Ketut Wiradnyana; Data Arkeologi Ceruk Mendale, Bukan Hanya Kerangka

oleh

MEDAN-LintasGAYO.co : Setelah sebelumnya tidak dapat kami hubungi, Ketut Wiradnyana, ketua tim peneliti arkeologis Ceruk Mendale dari Balar Medan, akhirnya menghubungi redaksi LintasGAYO.co melalui sambungan telepon.

Sebagaimana sebelumnya dia jelaskan di media sosial Facebook miliknya, Ketut Wiradnyana menyatakan dirinya sangat sedih melihat penataan yang dilakukan oleh Pemkab Aceh Tengah di lokasi situs arkeologis Ceruk Mendale.

Kepada media ini Ketut Wiradnyana menjelaskan, kalau apa yang disebut sebagai data arkeologis yang ada di Ceruk Mendale, bukanlah hanya kerangka purba semata. Tapi, semua lapisan tanah yang ada di situs itu menyimpan data-data arkeologis.

Doktor asal Bali yang diberi gelar Aman Met oleh tokoh Gayo Yusra Habib Abdul Gani ini menjelaskan kalau, selain kerangka yang ada di dalam gua. Tanah yang ada di mulut gua juga memberi informasi arkeologis yang tak ternilai harganya bagi ilmu pengetahuan. Sebab di tanah di luar gua itu, dulunya penghuninya membuang sampah makanan, sampah kerajinan dan lain sebagainya.

Selain itu, dari lapisan-lapisan tanah di luar gua, kita juga mendapatkan informasi tentang bencana alam yang pernah terjadi di daerah ini, kapan pernah terjadi letusan gunung api dan sebagainya.

Kenapa lapisan-lapisan tanah itu harus dijaga sebagaimana aslinya, karena dengan begitu kita bisa menentukan usia setiap lapisan tanah ini dan melihat, apa saja yang kita temukan di tiap lapisan itu. Apakah ada sisa artefak pecahan gerabah, abu vukanis tanda letusan, sisa makanan dan sebagainya.

Temuan arkeologis itu kemudian melalui metode radiocarbon, dicocokkan umurnya dengan usia kerangka yang ditemukan, dengan begitu kita jadi tahu, pada periode itu, teknologi apa yang sudah berkembang. Jenis diet (makanan) apa yang mereka konsumsi dan seterusnya.

Karena itulah Ketut mengaku sangat sedih dan mengeluarkan air mata ketika sumber data arkeologis yang sedemikian kaya ini dirusak, dengan cara digali dan batu-batunya dipecahkan, atas nama penataan.

“Apa yang terjadi ketika tanah-tanah itu digali? Lapisan-lapisan tanah yang tadinya bisa kita tentukan umurnya dan disesuaikan dengan usia kerangka, jadi bercampuraduk dan tak mungkin lagi bisa dianalisa. Kemudian, penambahan beton, pasir dan batu yang diambil dari daerah lain, membuat tempat ini terkontaminasi dan tak lagi punya nilai arkeologis,” jelasnya.

Ketut kemudian menjelaskan, kalaupun harus dilakukan penataan seharusnya tidak boleh ada penggalian, kalau mau dibuat jalan yang lebih baik ke atas, buat dengan paving blok, bukan dibeton. Dengan begitu, nanti kalau ada arkeolog lain yang akan meneliti, paving blok itu tinggal dibongkar dan penggalian bisa dilanjutkan tanpa ada kontaminasi materi galian asing yang tidak berasal dari tempat itu.

Soal ini dirinya sudah mengingatkan berkali-kali, kepada perwakilan Pemkab Aceh Tengah. “Misalnya kepada Kabid yang sekarang di Bintang itu,” katanya.

Ketika media ini mengkonfirmasi pernyataan Kadisdik Aceh Tengah, bahwa dirinya sudah ditunjukkan gambar rancangan penataan tempat itu, Ketut mengaku tidak paham apa yang dimaksud Kadisdik saat itu, karena dalam pemahamannya, seandainya tempat itu akan ditata, penataannya harus didampingi arkeolog. Dirinya sendiri, tidak akan keberatan untuk datang ke Takengen dan tinggal selama satu atau dua hari, untuk mendiskusikan seperti apa penataan itu seharusnya dilakukan. Di mana yang boleh digali dan di mana yang tidak.

Ketut juga sangat menyesalkan pandangan sebagian kalangan masyarakat yang disampaikan di pelbagai platform media sosial yang menuduh dirinya mencuri kerangka asli di Ceruk Mendale. Padahal kata Ketut, kerangka itu tidak memiliki nilai komersial tapi memiliki nilai ilmiah yang tidak ternilai. Karena itulah, kerangka itu sekarang ada di UGM dan Unibraw untuk diteliti dan ditemukan kaitan-kaitannya dengan kerangka yang ditemukan di daerah lain untuk lebih memahami pola persebaran manusia di Indonesia.

“Saat ini saja, data-data dari Loyang Mendale ini masih diteliti para ilmuwan dari berbagai negara, mulai dari Selandia Baru sampai negara-negara di Skandinavia,” terangnya.

Sampai beberapa waktu yang lalu, pihaknya mengeluarkan uang sampai 100 juta untuk mengirimkan sampel-sampel arkeologis dari Loyang Mendale, untuk diuji radio karbon di luar negeri.

Kepada media ini, Ketut menyatakan kalau pemerintah kabupaten Aceh Tengah benar-benar menginginkan kerangka itu dikembalikan ke Aceh Tengah, dirinya tidak keberatan mengirimkan kembali. Tapi kemudian dia bertanya balik, lalu kalau sudah dikembalikan, kemudian di daerah ini, kerangka itu mau diapakan? Apakah ada manfaatnya untuk pengembangan ilmu pengetahuan, apakah bisa mengungkap sejarah masa lalu Gayo?

Selanjutkan, ketika media ini menanyakan, karena ini sudah menjadi bubur, apakah situs ini masih bisa diselamatkan dan kesinambungan penelitian di situs ini masih memungkinkan.

Ketut menjawab kalau saat ini dia tidak bisa menentukan, untuk bisa menilainya, dirinya harus datang sendiri ke situs itu untuk melihat dan mengamati bagaimana keadaannya, sejauh apa kerusakannya.

Sayangnya, beberapa hari ke depan ini dirinya sangat sibuk untuk menghadiri beberapa pertemuan ilmiah di luar Sumatera, jadi dia belum dapat meluangkan waktu untuk datang ke Takengen.

“Untuk sekarang ini, satu-satunya jalan terbaik adalah menghentikan pengerjaan proyek fisik di tempat itu, dan selanjutnya kita duduk bersama untuk mendiskusikan, apa yang seharusnya kita lakukan terhadap situs Loyang Mendale,” pungkasnya.

[Tim Redaksi]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.