Diabaikan di Daerah Asal, Junaidi Gayo Kembangkan Kampung Inggris di Bali (Bag II)

oleh

Oleh : Tim Redaksi*

Untuk mewujudkan mimpinya membangun kampung Inggris di Gayo, mulai tahun 2018, di sela-sela waktu liburnya di Jepang, Junaidi kembali ke kampung halaman untuk melobi pihak-pihak terkait yang berwenang untuk menjalankan programnya.

Sebenarnya, banyak pihak yang bertanya, kenapa harus melibatkan pemerintah dan tidak langsung dengan pola swasta murni.

Junaidi menceritakan, kalau dia membutuhkan dukungan pemerintah setidaknya karena dua hal.

Pertama, berdasarkan pengalamannya ketika dirinya bersama timnya di Pare mencoba mengembangkan kampung inggris di tempat lain, mulai dari Jawa Barat sampai Sulawesi Selatan, semuanya gagal.

Dari analisa mereka, punca dari kegagalan itu karena program yang mereka buka dari awal ini, kekurangan siswa.

Karena itulah, untuk memastikan program ini bisa berjalan. Harus ada dukungan dari pihak berwenang untuk mengirimkan siswa sebagai peserta kursus di kampung inggris ini.

Setelah satu atau dua program, berkaca pada kemampuan para siswa dalam berbahasa Inggris pasca mengikuti program ini, biasanya popularitas lembaga ini akan meningkat drastis sehingga setelahnya tanpa dukungan pemerintah pun, program ini akan jalan sendiri.

Kedua, karena dirinya bukan konglomerat, Junaidi berharap, pihak berwenang bisa meminjamkan gedung untuk belajar. Kalaupun harus disewa, harganya bisa terjangkau.

Itu untuk program kampung Inggris.

Sementara itu, untuk program pengiriman tenaga kerja ke Jepang, ini membutuhkan dukungan yang lebih besar dari pemerintah, karena biaya untuk pengiriman ini sangat tidak murah.

Untuk program ini, melalu jalur penyaluran tenaga kerja yang dia miliki di Jepang, ada dua tipe tenaga kerja yang diterima di Jepang, yaitu tamatan SMA dan tamatan D3.

Waktu tunggu pengiriman rata-rata 21 bulan, karena itulah daripada menunggu tanpa kegiatan, Junaidi selalu menyarankan calon tenaga kerja yang mendaftar untuk ke Jepang ini untuk mengambil kuliah D3 karena gaji yang akan didapat jauh lebih tinggi dan pekerjaan juga lebih ringan secara fisik.

Sebagai perbandingan, lulusan D3 bisa mendapat gaji 180 ribu Yen yang dalam rupiah kira-kira Rp. 20 Juta, sementara lulusan SMA hanya separuhnya.

Hanya saja untuk program ini kendala biaya memang sangat memberatkan, total biaya yang dibutuhkan untuk mulai dari lulus sekolah, ikut pelatihan dan biaya berangkat ke Jepang, bisa mencapai 35 Juta.

Berkaca pada daerah lain, biaya ini bisa dibantu pemerintah dengan sistem pinjaman yang dibayar oleh peserta dengan potongan gaji. Pemerintah sendiri biasanya mengalokasikan dana untuk ini dari uang BUMD bahkan beberapa desa dari BUMDES.

Lalu, untuk periode berikutnya, uang yang dipakai berasal dari potongan gaji yang wajib dibayarkan oleh peserta sebelumnya yang sudah berada di Jepang.

Untuk memastikan bahwa para pekerja ini tidak menghambur-hamburkan duit, dalam pelatihan sebelum berangkat Junaidi dan timnya melatih para peserta untuk belajar memasak sendiri minimal 10 menu, supaya di Jepang nanti mereka tidak perlu makan di restoran, karena di Jepang makan di restoran itu sangat mahal. Sementara kalau masak sendiri, dengan kurang dari Rp. 5 juta sebulan, itu sudah cukup.

Bahkan Junaidi dan timnya bahkan ikut memperhitungkan bagaimana gaya hidup keluarga yang ditinggalkan.

Sebagai contoh, berdasarkan pengalaman di awal-awal program ini mereka luncurkan, Junaidi dan timnya mengamati, sering terjadi ketika para pekerja ini mengirimkan seluruh penghasilannya ke kampung. Keluarga di kampung jadi kaget dan bergaya OKB, membeli mobil dan barang-barang tidak perlu untuk pamer. Tapi begitu selesai kontrak, kembali hidup susah.

Karena itu dalam programnya, Junaidi dan Tim hanya membatasi kiriman ke kampung, yang wajib dikirimkan 500 ribu per bulan untuk biaya sekolah adiknya. Lalu 1 juta per bulan untuk biaya naik haji orangtua yang di rekening khusus yang hanya bisa dicairkan setelah kontrak awal selama tiga tahun selesai.

Selain contoh ini ada beberapa hal lain yang mereka persiapkan, termasuk kalau pekerja tak lagi berniat melanjutkan kontrak di Jepang, mereka menyiapkan konsep bisnis untuk dijalankan di daerah asal.

Tapi sekali lagi, konsep inipun tidak berhasil dia jalankan di daerah asal karena Junaidi gagal meyakinkan para pemangku kebijakan kalau program ini bermanfaat untuk daerah asalnya, meskipun daerah lain banyak yang minta.

Bersambung ke bagian III. []

Baca Juga : Diabaikan di Daerah Asal, Junaidi Gayo Kembangkan Kampung Inggris di Bali (Bag. I)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.