Pelajaran dari Novel Kontroversi Karya Muhiddin M Dahlan

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

“Seren ku kayu, kayu merebah, seren ku atu, atupe mupecah.”

Frasa itu merupakan ungkapan keputusasaan sebagian kalangan orang Gayo terhadap situasi yang mendera mereka. Protes hanya terdengar sebagai gema, saran tidak diterima, keberadaan tidak dianggap, keinginan tidak dikabulkan. Semua pengabaian itu menimbulkan putus asa.

Kondisi seperti ini berulang kali terjadi. Parahnya orang yang datang tanpa ucapan “permisi” meski mereka lewat dengan angkuh mengibas hidung kita untuk mengangkut kekayaan negeri Gayo.

Orang-orang pintar mengingatkan, seseorang cenderung untuk berpindah keyakinan jika keputusasaan mencapai ubun-ubun. Kecewa dengan status quo karena tidak memberikan solusi dalam mengatasi masalah hidup, ideologi dan dogma agama yang digunakan hanya untuk menakut-nakuti pengikut lewat doktrin khayalan.

Sebagian memanfaatkan ilmu tarekat menjadi ruang pelarian. Mereka menjauh dari batas kemampuan dan mengadukan segala permasalahan itu kepada Tuhan. Kini ilmu dua dimensi itu pun telah mulai ditinggalkan. Sehingga sebagian dari aliran itu untuk tidak kehilangan pengikut, mulai mengubah pola rekrutmen dengan bermain pada tataran barang antik dan ilmu klenik untuk menjawab tantangan jamaah.

Agar penyakit hati tidak menjangkiti, sikap putus asa itu butuh dijawab konkret. Sayangnya, belum ada rumus dan pola untuk menjawab kebingungan untuk memulai menata bagaimana Gayo yang lebih baik ke depan.

Kalau ada kemajuan pada masyarakat karena “auto pilot”. Tidak ada peran tokoh dan pemerintah dalam menggeliatkan daerah itu. Bahkan seorang aktivis asal Gayo yang disegani di negeri tetangga, saat kembali ke Negeri Malem Dewa ini kebingungan dengan pola berpikir dan tindakan penguasa.

Dalam 20 tahun terakhir, Gayo mengalami krisis panutan. Semua ini didorong oleh dendam masa lalu yang terus didramatisasi dan dipolitisir oleh segelintir tokoh. Seolah-olah semua ini merupakan urusan ideologis, padahal sesungguhnya ini merupakan soal “biologis.” orang-orang itu berperan layaknya korban, tetapi sangat menikmati seluruh adegan. Semua kita terbuai dengan bualan mereka. Bahaya latennya, kita lupa rumusan untuk menata esok hari lebih baik.

Lantas, hari ini, kita mendapatkan pemahaman baru. Ketidaktahuan diri kita masuk dalam agenda setting dan by design. Sesungguhnya kita rentan kehilangan hak kebutuhan dasar; pangan, sandang dan papan, serta hak asasi sebagai masyarakat adat dalam menentukan nasib sendiri, bahkan dalam urusan memilih pemimpin.

“Urang Gayo tengahna; ukang tapi sakti. Seni osop saktie, taring ukange.” Begitu ungkapan orang tua yang juga merasakan kehilangan salah satu ciri identitas kaumnya.

Belum terlambat untuk sadar dan menjadi sakti kembali bahwa sejujurnya kita terjajah. Bangkitkan diskusi-diskusi kembali, dukung penuh tokoh yang ada, sambil mempersiapkan tokoh yang baru, bangun kerja sama dengan daerah tetangga dan pusat. Perjuangan ini akan menuai hasil, apalagi didukung oleh orang kaya yang dermawan, doa anak-anak yatim dan pemuda pejuang yang tanpa kenal lelah.

“Sebenare kiteni belangi, tapi gere berurus.” Ungkapan popular yang menunjukkan mulai sadar akan kedudukan dirinya untuk menjawab kebingungan, penasaran dan menyalahartikan tentang ulak ku sedenge.

Saya hanya khawatir dan mudah-mudahan tidak terjadi pada generasi kita. Novel kontroversi karya Muhiddin M Dahlan yang berjudul Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur; Memoar Luka Seorang Muslimah.

Dalam sinopsis buku itu ditulis: Seorang gadis Nidah Kirani semula hanya anak desa yang taat beragama, yang bercita-cita menjadi penganut Islam kaffah. Nidah Kirani merasa organisasi Jemaat Islamlah yang dapat mewujudkan harapannya.

Kenyataannya dia kecewa dengan organisasinya yang menjawab setiap pertanyaannya dengan doktrin tertutup tentang konsep ketuhanan yang tidak dipahami dan jelas tidak memuaskan haus dan dahaga dalam meneguk air keingintahuannya. Dia tidak saja kecewa dengan organisasinya, tetapi lebih parah lagi, kepada agamanya.

Dalam kekecewaannya dia memilih dunia pelacuran. Di kampus yang berlabel agama, dia menjadi “ayam kampus”. Pelanggannya mulai politikus hingga orang yang terlihat paling zuhud. Pada setiap persetubuhan, dia berkata kepada Tuhannya, supaya Tuhan melihatnya sebagai orang yang kecewa kepada agamanya.

Review novel kritik sosial yang terbit pada 2006. Secara individu dan komunal terjadi di negeri kita. Begitupun secara tersurat dan tersirat berlangsung pada kita. Peperangan memilih antara “pelacur” dan menata keadaan negeri yang lebih baik berlomba. Sedikit lengah kita akan amnesia tentang sejarah nenek moyang kita yang apik.

Sebagai hikmah, kita perlu mengkritisi diri kita sendiri. Agama tidak salah. Dalam konteks negeri kita, Gayo tidak salah sebagai wujud alam. Tapi jemaat dan tokohnya yang terlalu jauh membelokkan makna sebenarnya demi kepentingan fulus, kursi dan biologis.

(Mendale, Januari 7, 2023)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.