Cerita dari Kampungku (Episode 8): Dan Kembang Tai Ayam Pun Berguguran

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

TENGKU Yusra Habib Abdul Ghani bakal merilis buku. Judulnya Bunga Renggali dari Gayo. Buku ini, kata si empu cerita, berisi kisah tokoh-tokoh pejuang Gayo yang mengharumkan negeri Malem Dewa ini. Sudah barang tentu isi buku itu mendokumentasikan takdir terpuji para tokoh yang menjadi jiwa perjuangan negeri ini.

Sedikitnya sebelas nama tokoh bakal mengisi buku itu. Di antara mereka adalah Tengku Ilyas Leubee, Aman Dimot, Aman Nyerang, dan Tengku Saleh Adri. Mereka adalah orang-orang yang berjuang untuk menyejahterakan negeri yang mereka sayangi dan orang-orang yang menetap di dalamnya. Perjuangan mereka jauh dari kepentingan atau untuk keuntungan.

Perjuangan model itu, seperti yang ditunjukkan nama-nama di atas, mewariskan karakter dan keteladanan tentang bagaimana perjuangan itu dilakukan. Mereka memberikan apa-apa yang mereka bisa untuk disumbangkan pada negeri.

Meski memiliki kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dari “perjuangan” itu, sikap dan tindakan mereka jauh dari perbuatan menumpuk kekayaan untuk keluarga dan kroni-kroni. Jauh juga dari hegemoni nepotisme. Mereka berpikir jauh ke depan; untuk menciptakan generasi emas bagi Gayo.

Syahdan, Tengku Ilyas Leubee bersama Hasan Gayo membawa puluhan pemuda ke Jakarta. Mereka memfasilitasi anak-anak muda itu menjadi orang-orang berpengaruh di Ibu Kota Indonesia itu.

Di antara pemuda itu adalah Khairul Bahri. Seorang seniman. Khairul Bahri juga dikenal karena menerjemahkan buku Pinokio dari bahasa Italia ke bahasa Indonesia. Sosok ini juga menciptakan lambang Panca Cita yang bisa kita lihat di setiap seragam pegawai negeri Pemerintah Aceh. Ada juga nama AK Yakobi. Dia merupakan pendiri Koran Pikiran Rakyat yang berpusat di Bandung, Jawa Barat. Dia juga menulis buku Aceh Daerah Modal.

Pada 1970-an sampai dengan awal 1990-an, masih banyak orang Gayo di Jakarta yang bekerja sebagai birokrat. Tetapi setelah 2000, sampai saat ini, hal seperti itu jarang terdengar. Tak ada kaderisasi.

Bahkan di antara orang Gayo sendiri saling membunuh karakter, baik “di dalam negeri” sendiri, maupun di tanah rantau. Yang muncul sepeninggalan nama-nama itu adalah semangat permusuhan alih-alih persatuan.

Generasi berikut yang lahir seperti tidak menyisakan apapun seperti yang dilakukan oleh para tetua dahulu. Mereka jauh dari perumpamaan Bunge Renggali. Bunga yang jika dicampur dengan dilem babi dan tanoh dah (tanah liat) akan menjadi pembuang sial. Yang tinggal saat ini adalah generasi Bunge Tai Kurik (bunga tai ayam). Seperti yang diwariskan oleh para pemimpin di Gayo. Dan bunga-bunga itupun bakal segera berguguran.

Kaderisasi urang Gayo jauh dari kata selesai. Semakin ke mari, yang muncul malah generasi yang rusak tersebab politik dan peperangan; iri hati dan egoisme. Padahal generasi setelah para pejuang Gayo itu seharusnya bersikap lebih cerdas untuk memastikan perjuangan berikutnya merupakan upaya untuk kembali pada khittah, seperti saat para tetua dulu melawan penjajah Belanda.

Tentu tidak mudah untuk mengembalikan semangat kebersamaan dan persaudaraan Gayo itu. Apalagi pemimpin yang ada hanya meninggalkan time rebek (ember pecah). Selama memimpin, dia seharusnya berupaya untuk memperkuat persatuan masyarakat. Tapi dia malah merunyamkan setiap hal.

Entah apa yang ada di kepala pemimpin kami itu. Hampir tidak ada kewibawaan yang muncul, buah dari sikap arif dan kebijaksanaannya. Pemimpin kami malah bersikap seperti anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan yang benar dari orang tua. Semua orang di kampung kami memahami hal ini. Tak ada rasa malu. Bahkan rekaman soal kebutuhan uang dan persenan dari setiap proyek yang dikendalikannya tersebar di media massa. Persis anak-anak.

Terkadang saya jengah mendengarkan orang-orang berkata miring tentang pemimpin di kampung kami. “Pemimpin itu tidak dilihat dari bajunya. Bahkan monyet di Enang-Enang pun kalau dipakaikan jas tetap monyet.”

Kata-kata itu sebenarnya cukup menjadi gambaran tentang perasaan masyarakat terhadap pemimpin kami. Tapi saya berharap masyarakat belajar dari pemimpin kami tentang pentingnya harga persatuan untuk sama-sama membangun negeri.

Tengku Ali Husni atau populer dengan panggilan Tengku Kali Tama Kebayakan pernah bertanya kepada saya, “maukah kamu saya beri tahu bagaimana wibawa Tengku Leube?”

Saya mengangguk.

Baca Juga : Cerita dari Kampungku (Episode 7) ; Aku yang Pantas Mendampinginya

“Ketika Pang Alim dan Aman Dimot berkelahi, Tengku Ilyas lewat di dekat mereka. Namun tengku Ilyas tidak menghiraukan perkelahian itu. Dia hanya melintas. Melihat Tengku Ilyas di dekat mereka, Pang Alim dan Aman Dimot langsung menghentikan perkelahian itu dan mereka saling meminta maaf.”

Isi kepala saya menerawang ke mana-mana setelah mendengarkan cerita itu. Subhanallah.

(Mendale, November 26, 2022)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.