Aceh Tengah ; Kebijakan Penertiban BBM Bersubsidi Yang Salah Kaprah

oleh

Oleh : Feri Yanto*

Hari ini kita menyaksikan aksi Satpol-PP dan WH melakukan penertiban sejumlah pertamini di kota Takengon, salah satu sebagai langkah untuk mengatasi kelangkaan BBM bersubsidi di Aceh Tengah.

Penertiban itu merupakan tindak lanjut hasil rapat terbatas terkait legalitas dan penertiban pertamini, serta hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah pusat terkait dampak kenaikan harga BBM.

Kita tentu sepakat dengan langkah pemerintah tersebut, sesuatu yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku harus ditindak secara tegas dan tanpa ampun.

Namun demikian, pemerintah daerah seakan lupa bahwa langkah-langkah tersebut diambil secara spontanitas tanpa melakukan kajian yang lebih dalam, mengenai situasi dan kondisi masyarakat di Aceh Tengah.

Pemerintah kita seakan terbiasa dengan pengambilan kebijakan yang spontanitas, reaktif atas aksi-aksi tanpa mengkaji. Seakan kebakaran jenggot dan ingin tampil didepan menunjukkan keseriusan, padahal dangkal tidak matang.

Sebagai contoh adalah aksi penertiban pertamini itu tadi, dan pembatasan jam oprasional SPBU penjualan BBM bersubsidi, Ini merupakan kebijakan yang salah kaprah..!

Salah kaprahnya adalah pemerintah daerah tidak memahami situasi masyarakat dan daerah itu sendiri, sehingga lahirlah kebijakan-kebijakan yang spontanitas tanpa mengkaji dampaknya bagi masyarakat.

Memang, kalau penertiban pertamini itu sudah benar secara aturan, tapi tidak mengakomodir kepentingan masyarakat. Andai saja, pertamini atau pedagang pengecer BBM diseluruh Aceh Tengah ditertibkan, sementara masyarakat Aceh Tengah tidak semua mampu menjangkau SPBU untuk menikmati BBM bersubsidi lantas bagaiman distribusi BBM bersubsidi itu bisa tepat sasaran?

Aceh Tengah terdiri dari 14 Kecamatan dan 295 Kampung, sementara hanya ada 5 SPBU yang tiga diantaranya berada di seputaran kota Takengon, kemudian satu di Kecamatan Jagong Jeget dan satu lagi di Silih Nara, itupun kuota BBM nya sangat terbatas.

Artinya apa, tidak mungkin masyarakat yang memerlukan BBM bersubsidi dengan penggunaan terbatas harus seriap saat pergi ke SPBU untuk mendapatkan BBM bersubsidi yang akan jauh lebih besar biaya untuk membelinya daripada harga BBM itu sendiri, seperti masyarkat yang ada di Isaq, Jamat, Ketol, Celala, dan Atu Lintang, misalnya.

Dilain itu, jam oprasional SPBU untuk penjualan BBM bersubsidi adalah kebijakan yang hanya pro pada pegawai yang berada di seputaran kota, selebihnya akan merugikan masyarakat kecil yang beraktifitas sejak pagi hingga malam.

Selain harus menunggu jam oprasional masyarakat juga harus mengantri panjang yang memakan waktu berjam-jam, bukan kah ini kebijakan salah kaprah?

Lantas bagaimana seharusnya pemerintah menentukan kebijakan penyaluran BBM bersubsidi ini, agar tepat sasaran dan mudah didapatkan.

Yang pertama, tidak melakukan pembatasan jam operasional SPBU untuk penjualan BBM bersubsidi, selanjutnya menunjuk atau menentukan Sub-Penyalur sebagaimana sudah diatur dalam Pasal 1 angka 7 Peraturan BPH Migas 6/2015, adalah perwakilan dari sekelompok konsumen pengguna jenis BBM tertentu dan/atau jenis BBM khusus penugasan di daerah yang tidak terdapat penyalur dan menyalurkan BBM hanya khusus kepada anggotanya dengan kriteria yang ditetapkan dalam peraturan ini hanya dimana wilayah operasinya berada.

Adapun syarat-syarat untuk menjadi Sub Penyalur adalah sebagai berikut:

a. Anggota dan/atau perwakilan masyarakat yang akan menjadi Sub Penyalur memiliki kegiatan usaha berupa Usaha Dagang dan/atau unit usaha yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa;

b. Lokasi pendirian sub penyalur memenuhi standar Keselamatan Kerja dan Lindungan Lingkungan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. Memiliki sarana penyimpanan dengan kapasitas paling banyak 3.000 liter dan memenuhi persyaratan teknis keselamatan kerja sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

d. Memiliki atau menguasai alat angkut BBM yang memenuhi standar pengangkutan BBM sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

e. Memiliki peralatan penyaluran yang memenuhi persyaratan teknis dan keselamatan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

f. Memiliki izin lokasi dari Pemerintah Daerah setempat untuk dibangun fasilitas Sub Penyalur;

g. Lokasi yang akan dibangun sarana Sub Penyalur secara umum berjarak minimal 5 (lima) km dari lokasi Penyalur berupa Agen Penyalur Minyak Solar (APMS) terdekat atau 10 km dari Penyalur berupa Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) terdekat atau atas pertimbangan lain yang dapat dipertanggungjawabkan;

h. Memiliki data konsumen pengguna yang kebutuhannya telah diverifikasi oleh Pemerintah Daerah setempat.

Dengan demikian, BBM bersubsidi akan dapat disalurkan tepat sasaran, dan tidak terjadi kelangkaam BBM ditengah masyarakat dan tidak terjadinya peningkatan harga BBM oleh pengecer.

Semoga, pemerintah daerah bisa mengkaji lebih dalam lagi mengenai penyaluran BBM bersubsidi, agar lebih tepat sasaran. Jangan membebani masyarakat berkali-kali, sudah harga naik namun sulit didapatkan.

*Direktur Eksekutif Kadin Aceh Tengah, Wakil Ketua KNPI Aceh Tengah.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.