Guna-Guna Tepur Hancur

oleh

Oleh : Dinika Yusuf*

Selidik punya selidik, ternyata tidak ada dari pihak keluarga, baik dari pihak ayah maupun ibu yang punya “asuh-asuhen,” yang ada hanya dari pihak ibu, yakni kakek Abdul Karem sebagai “Guru Kul” yang biasa mengobati penyakit medis dan non medis dan sebagian ilmu itu barangkali (saya belum bisa pastikan) sudah diturunkan kepada Paman Adarmasyah Adaryusra atau kami sering memanggilnya Paman Jeki.

Hanya saja pada zaman dahulu Datu Banan, ibu dari nenek Sakdiah Binti Bukit atau istri dari Abdul Karem menurut cerita masyarakat pernah melihat langsung orang yang sedang mengamalkan “ilmu tube” di hutan sekitar Toweren. Penganut “ilmu tube” itu sedang menari-menari telanjang tanpa sehelai benangpun sambil mengitari api unggun yang sedang memanggang bayi.

Artinya tidak ada faktor turunan atau darah penyakit “gegurun” yang menyebabkan saya kesurupan. Hanya saja kuat dugaan ada seseorang di kampung tetangga yang tidak suka kepada keluarga kami, yang membuat “guna-guna”. Barangkali orang itu, tidak langsung membenci saya, tetapi dalam keluarga, saya yang sangat lemah, sehingga saya menjadi sasaran dari “guna-guna” itu.

Kuat dugaan juga “guna-guna” yang menyebabkan saya “kerasukan jin” agar keluarga kami hancur. Sehingga orang itu menggunakan “Guna-guna tepur hancur” agar keluarga tidak saling akur. Suami dan istri saling ribut, anak-anak tidak patuh pada orang tua, dengan tetangga tidak baik. Pokoknya bagaimana keluarga itu dari sisi ekonomi tidak sukses dan tidak harmonis.

Sebagaimana kita maklum, kalau salah seorang saja dari keluarga sakit, maka seolah satu keluarga sakit karena harus bergantian saling menjaga. Kalau sudah begadang, maka bangun kesiangan, sehingga dipastikan tidak berusaha lagi. Apalagi mata pencaharian keluarga dominan adalah petani. Kalau sudah sering jaga malam, kebun tidak terawat lagi. Tentu saja hasil panen menurun.

Kita lihat di rumah sakit Muyang Kute dan Datu Beru, setiap ruangan penuh dengan keluarga. Padahal yang sakit hanya satu orang. Begitulah tradisi kita, hanya pada saat saudara sakitlah, kita menunjukkan solidaritas dan empati kepadanya. Kita pun bisa menilai dan merasakan, wajar dalam keadaan senang banyak orang datang. Tapi kalau ada orang datang saat kita sengsara atau sakit, berarti orang itu benar setia.

Sebenarnya pada saat ini pun “guna-guna tepur hancur” masih banyak terjadi di masyarakat kita. Penyebabnya adalah karena faktor iri dengki melihat tetangga lebih kaya, anak-anaknya lebih sukses, punya jabatan, usahanya lancar, dihormati di kampung, persoalan batas tanah, hutang piutang, menang dalam pilihan legislatif, lamaran ditolak, pernikahan yang gagal, masalah air sawah, penguasaan tanah, persoalan lahan parkir dan sebagainya.

Kadang-kadang saya pun sebagai korban “guna-guna” heran juga. Orang tua saya hanya lebih sedikit dari orang-orang kebanyakan, tetapi secara kasat mata juga tidak terlalu berlebihan kehidupannya di kampung saya. Tapi lagi-lagi penyakit iri sudah bersarang di tubuhnya, apapun masalahnya, besar maupun kecil tetap saja dia ingin mencelakai kita.

“Ayah, apakah tidak ada omongan lebih yang membuat orang sakit hati?” satu waktu saya bertanya kepada orang tua saya.

“Barangkali ada, tetapi kepada siapa? Ayah tidak ingat!” jawab ayah saya juga bingung.

Kita hanya bisa mengambil hikmah bahwa hidup di kampung harus menjaga sikap, tingkah laku dan bicara. Wajar ada istilah “mulutmu harimaumu”. “Omongan” kalau sudah lepas dari mulut sudah bukan lagi milik kita. Dia bisa jadi kita ucapkan A, tetapi sampai ke orang lain B. Jadi “bicara” harus benar-benar dijaga agar tidak menyinggung perasaan orang. Bicara baik pun bisa disalahartikan, apalagi bicara yang salah sudah pasti dianggap salah.

Sebenarnya kami dari pihak keluarga sudah tahu orang yang membuat saya kesurupan, tetapi kami tidak punya bukti untuk menyatakannya. Kami tidak bisa membuktikan “jin” yang dia masukkan ke dalam tubuh saya. Walaupun beberapa “guru kampung” menyatakan bahwa pelakunya “si anu” tetapi kami tidak ingin membuat daftar masalah.

Kalau sempat terjadi kami menuduhnya tanpa bukti, lalu dia melapor balik telah mencemarkan nama baiknya, tentu kami juga yang menerima akibatnya. Oleh karenanya, kami hanya bisa berpasrah saja dan tetap berikhtiar supaya sakit saya akibat “guna-guna” sembuh total. (Bersambung)

(Teritit, 5 Agustus 2022)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.