Mengenang Aneuk Lubuk dari Sagoe Simpang Ulim dan Tengku Kadim dari Sagoe Blang Seunong

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Satu hari di tahun 2002, saya sangat merindukan seorang sahabat satu perjuangan yang syahid di perkebunan sawit di Sumatera Utara. Seorang sahabat wartawan Harian Sumatera, Helmi Ranggayo sempat membawa koran Harian Waspada, pada halaman depan jelas terpampang gambar Aneuk Lubuk yang badannya hancur oleh ledakan granat.

Setelah Aneuk Lubuk syahid, saya masih sempat bertemu dengan sahabat Aneuk Lubuk, bernama Tengku Kadim, beliau adalah Ulee Pasukan Sagoe Blang Seunong. Tapi pada saat Darurat Militer beliau syahid persis pada Kemp yang sudah sejak lama kami tinggalkan, yaitu kawasan Paser Putih, Kemukiman Samarkilang.

Tidak ada dokumentasi yang tersisa dari Aneuk Lubuk dan Tengku Kadim karena setelah beliau syahid situasi Aceh hampir memasuki Darurat Militer. Gambar-gambar dan dokumen lainnya tidak bisa kami selamatkan karena seringnya dikepung oleh musuh.

Saya hanya ingat Aneuk Lubuk dengan postur tubuh agak kurus dengan tinggi 165 Cm, berkulit putih dan berwajah oval dengan rambut agak bergelombang. Kalau disandingkan agak mirip dengan Tengku Jamaica. Ia sangat lincah, apalagi saat dikepung, ia begitu cepat mencapai posisi aman.

Tengku Kadim sendiri tinggi 175 Cm, wajah oval dan berkulit agak hitam, rambutnya lurus, giginya agak besar dan kalau sedikit tersenyum selalu nampak giginya yang putih bersih. Sebagai komandan pasukan, Tengku Kadim sudah teruji dalam menyerang maupun bertahan dalam serangan. Beliau juga fasih berbahasa Gayo karena sebelum konflik Aceh meluas beliau mencari penghidupan di daerah Tanah Merah, Serah Reje dan Serah Gele, kawasan yang banyak dihuni oleh orang-orang Gayo.

Kemp Sagoe Blang Seunong, Wilayah Peureulak adalah Kemp yang terdekat dengan Kemp Pasir Putih, Wilayah Linge. Kami membuat kesepakatan batas Wilayah Linge dan Wilayah Peureulak adalah sungai Wih Sejuk. Sehingga siapapun yang mengambil hasil alam di atas Wih Sejuk wajib memberikan “pajak negerinya” kepada Wilayah Linge.

Perbatasan antar wilayah kami sepakati berdasarkan perjanjian pada zaman dulu, ketika Tengku Ilyas Leube masih hidup. Batas dengan Aceh Timur adalah Wih Sejuk dan batas dengan Aceh Utara adalah Gunung Runtuh. Batas Wih Sejuk adalah “tukar guling” dengan Lokop Serbejadi. Dulu Lokop Serbejadi masuk Wilayah Aceh Tengah, tetapi karena urusan administrasi lebih dekat dengan Aceh Timur maka dititipkan wilayah itu, sedangkan Wih Sejuk ke barat ditarik ke Aceh Tengah.

Berdasarkan kesepakatan orang-orang tua dulu, tentang batas kami “petepat” dengan Aneuk Lubuk dan Tengku Katim (Sagoe Blang Seunong). Mereka sangat menjunjung tinggi soal batas. Bahkan mereka sangat peduli dengan keadaan Pasukan Wilayah Linge yang kurang bersenjataan.

Aneuk Lubuk dan Tengku Kadim putar otak mencari jalan agar kami juga banyak senjata. Ide untuk menarik “pajak nanggroe” setiap mesin chainsaw yang masuk hutan sampai kayu per kubiknya harus ada pajaknya adalah upaya Aneuk Lubuk dan Tengku Kadim untuk membantu kami di Wilayah Linge.

Pengumpulan pajak itu, tentu bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi sewaktu-waktu harus ditunjukkan kepada masyarakat dengan melakukan “tung bila” kalau ada musuh melakukan kejahatan kepada masyarakat. Begitupun dana yang dikumpulkan dari masyarakat tidak dikorupsi atau untuk membangun rumah.

“Untuk apa membangun rumah dalam keadaan perang? Sudah banyak contoh petinggi yang membangun rumah besar-besar, yang pada akhirnya tidak ditempati karena harus lari untuk bergerilya” kata Tengku Kadim di sela-sela perbincangan kami di Kemp Blang Seunong yang dipimpin Pang Sagoe, Ayah Rimba.

Satu waktu pada pertengahan tahun 2001, kami mengajak Aneuk Lubuk dan Tengku Kadim ke Pining (Wilayah Blangkejeren). Kami yang berangkat ke Pining adalah Wapang Jangko Mara, Fauzan Alia, Aneuk Lubuk, Tengku Kadim dan Pang Helmi Ranggayo. Kami melewati jalan setapak dari Blang Seunong ke kampung Serah Reje, kemudian naik boat pencari kayu ke Kampung Pasir Putih, lalu berjalan melewati gunung Sembuang, selanjutnya turun ke Kampung Sembuang, Lokop Serbejadi.

Sebelum meneruskan perjalanan ke Pining kami mengunjungi beberapa tempat di Lokop Serbejadi. Pada waktu itu tidak ada pos TNI/Polri di sana. Pasukan GAM di sana benar-benar berdaulat. Hanya ada gangguan dari sekelompok orang yang mengatasnamakan GAM Wilayah Peureulak yang mencuri sarang burung dan memeras masyarakat di sana.

Pasukan GAM Lokop pimpinan Abu Linge asal Kampung Pondok Gajah (Wilayah Linge) memiliki senjata yang berimbang dengan jumlah pasukan, yakni 2 banding 3; artinya dua senjata untuk tiga orang pasukan. Kunjungan kami untuk melihat sejauh mana kesepakatan kami berjalan dengan baik untuk saling membantu kalau terjadi serangan musuh. Terutama untuk membina hubungan baik dan saling membantu pasukan yang ada di Samarkilang, Pining dan Lokop Serbejadi.

Sebelumnya pasukan GAM Wilayah linge, gabungan Daerah I dan IV sudah berada di Lokop Serbejadi, tetapi mereka ditempatkan di daerah Tranmigrasi HTI di Tampur.

Sebelumnya lagi pasukan dari Samarkilang dan beberapa orang pimpinan Pang Datu juga sudah berada di sana untuk memperkuat pasukan Sagoe Lokop Serbejadi. Jadi Silaturrahmi GAM Wilayah Linge dengan Sagoe Lokop Serbejadi sudah terjalin dengan baik sejak lama.

Sepanjang perjalanan kami memikirkan kemajuan pasukan GAM Wilayah Linge. Terutama Aneuk Lubuk sangat serius ingin memberdayakan pasukan linge yang memiliki senjata 1 berbanding 10. Artinya setiap sepuluh orang hanya ada satu senjata. Dengan jumlah senjata seperti itu, jangankan untuk menyerang, bertahan pun sangat tidak mungkin.

Melihat kondisi yang miris seperti itu, dalam fikiran kami selalu terbayang senjata dan senjata. Kami yakin dengan senjata yang banyak bisa menguasai dan menciptakan wilayah berdaulat. Pada saat itu, wilayah berdaulat di Wilayah Linge hanya Pasir Putih. Sedangkan Samarkilang saja yang jauh dari pusat kota sudah dikuasai musuh.

Dalam mendapatkan senjata, Aneuk Lubuk tidak saja memikirkan cara yang wajar, misalnya lewat “pajak nanggroe”. Tapi cara yang tidak wajar pun beliau lakukan. Beliau pernah menyandera tongkang yang melintas di Selat Malaka dan tentu saja akan dibebaskan setelah membayar uang tebusan.

Semua dana tersebut diserahkan kepada pimpinannya. Dana dari menyandera tongkang itu rencana akan diserahkan kepada GAM Wilayah Linge tetapi karena waktu itu “loss kontak” dan beliau pun mendapat perintah oleh pimpinannya untuk “bekerja” di Sumatera Utara, sehingga kami tidak bertemu lagi.

Ketika saya berangkat pada Desember 2002 ke Kuta Raja, Juru Bicara Aceh Rayeuk, Tengku Muksalmina pernah mengeluhkan masalah tongkang tersebut kepada saya. Pemilik tongkang komplain kepadanya. Saya tidak mau ikut campur soal itu, walau saya tahu bahwa pelakunya adalah Aneuk Lubuk.

Cerita “penyanderaan tongkang” itu mengingatkan saya dengan “Traktat London” sebuah kesepakatan antara Kerajaan Aceh dan Kerajaan Inggris untuk saling membantu. Tapi kesepakatan tinggal kesepakatan karena Kerajaan Aceh yang berpusat di Kuta Raja tidak mampu mengontrol perompak-perompak di laut timur Aceh, sehingga Inggris membatalkan sepihak perjanjian itu sepihak dengan menukar daerah jajahannya.

Ghana yang menjadi jajahan Belanda ditukar menjadi jajahan Inggris, dan Inggris membiarkan Belanda masuk ke Aceh untuk menjajah.

(Mendale, 5 Agustus 2022)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.