Cerita dari Kampungku (Episode 3); Seperti Kisah Banjir pada Masa Nabi Nuh AS Mulai Surut, Satwa Saling Berebut Kelamin

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Kuat dugaan bahan kayu untuk membuat kapal Nabi Nuh AS berasal dari hutan di Aceh. Salah satu alasannya, tidak ada dalam satu kawasan hutan di dunia ini yang tumbuh subur empat jenis kayu untuk bahan kapal laut di masa lampau. Yaitu, pohon kayu Medang Ara, Gerupel, Bungur dan Manil yang banyak terdapat di hutan di tengah dan tenggara Aceh.

Lambung kapal buatan Nabi Nuh AS dari kayu Medang Ara. Sedangkan untuk menguatkankan lambung kapal dipadukan dengan kayu Manil. Sebagai tiang untuk mengikat layar terbuat dari pohon kayu Bungur, dan bagian depan dan kemudinya pada bagian belakang terbuat dari pohon kayu Gerupel.

Kayu Medang Ara, walau ratusan tahun terendam tidak akan pernah busuk. Kalau kita masuk ke tengah hutan, ciri-cirinya; getahnya kenyal seperti permen karet dan kalau dikunyah terasa manis dan menghilangkan rasa haus. Sedangkan pohon kayu Bungur lurus-lurus yang tumbuh antara hutan padang ilalang. Kayu Gerupel apabila kulitnya dikupas baunya seperti bau kancil dan batangnya yang sudah tua kalau dibelah tampak bercak-bercak seperti tetapak kaki kancil.

Bahtera Nabi Nuh tidak saja bertujuan menyelamatkan manusia, tetapi juga menyelamatkan dan melestarikan kehidupan. Termasuk menyelamatkan kumpulan satwa. Konon, sebelum satwa itu naik kapal, khusus kepada para satwa yang berkelamin jantan wajib menyimpan “alat vitalnya” pada tempat yang sudah disediakan sebelumnya.

Tujuannya untuk menghindari “over kapasitas” muatan kapal. Waktu itu, tidak ada yang mampu memprediksi berapa lama banjir besar itu akan surut. Sehingga perlu antisipasi dengan “mencabut” alat kelamin satwa jantan. Bisa dibayangkan, kalau para satwa dibebaskan kawin, beberapa mamalia besar saja melahirkna, maka dikhawatirkan kapal akan tenggelam.

Dimaklumatkan juga, demi ketertiban bersama. Kepada para satwa jantan, bahwa kelamin hanya boleh diambil setelah banjir surut dan kapal sudah menepi serta harus menunggu aba-aba dari awak kapal. Barang siapa yang melanggar akan dihukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Setelah banjir surut dan kapal terasa telah bersandar di daratan, tiba-tiba terjadi kegaduhan di ruangan satwa. Mereka tidak sabar ingin mengambil kelaminnya masing-masing. Mulai terjadi desak-desakan. Pagar pembatas pun roboh dan para satwa mulai berlomba menuju tempat penyimpanan kelamin.

Baca Juga : Cerita dari Kampungku (Episode 2); “Politik Kucing Kawin”

Padahal sudah ada perjanjian untuk selalu tertib, tetapi karena situasi kacau, mereka membatalkan sepihak kesepakatan itu. Kuda yang mampu berlari kencang, lebih awal sampai dan memilih kelamin yang paling besar dan memakainya, yang tentu saja bukan miliknya. Saking bangganya dia meringkik senang sambil berlari keluar kapal.

Setelah kuda pergi, serentak menyusul dan berdesak-desakan satwa lainnya di tempat penyimpanan kelamin. Situasi tidak terkendali dan benar-benar kacau. Bahkan ada kelamin yang terinjak-injak dan akhirnya dipakai oleh bebek.

Nah, begitulah perumpamaan “kapal” pemerintahan di kampungku yang sudah “berlayar” selama lima tahun dan sebentar lagi akan mendarat. Dipastikan, begitu kapal menepi orang-orang akan memperebutkan apa yang ada pada pemimpin kami, terutama jabatannya.

Orang-orang tidak lagi menaruh rasa hormat. Tidak ada kata “permisi” lagi, walaupun orang itu lewat menyentuh ujung hidungmu. Kalau pada masa kacau itu, pulang tak berbaju masih sangat beruntung. Kelaminpun kalau tidak melekat pada tubuh kita akan dibawa lari, sebagaimana satwa dalam kapal Nabi Nuh AS, yang melarikan kelamin yang bukan miliknya.

(Mendale, Nopember 10, 2022)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.