Oleh : Ita safitri, S. Pd*
Kekerasan seksual merupakan masalah kita bersama, kasus ini ternyata tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, namun juga terjadi di wilayah-wilayah kecil seperti kasus yang baru saja terjadi di Kabupaten Bener Meriah.
Pada 12 September 2023 lalu, seorang pemuda di Kabupaten Bener Meriah yang berinisial IW (22), diamankan pihak kepolisian terkait dengan kasus dugaan pelecehan terhadap seorang gadis berumur 17 tahun. Kasus ini terjadi di Kecamatan Bandar, Bener Meriah.
Kekerasan seksual di Kabupaten Bener meriah ini telah menjadi perhatian utama bagi tokoh-tokoh masyarakat Gayo.
Faktanya, kasus pelecehan terhadap perempuan di tanah yang berhawa dingin ini terus bertambah jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Seperti yang kami kutip dari laman Serambinews pada Juli 2023, dimana Kepala DP3A Aceh, Meutia Juliana MSi menjabarkan, jumlah kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak di Aceh pada tahun 2020 ada 905 kasus, 2021 dengan 924 kasus. Peningkatan paling tinggi pada tahun 2022 dengan 1.029 kasus
Sepanjang tahun 2023, dari 575 kasus yang terjadi, pelecehan seksual dan kekerasan terhadap anak mendominasi dengan 333 kasus dan perempuan 242 kasus
Dikatakan Meutia, dari 23 kabupaten/kota di Aceh, kasus yang paling tinggi ditemui di Banda Aceh 76 Kasus, Aceh Utara 48 kasus, Bener Meriah 45 kasus, Aceh tamiang 34 kasus.
Sementara itu, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh mencatat hingga akhir Juni 2023, kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak di Aceh mengalami peningkatan.Total hingga Juni ada 575 kasus yang tercatat oleh DP3A Aceh.
Khusus di Kabupaten Bener Meriah sendiri, unit Pengelola Teknik Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD-PPA) Bener Meriah mencatat ada 17 kasus pelecehan seksual terhadap anak di Bener Meriah dalam tiga bulan terakhir, yakni bulan Januari, Februari, Maret, dan ini dinilai sangat memprihatinkan.
Dari data-data yang ditemukan tersebut, sepertinya ada sesuatu yang bermasalah dengan generasi Gayo, padahal kasus ini sudah dilakukan pencegahan dari kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana, Bener Meriah (DP3AKB), mereka sudah membentuk satgas untuk perlindungan terhadap perempuan dan anak sejak Januari 2023.
Satgas tersebut terdiri dari dinas P3AKB, pihak Kepolisian, satpol PP, majelis adat Gayo, majelis permusyawaratan ulama, dinas syariat Islam, dinas sosial, kementerian agama, dan mahkamah syariat.
Namun nyatanya, kasus kekerasan dan pelecehan ini menggurita dan memakan korban yang tak berkesudahan.
Jika kita telisik, ada banyak aspek yang menjadikan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan makin parah di Aceh khususnya Bener Meriah.
Pertama, Menurut pasal 66 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah (Qanun Jinayah) menerangkan apabila anak yang belum mencapai umur 18 tahun melakukan atau diduga melakukan Jarimah, maka terhadap anak tersebut dilakukan pemeriksaan berpedoman kepada Peraturan Perundang-undangan mengenai Peradilan Pidana Anak (Pasal 67 ayat (1) qanun nomor 6 tahun 2014).
Sementara dalam Islam, ukuran kedewasaan seseorang itu adalah balig, jika anak yang sudah balig maka dikatakan sudah dewasa bukan lagi anak-anak karena sudah terkena beban taklif atau beban hukum.
Sebab itu andai ada seseorang yang berusia 15 tahun sementara dia sudah balig maka sudah terkena sanksi andai ia melakukan kekerasan pelecehan terhadap perempuan, jadi bagaimana kasus ini bisa tuntas, jika mendefinisikan anak dewasa saja masih belum tepat karena berkiblat ke Barat?
Kedua, luputnya pengawasan dan pendidikan orang tua di rumah terkait ketaqwaan anak. Orang tua tidak menanam akidah yang kokoh terhadap anak, sehingga anak mudah sekali untuk bermaksiat
Ketiga, Ancaman hukuman bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak tidak sampai hukuman mati, melainkan hanya berkutat pada tiga pilihan saja yakni penjara, denda, cambuk, bahkan realisasinya bisa sangat ringan.
Banyak kasus menguap begitu saja jika masyarakat tidak mengawal ketat. Hanya dengan modus pemberian sejumlah uang terhadap keluarga untuk berdamai, kasus bisa “hilang” tanpa penyelesaian secara hukum. Hal ini menjadikan tidak adanya efek jera bagi pelaku dan selanjutnya ia maupun orang lain enteng saja melakukan kejahatan serupa karena tidak takut terhadap ancaman hukumannya.
Keempat, buruknya pengaturan media massa. Pornografi-pornoaksi banyak bergentayangan di internet. Siapa pun mudah saja mengakses konten porno melalui ponselnya.
Kelima, adalah buruknya sistem pendidikan. Kurikulum pendidikan kita begitu jauh dari agama (sekuler) sehingga output-nya adalah orang-orang yang mengabaikan agama. Mereka tidak peduli halal-haram, juga tidak takut neraka, apalagi mau merindukan surga. Mereka merasa bebas berbuat apa saja tanpa peduli terhadap syariat. Akibatnya, terwujudlah masyarakat liberal sehingga memunculkan beraneka macam tindak kejahatan.
Islam sistem yang tegas
Kasus ini harus segera dituntaskan, belarut-larutnya kasus ini adalah bukti bahwa sistem sekarang bermasalah walaupun Aceh yang sudah di istimewakan dengan adanya Qanun Jinayah.
Islam akan mengawal ketat sistem pendidikan yang berbasis aqidah, sehingga melahirkan individu yang bertaqwa, mereka takut berbuat dosa karena sadar betul akan pengawasan dari rabbnya dan meyakini adanya hari pertanggung jawaban atas setiap perbuatan yang dilakukannya semasa hidup di dunia.
Islam juga akan memutuskan mata rantai kasus ini seperti konten-konten yang berbau pornografi, media massa akan dikawal ketat demi keamanan ummat agar terhindar dari rangsangan yang mendorong untuk melakukan kekerasan seksual.
Islam juga akan menghapuskan praktek prostitusi Baik online atau offline, sehingga aroma-aroma pemicu gejolak syahwat terkendali aman.
Dalam QS An-Nur: 2, Allah Taala berfirman, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” Inilah hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah.
Hukum Islam yang dipandang kejam inilah sanksi yang terbaik dari Allah SWT, mendengarnya saja kita sudah ngilu apalagi seandainya benar dilakukan. Tentu akan menimbulkan pencegahan sekaligus efek jera kepada pelaku.
Hukuman ini tidaklah sembarangan dilakukan, akan tetapi ada tahapan proses yang dilakukan oleh qadhi atau hakim berupa saksi mata atau bukti-bukti lainnya yang mengantarkan pelaku tersebut dijatuhi hukum rajam atau cambuk.
Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari-Muslim, pada suatu waktu, ada seorang laki-laki yang mendatangi Rasulullah saw.. Laki-laki itu berseru, “Wahai Rasulullah, saya telah berzina.”
Rasulullah saw. berpaling tidak mau melihat laki-laki itu hingga laki-laki itu mengulang ucapannya sebanyak empat kali. Nabi pun memanggilnya dan berkata, “Apakah kamu gila?” Laki-laki itu mengatakan tidak. “Apakah kamu sudah menikah?” Ia mengatakan iya. Kemudian Nabi saw. bersabda kepada para sahabat, “Bawalah orang ini dan rajamlah ia.”
Islam memiliki sistem sanksi yang tegas yang mampu memberikan efek jera sehingga mencegah terjadinya kejahatan yang serupa. Sanksi ini juga menjadi penebus dosa di akhirat bagi pelaku atas kejahatan yang dilakukannya di dunia.
Jadi, tidak ada solusi tunggal yang benar-benar akan memberantas kasus pelecehan kalau tidak berasal dari Islam kaffah. Tidak setengah-setengah seperti qonun Aceh saat ini. Walau demikian kita tetap bersyukur sudah diterapkan sebagian, hanya saja sebagai saran Aceh harus menerapkan syariat Islam secara keseluruhan atau kaffah.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-baqarah: 85
“…Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat”.
Diperjelas lagi dalam ayat
“Wahai orang yang beriman, masuklah kamu semua ke dalam Islam. janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kalian,” (TQS.Al-Baqarah:208).
Wallahu a’alam
*Aktivis Muslimah, tinggal di Bener Meriah