Impresionistik Penyair Perempuan Gayo dalam Antologi Puisi SUBANG

oleh

Oleh : Zuliana Ibrahim*

Puisi lahir dari sebuah kenyataan sejarah, melibatkan proses penghayatan penyair terhadap sesuatu yang ada di sekitarnya. Kenyataan yang diperoleh penyair melatarbelakangi proses penciptaan yang menjadi refleksi suatu peristiwa tertentu.

Kenyataan itu dapat berupa manusia, peristiwa, benda dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan pendapat Rachmat Djoko Pradopo (2014 : 7) bahwa puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting dan diubah dalam wujud paling berkesan.

Lalu Herman J Waluyo (1991 : 43) bahwa kesan-kesan yang timbul dari kenyataan diolah dalam batin pengarang, kemudian pengarang membuat pemerian (deskripsi) tentang kesannya itu ke dalam puisi dan maksud utama puisinya adalah menjelaskan kesan yang terdapat dalam pikiran, perasaan, dan kesadaran penyair, bukan mendeskripsikan secara terperinci kenyataan itu.

Dalam kata lain, puisi yang diciptakan menimbulkan kesan dan bertujuan untuk mengemukakan kesan atau maksud pribadi penyair. Antologi puisi Subang menghimpun puisi-puisi dari 16 penyair perempuan Gayo yang berasal dari sebuah komunitas bernama Forum Beru Gayo.

Antologi puisi ini mengusung tema Jejak Perempuan dan Gayo Prasejarah, memberikan banyak kesan sehingga membuat pembaca lebih dapat memahami kehidupan dan peran perempuan Gayo serta kehidupan di Gayo pada masa prasejarah. Mari perhatikan puisi berikut ini.

Gadis Abadi dari Gayo

Qurrata ‘aini
gadis melegenda
Datu Beru
gadis abadi artinya

Anggun akan keberanian
bijaksana kala memutuskan
sukarela di politik kerajaan

Namanya memang tak semashyur pahlawan wanita lainnya
namun istimewa karena juangnya
klasik, indah dari lisan para tetua

Menjadi lagu merdu
di pangkuan para pujangga
si gadis abadi
cermin bagi mereka yang lahir berikutnya

Puisi karya Rike Rizki Mahara di atas adalah salah satu puisi yang berbicara tentang perempuan Gayo. Dalam puisi tersebut menyebutkan salah satu tokoh pahlawan perempuan Gayo yaitu Qurrata Aini yang dikenal juga dengan sebutan Datu Beru.

Penyair tidak hanya menggambarkan perjalanan hidup Datu Beru, namun juga mengemukakan kesan pribadi. Seorang pahlawan perempuan dari Gayo yang berani dan bijaksana ikut andil dalam kemelut politik pada zamannya.

Meski tidak terkenal sebagai pahlawan nasional seperti pahlawan perempuan Aceh lainnya yaitu Cut Nyak Dien atau Cut Nyak Meutia, Datu Beru memiliki tempat khusus di hati masyarakat Gayo.

Sebagai salah satu bukti penghormatan masyarakat Gayo kepada Datu Beru, namanya sampai saat ini dijadikan sebagai nama rumah sakit umum di Dataran Tinggi Tanoh Gayo. Para orang tua pun masih setia menyampaikan kisah perjuangan Datu Beru secara turun temurun, baik dalam bentuk sastra lisan maupun nyanyian modern sebagai harapan menjadi panutan bagi generasi muda selanjutnya.

Hampir serupa dengan puisi Rike di atas, masih ada puisi lainnya dalam antologi puisi Subang yang berbicara tentang kegagahan seorang Datu Beru yaitu puisi “Banan Si Behu Pemulo Mumancang” karya Sinte Adatia.

Quratu Ain sosok pahlawan, beru bersejarah di Gayo
yang tangguh cerdas
tutur sapa membelai
sosok perempuan kental akan adat
sangat menjaga perangai
olok di sedih pahlawan te
gere dele simubetih kisah he
wanita yang berjuang demi keadilan

Pada penggalan puisi di atas, penyair mengungkapkan kesannya terhadap sosok pahlawan Quratu Ain/ Datu Beru, sebagai sosok tangguh, cerdas, santun dan mampu menjaga diri. Namun penyair menyesalkan kenyataan bahwa Datu Beru tidak banyak yang mengetahui sejarah kehidupannya sebagai wanita yang berjuang demi keadilan.

Selain sosok Datu Beru, puisi-puisi yang terangkum dalam antologi puisi Subang juga mengangkat sosok perempuan Gayo dari sisi yang berbeda, di antaranya mengenai kegigihan seorang perempuan yang telah menyandang status sebagai seorang ibu, terekam dalam puisi “Ine” karya Anita Permata Sari, “Cerita Di Antara Sisir Tua” karya Asmira Dieni, “Si Hebat Tak Kenal Lelah” karya Barqah Nafeesa, dan “Kelubung” karya Vera Hastuti.

Ada pula puisi yang mengangkat sosok perempuan dalam legenda mahsyur Tanoh Gayo yaitu puisi “Puteri Pukes” karya Zakia Vintara. Puisi “Ahoy Wiw” karya Eni Penalamni yang mengemukakan kebiasaan perempuan-perempuan Gayo yang hidup rukun bertetangga dalam balutan resam mulawi disegala bentuk aktifitas kehidupan sehari-hari.

Adapula puisi yang mengemukakan sosok gadis Gayo seperti yang terangkum dalam puisi “Beberu Gayo” karya Sumarni, “Beru Gayo Berunger” karya Ulandari Fitri dan “Alunan Merdu Wanita Gayo” karya Zakia Vintara.

Puisi-puisi tentang jejak perempuan Gayo dalam antologi Subang sangat mewakili kehidupan perempuan Gayo yang hakikatnya menjaga martabat dan memiliki nilai kesantunan sesuai dengan adat istiadat budaya Gayo yang berlandaskan ajaran Islam. Catatan-catatan kehidupan perempuan Gayo tersimpan rapi dalam puisi-puisi tersebut, membuat pembaca terbawa arus perasaan yang begitu berkesan.

Antologi puisi Subang juga menyuguhkan tema Gayo prasejarah, Hal ini menambah komplit antologi puisi ini untuk dapat menjadi acuan dalam memahami hal-hal atau kejadian yang berhubungan dengan kehidupan Gayo pada masa prasejarah.

Peristiwa sejarah yang terungkap setelah ditemukannya nilai arkeologis di Ceruk Mendale, menjadi salah satu ide utama yang tertuang dalam puisi-puisi penyair dalam antologi puisi Subang.

Representasi dari benda-benda penemuan seperti yang disebut dalam puisi “Sebelum Sejarah” karya Anita Permata Sari H, “Jejak di Gayo” karya Azkia Azwanola, “Gerabah”, “Subang Muyang Datu” karya Devie Komala Syahni yang menyebutkan benda-benda temuan di Ceruk Mendale di dalam puisinya, dengan harapan agar dapat dijaga keberadaannya.

Disamping itu, ada pula sekelumit keresahan dari penyair tentang keberadaan situs dengan berbagai carut marut kehidupan modern saat ini, hal ini dapat dilihat dalam puisi “Putri Pukes Jadi Kartun” karya Devie Komala Syahni.

Puteri Pukes masuk dalam gawai/generasi Z merubahnya menjadi tokoh kartun/ dengan wajah berwarna merah marun/ berpipi tomat rambut warna warni// larik-larik ini mengemukakan ironi yang terjadi saat ini terhadap keberadaan situs.

Diperkuat dengan bait terakhir Ketut Wiradnyana/ bersimpuh diantara tengkorak manusia purba/menyemai kisah tulang belulang/ melangitkan doa bagi leluhur//.

Penyair sampai menyebutkan pahlawan utama penemu nilai-nilai arekologis yang ada di Tanah Gayo yaitu Dr. Ketut Wiradyana, M.Si. sebagai bentuk kekhawatirannya dalam upaya menyelamatkan situs-situs yang kaya akan nilai sejarah.

Fakta-fakta objektif melahirkan kesan mendalam pada diri penyair, Di sisi lain, ada pula puisi-puisi yang hanya sekadar mengutarakan kesannya terhadap kehidupan di Gayo, seperti puisi “Gayo” karya Barqah Nafeesa, “Melodi di Atas Tirta” karya Inayah Putri Marwa, “Gayo” karya Ine Salvani Renggali SY, “Identitas Urang Gayo” karya Marhamah dan “Pesan untuk Anak Cucuku di Gayo” karya Ulandari Fitri.

Puisi-puisi mereka secara umum mengemukakan rasa bangga mengakui Gayo sebagai salah satu suku tertua yang mendiami nusantara.

Membaca puisi-puisi di dalam antologi puisi Subang, mampu mengajak pembaca untuk menyelami jejak kehidupan perempuan Gayo dan Gayo prasejarah. Setiap puisi menawarkan kenyataan yang telah diolah melalui jiwa penyairnya. Masing-masing mereka mengungkapkan kesan dari kenyataan itu.

Kenyataan yang membawa persepsi berbeda dalam memahami setiap kejadiannya. Dari puisi-puisi tersebut kita dapat belajar dan menerawang bagaimana sebuah peristiwa berlangsung dan bagaimana penyair menangkap peritiwa menjadi bermakna. [SY]

Takengon, Desember 2021

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.