[Bag.7] Romansa Gayo dan Bordeaux : Ufuk Barat Indonesia

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Malam semakin larut. Kegelapan telah sempurna menutupi alam. Perdebatan antara si Jerman dan Gianna terus berlangsung. Win yang sudah tak lagi tertarik pada apa yang mereka perdebatkan menikmati makan malamnya dengan tenang.

Sementara itu, di pusat kampung Iboih sedikit lebih ramai, karena pada jam-jam seperti ini, mobil angkutan yang membawa penumpang dari Pelabuhan Balohan ke Iboih sudah tiba, membawa penumpang, turis asing yang akan tinggal selama beberapa hari di tempat ini. Beberapa saat lagi, akan ada pengunjung baru yang datang ke Hemdan Restaurant. Kedatangan pengunjung baru ini mudah diperkirakan, karena memang hanya ada satu kapal Ferry yang melayani penyeberangan dari Banda Aceh ke Sabang dan sebaliknya.

Setelah tenggelamnya kapal Gurita yang meninggalkan trauma pada awal tahun 1996 silam, pelayanan penyeberangan dari Sabang ke Banda Aceh dan sebaliknya sempat dilayani oleh KMP Cengkih Afo. Tapi sekarang Cengkih Afo sudah kembali ke habitatnya di Selat Lombok untuk melayani penyeberangan dari pelabuhan Padang Bai di Bali Timur ke pelabuhan Lembar di Lombok Barat.

Saat ini, penyeberangan dari Banda Aceh ke Sabang dan sebaliknya, dilayani oleh KMP Pulau Rubiah. Kapal ini berangkat dari Sabang pukul 8.00 pagi dan berangkat dari Banda Aceh pukul 2.00 siang. Sekitar jam 4.00 sore, kapal merapat di pelabuhan Balohan dan menginap semalam. Dari Balohan, penumpang diangkut dengan mobil-mobil sedan atau mobil bak terbuka yang diberi pagar pelindung dari pipa besi ukuran 1 inchi yang dicat hitam, untuk diantar sampai ke tempat tujuan di berbagai pelosok kotamadya Sabang.

Kebanyakan penumpang turun di kota Sabang. Selebihnya ada satu dua yang lanjut sampai ke Aneuk Laot. Biasanya hanya turis-turis asing yang melanjutkan perjalanan sampai ke Iboih dan Gapang. Untuk penumpang tujuan Iboih, mereka diturunkan di pusat kampung Teupin Layeu.

Malam ini, ada beberapa orang turis asing yang tiba di Iboih. Satu persatu mereka turun dari angkutan dan membayar ongkos, lalu sambil menggendong ranselnya di punggung, mereka berjalan menyusuri jalan setapak dari beton di bawah rindangnya pepohonan. Semakin lama semakin sedikit yang tersisa karena beberapa dari mereka berbelok ke arah Aminah dan Hamidah Restaurant yang terletak agak di atas bukit dan lebih dulu dicapai sebelum Hamdan Restaurant. Sementara yang lain sudah lebih dulu mendapatkan penginapan di tepi pantai pasir putih dan Hamidah Restaurant. Sampai akhirnya, hanya tinggal satu sosok yang terus berjalan menuju ke Hamdan Restaurant. Seorang perempuan muda dengan tas ransel kecil dan koper beroda.

Tiba di depan pintu pagar sepinggang Hamdan Restaurant, si perempuan muda yang baru tiba ini masuk ke ruangan dan langsung menuju ke meja Rahma.

Kehadiran pendatang baru ini membuat perhatian pengunjung pada perdebatan hangat antara Gianna dan si Jerman berambut pirang teralihkan. Semua mata memandang ke arahnya. Termasuk Win.
Perempuan muda ini menarik mata karena penampilannya berbeda dengan semua pengunjung Hamdan Restaurant, terlebih dengan Gianna, satu-satunya turis perempuan di restoran ini. Perbedaan penampilannya, mulai dari usia, bahasa tubuh sampai gaya berpakaian dengan turis yang baru datang ini, sangatlah kontras.

Dibandingkan dari segi usia, Gianna sudah berusia paruh baya sementara perempuan yang baru datang ini masih sangat muda. Usianya paling banter di kisaran 18 sampai 19 tahun saja. Dilihat dari rambut, Gianna berambut pirang, kusut dan tampak kurang terurus. Sementara perempuan yang baru datang ini berambut hitam, terawat, sehat dan berkilauan layaknya rambut bintang iklan shampoo di TV.

Dari segi pakaian, Gianna adalah hippies sejati. Semua yang dia kenakan mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, segala aksesoris yang dia pakai, semuanya kumal, sebagaimana layaknya seorang backpacker yang sudah berbulan-bulan bahkan mungkin bertahun-tahun tidak pulang ke kampung halaman. Sementara perempuan yang baru masuk ini sebaliknya. Penampilannya sama sekali tidak mirip backpacker kebanyakan. Dia mengenakan jins yang terlihat bersih dan mahal. Begitu juga dengan baju dan sepatunya, semuanya bersih, terurus dan tampak mahal seperti layaknya pakaian orang-orang di kehidupan formal di sebuah kota besar.

Secara garis besar, penampilan perempuan muda yang baru datang ini layaknya seorang sosialita dari sebuah kota yang gemerlapan, berkesan serius, tertib dan teratur.

Dan yang paling mencolok dari semuanya adalah wajah, sikap dan bentuk badan. Tak perlu memperhatikan dengan detail dan cukup hanya dengan melihat sekilas, lelaki normal manapun yang berasal dari latar belakang ras dan budaya apapun, pasti akan sependapat mengatakan kalau secara fisik, perempuan muda yang baru datang ini luar biasa menarik.

Di meja Rahma, turis yang baru datang ini mencoba berbicara untuk menjelaskan maksudnya. Tapi, sebagaimana yang sering terjadi, setiap kali ada pengunjung baru di Hamdan Restaurant, sepertinya ada masalah komunikasi di antara pengunjung yang baru datang ini dengan Rahma. Perempuan muda ini tampak kebingungan. Dia merasa sudah menyampaikan maksudnya, tapi Rahma tidak paham juga apa yang dia katakan. Di sisi sebaliknya,
Rahma juga merasa demikian. Jelas kalau keduanya sedang membutuhkan pertolongan.

Win tersenyum menyaksikan kejadian itu. Berdasar pengalaman, Win tahu sebentar lagi Rahma akan memanggilnya.

Benar saja. Hanya dalam hitungan detik, Rahma menoleh ke arahnya.

“Ya, ada yang bisa dibantu, Kak?” Tanya Win sambil segera bergegas datang ke meja Rahma.

Belum sempat Rahma menjawab, si perempuan muda yang baru datang ini sudah lebih mendahului, “kamu bisa Bahasa Inggris?”

Saat mengatakan “You” mulutnya seperti dimonyongkan, dan saat mengatakan “English” suaranya terdengar sengau.

“Ya, bisa.” jawab Win singkat.

“Begini…saya tanya harga kamar. Dia bilang 6 ribu rupiah, apakah ini maksudnya 60 ribu?” Ungkapnya menjelaskan kesulitan yang dia hadapi dengan suara renyah dalam Bahasa Inggris. Win memperhatikan, saat perempuan ini berbicara di beberapa suku kata pengucapannya selain beberapa ucapan berbunyi sengau, suaranya juga cadel saat mengucapkan dirinya mengucapkan kata yang mengandung huruf ‘r’.

“Oh, orang Prancis,” gumam Win.

Ini maksudnya 60 ribu, kan?” Tanya si perempuan ini lagi memperjelas maksudnya.

“Eh, tidak…maksudnya memang enam ribu,” jawab Win sedikit tergagap.

“Setengah dollar??” ujarnya dengan mata sedikit membelalak dan wajah yang menunjukkan mimik tidak percaya.

Win terpana menyaksikan matanya yang berwarna abu-abu dengan titik hitam di tengahnya. Mata terindah yang pernah Win lihat seumur hidupnya. Pemandangan yang membuat Win terdiam sejenak, lupa untuk menjawab.

Suasana pun sempat hening sejenak. Rahma dengan jeli menangkap semua perubahan sikap Win.

“Mais, c’est impossible,” gumam gadis yang baru datang ini.

“Kamu serius harganya cuma setengah dollar?” ujarnya mengulangi pertanyaan.

“I…iya…setengah dollar. Indonesia sedang krisis, kamu tahu, kan?” sahut Win kembali tergagap.

“Oh….” Kata si gadis ini masih dengan nada tidak percaya, tapi sepertinya mulai mengerti.

“Tapi…setengah dollar?” Katanya lagi menggeleng-gelengkan kepala sambil mencari dompet yang dia simpan dalam tas punggungnya.

“Iya. Kamu mau ambil berapa malam?” tanya Win yang sudah kembali menguasai keadaan.

“Hmm….one week.” sahut perempuan itu. Bibirnya terlihat benar-benar menggemaskan waktu dia menyebut kata one.

Dia mengeluarkan selembar uang berwarna hijau kebiruan bergambar Presiden Soeharto dari dalam dompetnya dan langsung membayar lunas biaya penginapannya selama seminggu.

Rahma menerimanya dan memberikan kembalian yang langsung dimasukkan kembali oleh turis yang baru datang ini ke dalam dompetnya sembari menggeleng-gelengkan kepala. Dia seperti masih tidak percaya kalau dia bisa mendapatkan kamar dengan harga yang sedemikian murahnya.

“Oh ya…aku Win. Nama kamu siapa?” ujar Win sambil mengulurkan tangan memperkenalkan diri.

“Aku…Ansofi,” jawab turis yang baru datang.

-Senang kenal dengan kamu.

-Terima kasih.

“Oh ya, silahkan isi buku tamunya.” Win meyodorkan buku tamu untuk ditulisi data pribadi tamu yang menginap di bungalow milik Hamdan Restaurant.

“Untuk administrasi,” terangnya.

Perempuan ini menerima buku yang disodorkan Win dan menuliskan namanya dengan tangan kiri. Gadis ini kidal.

Win memperhatikan dengan seksama. Ketika memegang pulpen untuk menulis, gadis ini menempatkan punggung tangannya menghadap ke depan, berbeda dengan Win yang menulis dengan punggung tangan menghadap ke samping.

– LECOUVREUR, Anne-Sophie.

Dia menulis semua huruf dalam kata pertama namanya dengan huruf besar.

Oh…tulisannya, Anne-Sophie, batin Win.

Selesai dengan urusan administrasi, Anne-Sophie diantar langsung oleh Rahma ke bungalow yang dia sewa. Dia melambaikan tangan sambil melempar senyuman ke arah Win. Senyuman paling manis yang pernah dilihat pemuda ini.

Win kembali ke bangkunya untuk melanjutkan makan malamnya yang sempat terinterupsi. Win menyendokkan nasi ke dalam mulut, tapi pikirannya tidak di sana, di kepalanya tergambar wajah Anne-Sophie, mata abu-abu, senyuman manis dan suara sengaunya yang unik.

Perdebatan antara Gianna dan si Jerman berambut pirang telah berhenti.

Win dan si Jerman menikmati makanan di piring masing-masing. Si Jerman menikmati makanannya dalam diam, sementara Gianna, sudah kembali ke moodnya semula, yang meski sudah sedikit mabuk, tapi seperti biasa, dia menikmati canda mesra dengan Jack, si gondrong kekar.

-o0o-

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.