Suara, Manusia dan Tuhan

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Ketika aku akan melamar calon istriku, aku sedang berada di Swedia. Sedang calon istriku masih sebagai santriwati pada salah satu pesantren di Aceh Besar. Sebelum bertemu langsung, kami beberapa kali teleponan untuk saling mengenal.

Ta’aruf-an difasilitasi oleh seorang ustadzah, yang masih ada hubungan keluarga dengan calon istriku. Dalam waktu-waktu senggang, di sela-sela sok sibuknya bekerja, aku selalu menyempatkan diri menghubungi calon istriku untuk saling bertukar cerita. Kiranya waktu itu kami sedang kasmaran.

Setelah menikah, istriku berterus terang kepadaku. Katanya, awal mula dirinya jatuh cinta kepadaku, ketika sudah mendengar suaraku. Menurutnya suaraku memiliki getaran yang bisa meluluhkan hati wanita yang mendengarnya.

Pengalamannya itu diceritakan kepada kawan-kawannya sesama santriwati yang membuat mereka “kepo” tentang aku. Pada waktu itu, tentu saja calon istriku tidak banyak bercerita karena memang hubungan kami masih seumur jagung.

“Aku hanya peringatkan kepada kalian, kalau tidak ingin jatuh cinta kepadanya, jangan pernah mendengar suaranya” kata istriku dengan penuh senyum.

Kawan-kawan istriku semakin penasaran. Mereka pun membuat permufakatan untuk membuktikan; benarkah hanya dengan suara bisa membuat mereka jatuh cinta?

Para santriwati itu berkumpul membentuk lingkaran dan calon istriku pun menghubungi aku, lalu dia menekan mode speaker, sehingga suaraku terdengar sangat jelas.

“Assalamualaikum” sapa calon istriku mengawali pembicaraan.

“Alaikum salam” jawabku singkat.

Calon istriku menanyakan kabarku dan sedikit nasehat agar aku tidak banyak makan makanan yang berlemak dan berminyak karena punya riwayat radang amandel.

“Iya dek, terima kasih atas perhatiannya” jawabku dengan berbunga-bunga.

“Apa pendapat kalian? Sebagai mana aku, pasti kalian juga tertarik kan?” pancing calon istriku setelah mereka mendengar suaraku.

“Iya benar!” jawab mereka kompak tanpa sadar. Mereka tertawa cekikikan lalu membubarkan diri untuk meneruskan aktivitasnya masing-masing.

Aku tidak begitu menghiraukan pembicaraan istriku. Aku hanya menanggapinya datar saja. Sampai beberapa tahun kemudian, seorang akhwat di Depok yang tidak terlalu kukenal menyatakan suka dengan suaraku yang “ngebas.”

Aku hanya tertawa menanggapinya. Akhwat itu menyakinkan kembali bahwa ia sedang bersungguh-sungguh.

“Iya kadang” bisik hatiku tidak yakin.

Seingatku, aku tidak tidak pernah mengamalkan do’a atau mantra untuk memerdukan suara, walau pun aku pernah tahu seniman didong di kampungku mendawamkan do’a berikut ini.

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu suara yang ringan, kuat, dan merdu, seperti suara Nabi Daud Alaihi Salam.”

Sebenarnya berdiskusi tentang suara itu sangat dahsyat. Sebagaimana roh, dia bersifat abadi. Sehingga tidak ada do’a yang tertolak kalau sudah diucapkan. Hanya saja ada do’a yang dikabulkan segera, ada yang ditunda dan diganti.

Suara atau “mutakallimun” atau “linge-dalam bahasa Gayo” adalah sifat Tuhan yang membuktikan bahwa Tuhan dan manusia sangat dekat. Bahkan lebih dekat dari urat lehermu.

Mulut dan kerongkongan kita tidak berarti kalau tidak ada sifat “Berkata-kata” yang disumbangkan kepada kita. Sehingga wajar ketika memulakan sesuatu aktivitas, kalau kita berdzikir dengan lafadz; La Hayyun, La Muridun, La Mutakallimun, La Alimun, La Samiun, La Bashirun, La Qadirum Illallah.

Seperti alat musik gitar tanpa senar hanya seperti makhluk mati yang tidak bermanfaat kecuali hanya sebagai perhiasan belaka. Namun ketika sudah disematkan senar dan distem sedemikian rupa, ketika dipetik dengan nada-nada tertentu akan menghasilkan suara merdu di telinga, bahkan bisa menjadi kekuatan spiritual yang menakjubkan.

Begitupun Allah menciptakan manusia dengan fisik yang sempurna, tetap harus menata “sifat Tuhan” di dalam dirinya dengan berbagai macam metode. Di antarnya; takhalli, tahalli sehingga berhasil tajalli.

Kepada orang tua harus memperhatikan anak cucunya agar kelak benar-benar bersuara yang mengenakkan, tidak membuat orang lain sakit hati ketika berbicara. Syukur-syukur suaranya bisa menjadi energi; seperti senjata atau alat pelindung diri baginya.

Orang-orang tua dulu mengatakan, bahwa orang yang bicara membuat sakit hati orang, dulu pada masa kecil kurang mendapat perhatian dari orang tuanya, sampai makan kotorannya sendiri. Akibatnya kebaikan apapun yang dikatakan, tetapi sampai di telinga orang terasa menyakitkan dan tidak enak didengar.

Suara yang keluar dari mulut kita dengan tatanan kalimat yang baik dan intonasi yang kuat dan mengalir serta membentuk susunan tangga nada pas, jangankan melumpuhkan lawan jenis, besi pun yang keras sekalipun bisa meleleh, seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi Daud AS.

(Mendale, 13 Mei 2022)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.