Oleh : Win Wan Nur*
Kemarin saya merilis video di channel YouTube saya. Di Video ini saya kembali mempertanyakan keabsahan usia kota Takengen yang dalam peringatan resminya dikatakan sudah berusia 466 tahun.
Menurut saja, klaim usia 466 tahun ini sangat bertentangan dengan akal sehat, menyesatkan dan berbahaya bagi penelusuran sejarah Gayo yang akan dilakukan oleh generasi mendatang.
Kenapa saya katakan ini menyesatkan dan berbahaya, karena kalau dikatakan usia Takengen sudah setua itu, artinya kota ini sudah eksis jauh sebelum Belanda datang. Tapi, masalahnya, kalau benar kota ini sudah setua itu, kota ini akan dicap sebagai kota orang-orang tidak berguna. Sebab, sepanjang usia kota ini sebelum kedatangan Belanda, tidak ada satu manusia pun yang berasal dari kota ini yang pernah menorehkan prestasi, tak ada satupun tokoh yang berasal dari kota ini yang berkiprah sebelum kedatangan Belanda yang masih diingat orang keberadaannya.
Artinya, usia kota Takengen yang sudah setua itu, bertentangan dengan akal sehat yang mendasarkan pada fakta bahwa tak mungkin sebuah daerah yang pernah ditinggali sedemikian banyak manusia sama sekali tak meninggalkan sedikitpun cerita.
Adalah fakta yang bersifat universal di seluruh dunia. Di mana banyak manusia berkumpul di situ ada cerita. Entah itu cerita sejarah, cerita tentang prestasi atau penaklukan, percintaan bahkan sekedar dongeng. Makin banyak manusia berkumpul, makin banyak cerita. Contoh seperti dulu ketika Baghdad menjadi pusat peradaban Islam, begitu banyak cerita di sana, sejarah, pencapaian dalam bidang ilmu pengetahuan bahkan sampai cerita dongeng, 1001 malam dan fabel Kalila Damina.
Di Gayo juga begitu, di tempat-tempat pemukiman lama, pasti banyak cerita entah itu nyata atau dongeng yang menceritakan tentang kehidupan masyarakat di daerah itu pada masa dahulu.
Kita ambil contoh, kampung asal saya, Isak. Sampai hari ini tokoh-tokoh yang berasal dari sana (terlepas apakah itu tokoh fiktif atau nyata) mulai dari Maulana Ishak, Muyang Mersa, Datu Merah Mege, Merah Silu, Kepala Akal dan seterusnya.
Atau Linge yang orang ceritakan tentang Genali, Sengeda dan Merie, Reje Linge dan seterusnya. Serule dengan Muyang Gerpa, Reje Bukit dan Reje Gunung di Kebayakan, Reje Ciq di Bebesen. Semua kampung tua, punya tokoh yang berasal dari sana yang terus diceritakan orang dari masa ke masa.
Tapi Takengen? sama sekali tidak ada. Padahal Takengen ini statusnya Kota yang tentu lebih ramai dibandingkan Isak, Linge dan kampung-kampung tua lainnya. Kalau pun penduduk kota ini sebegitu malasnya bercerita, tapi penduduk kampung lain yang pernah datang berkunjung, pasti ada satu atau dua yang pulang membawa cerita tentang kota ini. Nyatanya? Tidak ada sama sekali.
Begitu banyak orang sudah menyusun buku tentang Gayo berdasarkan cerita turun-temurun, tapi tak ada seorangpun yang pernah menulis buku tentang kehidupan dan tokoh-tokoh Kota Takengen sebelum kedatangan Belanda yang referensinya berasal dari cerita turun-temurun. Jangankan tokoh nyata, bahkan tokoh fiktif, bahkan kekeberen yang mengambil Takengen sebagai latar belakang ceritanya pun tak pernah ada.
Itu artinya apa? Itu artinya Takengen hanya dua kesimpulan tadi yang mungkin. Pertama, ini kesimpulan ngawur yang tak berbasiskan logika, bahwa lebih dari 350 tahun sebelum kedatangan Belanda, Takengen ini adalah kota gaib yang keberadaannya tak pernah diketahui siapapun, sehingga tidak ada satu orangpun yang menceritakan keberadaan kota ini, baik penduduk Takengen sendiri maupun orang luar yang pernah berkunjung ke kota ini.
Atau kesimpulan kedua yang lebih masuk akal, kota ini memang belum menjadi pemukiman penduduk sebelum kedatangan Belanda.
Nah kalau kesimpulannya seperti yang kedua. Sangat berbahaya bagi sejarah Gayo seandainya kita masih tetap mempertahakan kebohongan bahwa Takengen sudah berusia 446 tahun.
Kenapa berbahaya?
Pertama, jangan bayangkan hanya hari ini, tapi bayangkan 100, 200 tahun ke depan atau lebih. Ketika orang-orang Gayo yang sudah tersebar ke seluruh penjuru dunia, ingin mencari sejarah asalnya. Dia akan datang ke Takengen, mencari bukti-bukti peradaban nenek moyangnya. Tapi, tentu saja yang dia cari tidak ada. Karena sejarah itu adanya di Linge, Isak, Serule, Pantan Nangka, Kebayakan, Bebesen, Ketol dan seterusnya. Ketika dia mencari itu di Takengen, jelas dia akan tersesat.
Seperti ujar-ujar para pendahulu kita, Tingkis ulak ku bide, sesat ulak ku dene. “Bide” dari peradaban Gayo ini adalah “Asal Linge Awal Serule” yang baru-baru ini diubah oleh pemerintah Aceh Tengah yang baru jadi “Awal Linge Asal Serule” bukan Asal Takengen. Kalau nanti generasi mendatang, ingin ulak ku bide, jangan sampai mereka nanti kembali ke bide yang salah, Takengen.
Kedua, sikap permisif kita dalam menerima dongeng sejarah yang tak mempedulikan akal sehat ini akan menjadi karakter dan menjadi preseden yang berulang pada persoalan lain. Dengan sikap permisif yang mengabaikan akal sehat dalam kasus usia kota Takengen ini, sikap yang sama kita ulang ketika ada orang yang mengaku keturunan raja atau mengaku pewaris dari raja itu, kita terima saja tanpa mempertanyakan apakah klaimnya itu masuk akal.
Bahkan lebih jauh lagi, kebijakan-kebijakan publik yang diambil untuk diterapkan di daerah kitapun begitu, kita permisif pada kebijakan-kebijakan asal-asalan yang tidak didasari kajian dan terkesan hanya buang-buang uang.
Mentalitas kita jadi terbentuk menjadi mentalitas permisif yang tidak mempedulikan akal sehat.
Menurut saya, ini harus segera kita ubah, dan momentum HUT Kota Takengen ini adalah saat yang tepat untuk melakukan itu. Tingkis Ulak Kubide.
Saat ini, situasinya sudah tingkis, inilah saatnya kita ulak ku bide. []