Air Danau Lut Tawar Susut, Selain Deforestasi Fungsi Rawa Juga Hilang

oleh

Catatan : Darmawan Masri*

Sebagaimana diketahui, Danau Laut Tawar atau hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Peusangan di Kabupaten Aceh Tengah adalah salah satu dari 840 danau besar yang merupakan sumber air permukaan utama di Indonesia. Air permukaan yang ditampung oleh Danau Laut Tawar yang luasnya 5.472 ha (17 km x 3,219 km) mencapai 2,5 trilyun liter.

Dengan kecepatan 5.664 liter/detik, air permukaan dari Danau Laut Tawar mengalir melalui DAS Peusangan melewati Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Kabupaten Bireuen. Bagi Kabupaten Bireuen, air permukaan dari DAS Peusangan digunakan untuk irigasi Pante Lhoong, sedangkan Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe memanfaatkan air baku ini sebagai sumber air bersih.

Baca Juga : Danau Laut Tawar, Tower Air Raksasa Yang Kesepian

Masyarakat dan pecinta lingkungan di tanoh Gayo, dalam beberapa bulan terakhir ramai membahas susutnya air permukaan Danau Lut Tawar. Mengapa tidak, Danau Lut Tawar yang berpenghuni ikan endemik depik (Rasbora tawarensis), dan bermitos Lembide sebagai penunggunya, menjadi ikon bagi dunia wisata di dataran tinggi yang terletak di tengah wilayah Provinsi Aceh.

Banyak yang menduga susutnya permukaan air danau Lut Tawar disebabkan oleh normalisasi sungai Peusangan yang dilakukan oleh pengerjaan proyek PLTA Peusangan. Ada pula yang menduga, akibat penebangan hutan secara masif akibat alih fungsi lahan (deforestasi), hingga hilangnya mata air yang mengarah ke Danau Lut Tawar, menjadi penyebabnya.

Bahkan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, Ahmad Shalihin menduga, deforestasi menjadi penyebab permukaan danau Lut Tawar, menurun!

Tak bisa dipungkiri, faktor-faktor yang disebutkan itu memang menjadi satu dari banyak sebab, turunnya permukaan air Danau Lut Tawar, terutama di musim kemarau.

Baca Juga : Masih Indahkah Danau Lut Tawar?

Namun, sepertinya kita lupa bahwa ada faktor penting lainnya yang jarang sekali dibahas, dari penyebab turunnya permukaan air di danau kebanggaan masyarakat Gayo itu. Apa itu? Adalah fungsi rawa yang juga hilang, terutama di wilayah yang berdekatan dengan Danau Lut Tawar.

Para ahli di bidang ini sepakat, bahwa rawa yang dalam bahasa Gayo disebut dengan paya, memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga permukaan air di suatu wilayah. Paya merupakan daerah penyerap air.

Air dalam lapisan tanah yang berlebihan berpindah secara alami menuju rawa. Sehingga, mencegah tanah longsor atau erosi. Rawa juga mampu mencegah terjadinya banjir karena menyerap jumlah air yang berlebihan dari sungai yang meluap.

Seorang pemerhati lingkungan di Gayo, Munawardi pernah menuliskan tentang hilangnya salah satu paya di pusat Kota Takengon. Tulisan itu dapat dibaca di link ini : Paya Ilang yang Hilang.

Hilangnya fungsi paya di daerah yang berdekatan dengan Danau Lut Tawar, juga menjadi satu sebab susutnya air permukaan di danau yang terletak di ketinggian rata-rata 1200 Mdpl itu.

Paya Ilang salah satunya, ditambah lagi dengan Paya Serngi, Paya Reje, Paya Tumpi, Paya di Pinangan dan masih banyak lagi daerah-daerah genangan di seputaran Danau Lut Tawar yang dulu berfungsi sebagai paya juga turut hilang.

Maka jangan heran, begitu aliran DAS Peusangan di normalisasi, air danau menyusut dengan cepat terutama di musim kemarau. Di musim hujan, daerah kota Takengon juga ditandai dengan banyaknya genangan air yang melimpah ruah ke jalan, hingga ada yang masuk ke pemukiman warga. Ini juga menjadi ciri, bahwa rawa di Aceh Tengah tak bekerja lagi sebagaimana fungsinya sebagai daerah resapan.

Melihat dari fungsi rawa, harusnya saat musim hujan, rawa akan menyerap air lebih banyak, kemudian disimpan di celah-celah atau pori-pori tanah. Lalu, saat musim kemarau melanda, rawa akan melepas air yang disimpan tadi secara perlahan, dan kemudian akan dialirkan melalui aquifer untuk menjaga air permukaan Danau Lut Tawar tetap stabil. Jika pun susut, terjadinya tidak parah seperti saat ini.

Begitu pentingnya peran rawa dalam menjaga keseimbangan lingkungan hidup. Namun apa daya, rawa-rawa itu kini ditimbun. Bangunan demi bangunan (meski tak megah-megah kali lah) berdiri di atasnya. Dan fungsi paya pun dinyatakan hilang.

Belum lagi masalah sampah yang mengarah langsung ke Danau Lut Tawar. Tahun 2014 silam, club selam di Aceh Tengah, Gayo Diving Club (GDC) pernah mengabadikan bagaimana tumpukan sampah di dasar DLT yang tak akan habis meski dibersihkan puluhan tahun. Terkait itu, dapat dibaca di link ini : Kotornya Bawah Air Danau Lut Tawar Akibat Sampah

Lain lagi, dengan penimbunan secara masif daerah Danau Lut Tawar oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal itu dilakukan, saat air permukaannya menyusut. Ini yang membuat luasan Danau Lut Tawar juga semakin berkurang. Maka, semakin kompleks permasalahan yang dihadapi Danau Lut Tawar saat ini.

Tumpulnya regulasi dan aturan daerah, menambah kompleks yang dihadapi Danau Lut Tawar. Pemerintah, seolah buta dengan kelestariannya.

Baca Juga : Danau Lut Tawar Dihuni 28 Spesies Ikan

Pertanyaan sekarang adalah, mampukah Danau Lut Tawar menanggung beban itu sendirian? Atau jangan-jangan kitalah salah satu pelaku pengrusakannya. Apa yang akan kita ceritakan terhadap anak cucu kita kelak? Masihkah kita diam? wallahu a’lam bishawab.

*Pemimpin Redaksi LintasGAYO.co

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.