersebar dalam tubuh sosial, dan mengoreksi tubuh agar selalu menyesuaikan diri dengan diskursus kekuasaan.
Sekolah adalah “bengkel tubuh individu” tempat tubuh dijadikan objek belaka dan “ditelanjangi” secara luar-dalam. Akhirnya yang tersisa hanya tubuh-tubuh patuh dan berguna, yang sebelumnya telah melalui proses domestifikasi di sekolah.
*Seorang Guru SMA di Takengon