[Part VII] Kisah Mantan Gerilyawan GAM Linge ; Salah Masuk ke Pos Marinir

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Setelah beberapa hari di Kawasan Pateng Seuribe, Sagoe Blang Seunong, Wilayah Peureulak, tiba-tiba Panglima Wilayah Linge, Tengku Ilham Ilyas Leubee, memerintahkan kami agar segera menghadap kepadanya, yang sedang berada di Bate Pilaa, Nisam, di rumah Panglima Muda, Tengku Ilyas Pasee.

Kami hanya transit di kawasan bantaran Sungai Jambo Aye tersebut. Sebelumnya telah menyelesaikan ekspedisi dari Kampung Pining, Wilayah Blangkejeren. Kami berangkat dari Samarkilang bersama; Tengku Katim (Dari Sagoe Balang Seunong, Peureulak), Aneuk Lubuk (Dari Sagoe Simpang Ulim, Peureulak), Aman Dewal, Fauzan Blang, Pang Jangko Mara dan Tengku Helmi Ranggayo (wartawan Harian Sumatera).

Perjalanan dari Samarkilang ke Lokop Serbejadi ditempuh selama tiga hari melewati hutan belantara. Sampai di Kampung Sembuang, kampung yang berbatasan dengan hutan, kami bertemu dengan Pang Jali Tiger, Pang Mabok dan Pang Lintes, yang akhirnya ikut bersama kami ke Pining dengan sepeda motor yang kami sewa dari masyarakat Lokop Serbejadi.

Jalan Lokop Serbejadi-Pining masih terobosan dan beberapa sungai tidak ada jembatan. Tidak jarang kami harus mengangkat sepeda motor untuk menyeberang sungai.

Belum hilang rasanya lelah dalam perjalanan panjang, namun demikian tidak ada alasan untuk tidak berangkat menemui Tengku Ilham.

Apapun hambatannya kami harus sampai di Nisam. Setelah berdiskusi dengan Panglima Sagoe Blang Seunong, Ayah Muda, beliau menghubungi dan mengatur dengan Panglima Sagoe Simpang Ulim agar menggunakan jalur laut pada malam hari karena pada siang hari TNI/Polri operasi di kampung-kampung sekitar pantai.

Pada akhir tahun 2001 sedang berlangsung operasi 2000 jam. Operasi yang mengerahkan kekuatan TNI/Polri dengan sandi yang terdengar indah, “operasi cinta meunasah” tetapi kenyataannya banyak rakyat terbunuh. Sementara jalan darat harus melewati perkebunan sawit Cot Girek dan len pipa minyak dan gas, yang siang malam dijaga TNI dengan ketat agar tidak ada sabotase dari pihak GAM.

Kami berangkat tiga orang; saya bersama Pang Win KK yang membawa AK-47, Fauzan Blang membawa pistol FN. Dari Pateng Seuribe kami melintasi tepi bendungan masuk kawasan Wilayah Pasee, kemudian masuk lagi Wilayah Peureulak. Kedua Wilayah itu dibatasi Sungai Jambo Aye.

Kami dipandu oleh “anak-anak radio” sampai ke daerah Lhok Nibong. Mereka sangat detail memandu dan memberitahu jarak aman serta titik-titik mana saja yang terdapat musuh. Sebelum melintasi jalan Medan-Banda Aceh kami berhenti sejenak untuk memastikan tidak ada TNI/Polri di sana, ketika kami memotong jalan ke arah pantai.

“Anak radio” sudah standby. Mereka harus memastikan dengan naik sepeda motor di sekitar penyeberangan. Setelah aman baru kami menyeberang sampai ke kampung di dekat pantai. Keadaan aman, kami sempatkan diri untuk minum kopi di warung. Kampung di bibir pantai itu benar-benar berdaulat. Semua penduduk yang lewat menyapa kami dengan ramah.

“Dari Lingge (dari Linge?)” mereka bertanya memastikan kami dari Linge. Lidah mereka agak susah menyebut “Linge,” mereka sudah biasa menyebut “Lingge.”

Kedatangan kami di kalangan masyarakat kampung itu telah tersebar dari mulut ke mulut. Sebagian dari mereka ingin berkenalan dan bercerita dengan kami sambil minum kopi. Sebagian ada yang merasa prihatin dengan keadaan kami di Linge. Mereka melihat kami merasa aneh karena wilayah tengah sedikit sekali pasukan GAM.

“Beutoi Bang! Kamoe dari Linge (Betul Bang! Kami dari Linge)” jawab kami spontan.

Mereka menyambut kami dengan ramah, seperti keluarga yang sudah lama tidak pernah berjumpa. Rasanya tidak bosan-bosannya kami bercerita, apalagi jarang-jarang bisa minum kopi di warung dengan lagu musik India dari CD.

Pada pukul 18.00 kami pun bersiap berangkat dengan “kapal tek-tek”. Nakhoda hanya ditemani satu orang. Kapal kecil itu dan kapasitasnya hanya diperuntukkan kurang dari sepuluh orang. Sebelum berangkat, nakhoda menghubungi Tengku Duski dari Sagoe Bujang Salim, Wilayah Pasee, dan mereka akan menunggu kami di Pantai Bangka Jaya.

Perjalanan melalui laut dari Lhok Nibong,
Aceh bagian Timur ke Pantai Bangka Jaya, Aceh bagian utara ditempuh sekitar 4 jam karena angin dan gelombang cukup tinggi. Perjalanan kami jaraknya 2 KM sejurus dari bibir pantai dan tanpa penerang sedikitpun.

“Dipat posisi enteuk kamoe truen, Bang? (Di mana posisi kami turun nanti, Bang?)”Nakhona menghubungi Tengku Duski. Posisi kami kira-kira di daerah Kandang.

“Lewat aju Kota Lhokseumawe. Pokok jih menyoe kana cahaya senter rayeuk puta-puta, merapat aju keunan (Lewat terus Kota Lhokseumawe. Pokoknya kalau sudah ada cahaya senter besar berputar-putar, merapat terus ke sana) ” kata Tengku Duski.

Setalah nakhoda menelepon, kami melihat ada cahaya berputar-putar. Kami semua menunjuk ke arah cahaya itu. Nakhoda pun mengarahkan kemudinya ke arah sana. Semakin dekat ke bibir pantai, kami bersiap-siap akan turun. Setelah kapal kandas, kami bersama-sama mendorong kapal ke darat, sementara lampu senter besar masih diarahkan ke arah lain.

“Kamoe kaleuh troek u pante, dipat droeneuh Bang? (kami sudah sampai di pantai, di mana Bang?)” tanya nakhoda dengan suara keras karena suara ombak dan angin pantai sangat kencang.

“Hana deuh Bang, aci neupeutrang ciri-ciri lokasi jih? (Belum tampak Bang, coba terangkan ciri-ciri lokasinya” kembali Tengku Duski bertanya.

“Lampu sip jai, na lampu sorot rayeuk (banyak lampu, ada lampu sorot besar)” jelas nakhoda.

“Bagah surut dari sinan, nyan pos marinir…weh dari sinan (cepat mundur dari sana, itu pos marinir…berangkat dari sana)” perintahnya Tengku Duski dengan nada keras.

Kami segera mendorong kembali kapal ke laut dengan tergopoh-gopoh, sebelum lampu sorotnya mengarah kepada kami. Pang Win KK dan Tengku Fauzan Blang siap siaga dengan senjatanya masing-masing. Setelah semua penumpang naik, baru kapal dinyalakan kembali. Nakhoda mempercepat laju kapalnya ke tengah lautan.

Tengku Duski menghubungi nakhoda untuk memastikan kami selamat. Beberapa kali ia mengucap syukur Alhamdulillah. Kami terus mengarah ke arah barat. Tidak lama kemudian, kami melihat lampu senter berputar-putar. Nakhoda memandu untuk memainkan lampu senter itu, dan ternyata benar sesuai cahaya lampu senter itu sesuai arahan nakhoda. “Kapal tek tek” itupun diarahkan ke sana dan akhirnya kami selamat sampai tujuan.

Malam itu, kami tidak tidur, bercerita ngalor-ngidul. Kami sedikit berpesta merayakan keselamatan dengan makan-makan dan tidak ada hambatan berarti selama perjalanan, kecuali hanya salah masuk Pos Marinir. Setelah subuh baru kami tertidur. Kami baru bangun setelah ramai masyarakat mencari “nener” ikan bandeng di Pantai Bangka Jaya.

Siang harinya kami baru berangkat ke Nisam lewat Keude Krueng Geukeh, lalu ke Keude Nisam, lanjut ke Keude Alue Papeun, dan seterusnya ke Kampung Bate Pilaa. Tengku Ilham menyambut kami dengan penuh senyum. Kami pun dengan sambutan hangatnya, hilang rasanya lelah dan kengerian seketika selama dalam perjalanan.

(Mendale, 22 November 2021)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.