Jambore Leuser, Kehangatan Keluarga dan Persaudaraan Tanpa Akhir

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Tanggal 4 Januari 2022, Rakay, seorang anggota UKM PA Leuser Unsyiah angkatan kesembilan, berangkat dengan mobil Land Rover tuanya dari Bukit Tinggi, melalui Padang mengambil arah pantai barat Sumatera.

Di Tarutung dia berhenti untuk bertemu dengan Fajrin, yang juga sesama anggota UKM PA Leuser.

Fajrin yang tinggal di Tarutung, Sumatera Utara, bersama Rakay berangkat lengkap dengan seluruh anggota keluarganya, dengan mobil terpisah, menuju ke tujuan yang sama Dusun Merodot, Kampung Ujung Pasir, Bintang, Aceh Tengah.

Ketika memasuki wilayah Sidikalang, Land Rover tua milik Rakay mengalami gangguan mesin, akibatnya dia harus tertahan, memperbaiki mobilnya. Setelah berhasil diperbaiki, dia melanjutkan perjalanan dan akhirnya menjelang maghrib, pada hari jumat tiba tanggal 7 Januari 2022 dia tiba di Merodot.

Apa yang sebenarnya mereka kejar, sehingga Rakay dan Fajrin mau berlelah-lelah dengan perjuangan seperti itu, demi mencapai Merodot di tanggal itu?

Alasannya adalah, Jambore UKM PA Leuser, acara yang pertama kalinya akan mempertemukan para anggota kelompok pecinta alam tertua di Aceh, yang berdiri tahun 1986 ini. Seluruh angkatan, mulai dari para pendiri, angkatan pertama sampai ke angkatan ke – 38, direncanakan akan bertemu di Merodot, pada Januari 2022 tanggal 7 sampai 9.

Bagi banyak orang di luar Leuser, pengorbanan seperti ini, cuma untuk menghadiri pertemuan sebuah organisasi mahasiswa intra kampus, adalah sesuatu yang agak sulit diterima logika.

Tapi bagi anggota Leuser, kelompok pecinta alam ini bukanlah sekedar sebuah organisasi. Bagi mereka, Leuser adalah keluarga, tempat mereka tumbuh besar menjadi dewasa
sebelum mereka membentuk keluarga sendiri.

Sebagai contoh, Leuser lah yang membuat Rakay, putra Minang yang tinggal di Bukit Tinggi dan Fajrin, putra Aceh asli yang tinggal di Tarutung, menjadi saudara.

Tanpa Leuser, Rakay takkan pernah mengenal Fajrin, meski mereka sama-sama alumi USK, sebab saat Rakay menamatkan kuliahnua di Teknik Mesin USK, Fajrin masih berseragam putih abu-abu. Generasi mereka terpaut jauh, tapi Leuser menyatukan mereka.

Ini pula yang terjadi dengan anggota lain, termasuk saya.

Contohnya, ketika Bang Maimun yang bernomor anggota 002, diterima di fakultas Teknik Unsyiah pada tahun 1977, saya yang bernomor anggota 165 masih cadel dan baru belajar bicara.

Jelas di kampus, kami tak pernah bertemu. Tapi karena kami sama-sama, anggota Leuser, saya melihat Bang Maimun seperti abang sendiri. Kalau saya berada di Lhokseumawe, saya tanpa ragu akan menginap di rumahnya, begitu juga sebaliknya jika dia datang ke Bali. Kami memang layaknya keluarga.

Layaknya keluarga, ada banyak sekali cerita seru dan berbagai kehangatan yang tak terlupa, saat kami semua aktif di organisasi ini. Keseruan dan kehangatan yang kami rasakan saat berkumpul itulah yang ingin diulangi di acara Jambore ini.

Layaknya pertemuan keluarga, peserta acara ini sama sekali tak dipungut biaya. Para anggota Leuser yang sudah menamatkan kuliah dan mendapat kelebihan rezeki, bahu membahu mengumpulkan uang untuk membiayai acara ini. Mulai dari menyewa tempat, menyewa tenda, membeli ikan, daging dan beras untuk konsumsi sampai menyewa bus untuk mengangkut adik-adik anggota aktif yang saat ini masih berstatus mahasiswa, buat berpartisipasi dalam Jambore ini.

Ketika acara berlangsung, suasananya benar-benar luar biasa, kehangatan sebuah keluarga benar-benar tergambar.

Para anggota Leuser yang terpisah usia begitu jauh melebur tanpa batasan. Anggota Leuser yang terpisah generasi puluhan tahun, melebur seolah tanpa sekat.

Para anggota Leuser angkatan 20-an ke atas yang selama ini hanya mendengar nama dan melihat foto anggota-anggota senior legendaris yang sosoknya nyaris menjadi mitos, di acara ini berkesempatan bertemu langsung dan melihat secara nyata, kalau mereka adalah sosok anggota Leuser biasa, yang melebur bersama mereka dengan kehangatan seorang abang atau kakak kepada adik-adiknya.

Beberapa anggota yang di luar acara ini, dalam kehidupan sehari-hari adalah pejabat yang dihormati, mulai dari kepala dinas, Kapolres sampai pejabat BPK pusat di Jakarta yang sangat disegani oleh para pejabat daerah, di jambore ini kembali jadi anggota keluarga biasa, yang tanpa ragu bercanda dan menerima berbagai candaan, ejekan bahkan bully-an dari senior dan kolega sambil tertawa lepas atau bertingkah konyol tanpa takut kehilangan wibawa.

Bocah-bocah anak dari anggota Leuser yang rata-rata baru bertemu pertama kalinya, juga langsung merasakan kehangatan keluarga ini, sehingga meski baru pertama kali bertemu, mereka langsung akrab layaknya sahabat lama.

Begitu serunya kegiatan ini, sehingga ketika acara berlangsung, para anggota nyaris tak punya waktu bermain dengan smartphone nya, yang berakibat tak banyak aktivitas di acara ini yang beredar di media sosial, ketika acara masih berlangsung.

Keseruan dan kehangatan seperti inilah yang sangat sulit ditemukan dalam acara reuni sekolahan atau kuliahan yang sering menjadi ajang pamer kesuksesan, sehingga, beberapa orang tak ingin datang karena merasa malu, sebab hidupnya tak sesukses koleganya.

Di Jambore Leuser, hal seperti ini tak terlihat. Anggota yang datang dengan honda bebek Cup 70 sama sekali tak merasa terintimidasi dengan anggota yang datang dengan Pajero atau Fortuner.

Bahkan anggota yang diketahui agak kesulitan ekonomi, dibiayai oleh yang berkelebihan untuk hadir di acara ini. Karena memang seperti inilah Leuser, anggota keluarga ini, tidak hanya saling tolong menolong saat ekspedisi di gunung, jeram, gua atau tebing. Tapi saat sudah tamat kuliah dan berjuang dalam kehidupan nyata pun, mereka masih saling memperhatikan dan saling tolong menolong.

Semangat dan jiwa pecinta alam, inilah yang menjadi jiwa dari Jambore Mapala Leuser.

Kerinduan akan suasana seperti inilah yang mendorong anggota kelompok pecinta alam ini, yang sekarang tinggal di pelbagai pelosok Indonesia bahkan luar negeri, rela menyusahkan diri, mulai dari menyetir mobil tua dari Bukit Tinggi, menghabiskan puluhan juta untuk tiket pesawat pulang pergi, demi bisa mencapai Merodot yang terletak tepat di jantung provinsi Aceh. Lalu di tengah musim penghujan, tidur di tenda yang lembab, jauh dari kenyamanan hotel berbintang.

Kerinduan akan suasana seperti inilah yang membuat anggota Leuser yang berhalangan hadir, menangis darah melihat foto-foto dan video jambore yang beredar massif di media sosial, sehari setelah acara.

*Penulis adalah Anggota UKM PA Leuser USK, angkatan ke – 10

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.