Saya Bersama Pak Ketut

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Terus terang saya tidak pernah bertatap muka, apalagi berdiskusi dengan Pak Ketut Wiradnyana. Akan tetapi “pada rasa” saya sudah sangat dekat dengan arkeolog itu. Saya “berhubungan”dengan “Bli” itu lewat buku, YouTube, berita-berita media online, sosial media dan cerita kawan-kawan.

Begitupun banyak sahabat lainnya seperti saya, tidak mengenal Pak Ketut secara fisik, tetapi sangat mengapresiasi kerja-kerja beliau.

Zulkarnain Gerpa misalnya, yang mendapat pengetahuan adat Gayo dari “Ilham,” sering menyebut-nyebut nama Pak Ketut. Kini, ia sedang berjuang untuk hak ulayat. Pada masanya nanti berharap Pak Ketut yang akan memasang prasasti Gayo-Linge di Ceruk Mendale.

Kami memang tidak pernah berjumpa dengan Pak Ketut. Meskipun demikian sebagai orang Gayo, kami bangga dengan Saudara kami dari Bali itu, terlebih lagi dengan karyanya tentang temuannya soal umur fosil Mendale dan Ujung Karang yang kami yakini sebagai nenek moyang kami.

Kami yakin “berdasarkan rasa yang tidak mau berbohong,” Pak Ketut orang jujur, baik secara pribadi maupun sebagai yang memiliki kapasitas keilmuan di bidang arkeologi. Saya kira hanya segelintir “intel sipil” yang ingin mengobok-obok, meracuni, merusak, memprovokasi dan mengadu domba sesama orang Gayo, yang menyusun bata-bata kebencian pada Pak Ketut.

Soal kejujuran, selain mengenal Pak Ketut, saya pernah berinteraksi dengan orang Bali lainnya, Pak Made Kinsan, dulu sebagai salah seorang manejer di PT. Alas Helau, yang kini tinggal di kawasan Bogor. Kawan-kawan Asrama Lut Tawar Jakarta membantu “mencuri” arus listriknya agar pembayaran murah, tetapi baru beberopa jam terpasang, Pak Made memintanya agar dicabut kembali.

“Hati saya tidak tenang” kata Pak Made sambil memegangi dadanya.

Dalam kasus “mal praktek” pemugaran Ceruk Mendale, ada upaya dari “Bapak itu” yang dari dinas, ingin memutarbalikkan fakta. Dia yang salah, tapi ingin melempar kesalahan pada orang lain. “Bapak itu” sedikit licik. Saya hanya ingin mengingatkan hati-hati bergaul dengannya, kalau tidak ingin menjadi korban

Belum lekang dari ingatan kita, kasus pungli P3K, itu ide dari “Bapak itu”. Untung cepat segera diantisipasi, kalau tidak, hampir saja orang lain menjadi korban. Jauh sebelumnya siswa Aceh Tengah hampir terkena blacklist masuk USK gegara “cuci nilai raport siswa” juga melibatkan “Bapak itu”. Jadi soal “bermain-main di ujung tanduk” sudah biasa bagi “Bapak itu”.

Ketidakjujuran tidak akan kekal dan akan menjadi preseden buruk kelak. Kalau umur segini masih belum jujur, maka jangan harap akan berubah. Itu sudah menjadi karakter yang melekat padanya. Ibarat tulang belulang manusia sudah menjadi fosil ketidakjujurannya.

Semoga saja DNA ketidakjujuran “Bapak itu” tidak diwariskan kepada generasi muda sebagai pewaris negeri ini. Kita ingin negeri ini pada masa depan diisi orang-orang yang punya integritas tinggi. Kita tidak ingin negeri ini dipimpin orang-orang “pecogah”. Negeri ini akan hancur kalau dipimpin oleh kumpulan orang-orang yang tidak jujur.

Kalau ada polemik antara orang jujur dengan tidak jujur, siapakah yang kita pilih sebagai orang yang kita bela? Pasti orang-orang akan memilih orang jujur, kecuali orang itu memang “sealiran tidak jujur.” Itu barang kali sudah menjadi tabiat. Sulit kita ajak berbuat dan berlaku jujur.

Soal Ceruk Mendale saya memilih berdiri bersama Pak Ketut. Bukan saja soal punya integritas tinggi, tetapi saya percaya, pada saatnya nanti, penelitiannya menjadikan Gayo itu, jelas benang merah “muasal dan muusul-nya”.

Sekali lagi orang Gayo masih sangat berharap Pak Ketut meneruskan penelitian-penelitian bidang arkeologi. Tidak saja di Ceruk Mendale dan Ujung Karang, tetapi di daerah-daerah lainnya, seperti daerah segitiga; antara Jamat, Samarkilang dan Lokop Serbejadi yang juga terbanyak gua-gua kuno di sana.

(Mendale, 20 November 2021)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.