Gayo Sport Tourism Untuk Aceh Tengah Yang Lebih Sejahtera

oleh

Oleh : Zulfan Diara Gayo, ST*

Di sela-sela acara penutupan Lomba Panahan Piala Bupati Aceh Tengah, saya berbicara dengan Badrul Irfan, salah seorang peserta lomba yang juga pengurus Pengda Perpani Aceh.

Badrul Irfan yang tinggal di Banda Aceh, menghadiri perlombaan ini, lengkap bersama seluruh anggota keluarga nya.

Ketika saya tanyakan, mengapa dia tidak datang sendirian? Jawabannya sungguh menarik.

“Kalau keluarga tahu acara lomba di Takengon, semua minta ikut bang, soalnya lomba sambil sekalian liburan,” katanya.

Kemudian, dia menambahkan, kalau kegiatan olahraga seperti ini diadakan di Takengon, orang-orang dari kabupaten lain, rame yang mau ikut. Soalnya rata-rata berpikirnya seperti saya bang, mereka mikirnya, ke Takengon ya liburan.

Kemudian, mari kita hitung secara kasar, pengeluaran Badrul Irfan dan keluarga di daerah kita ini.

Untuk penginapan saja, mereka menginap selama dua malam, katakan 500 ribu per malam, mereka membelanjakan uang 1 juta. Untuk makan dan membeli oleh-oleh, katakanlah 500 ribu. Jadi, dua hari di Aceh Tengah, mereka membelanjakan uang sebanyak 1,5 juta. Itu masih belum diasumsikan mereka membeli souvernir, mengikuti atraksi arung jeram, nongkrong di Cafe dan lain-lain.

Siapa yang menikmati uang itu? Pemilik penginapan dan karyawan yang digajinya, tukang parkir, pemilik warung, penjual sayur yang sayurnya dibeli tukang warung, petani sayur yang sayurnya dibeli pedagang, penjual ikan, nelayan dan seterusnya. Uang itu terdistribusi.

Sekarang bayangkan, ada 100 orang seperti Badrul Irfan yang menghadiri perlombaan semacam ini. Artinya, jumlah itu tinggal dikalikan 100. 150 juta uang dari luar, masuk ke Aceh Tengah, dalam dua hari dan itu, tersebar dinikmati masyarakat banyak.

Fenomena yang sama juga terjadi ketika ada pertandingan Petanque di Musara Alun. Saya bicara dengan para pemilik warung di depan Bank BSI (dulu BRI), mereka semua mengatakan kalau pemasukan mereka benar-benar melonjak selama event itu berlangsung.

Lalu, pada saat berlangsungnya event Tour de Gayo, saya membaca berita di sebuah media nasional terbitan Medan yang mengatakan bahwa saat event itu berlangsung. Penginapan yang ada di seputaran kota Takengon, full booked, alias penuh terisi.

Lalu saya saksikan sendiri, bagaimana bergairahnya penjualan kopi, souvernir kerawang dan makanan kecil yang membuka stand di lapangan parkir hotel Park Side yang merupakan titik sentral kegiatan itu.

Apa yang bisa kita lihat dari fenomena ini? jelas, saat event seperti itu berlangsung, ekonomi di daerah ini berputar lebih kencang dari biasanya.

Kemudian, apa yang lebih menarik lagi. Ini fakta yang saya temukan. Meskipun acara berlangsung di Musara Alun atau seperti Tour de Gayo yang dipusatkan di Hotel Park Side, tapi dampak ekonomi dari kegiatan ini bukan hanya berputar di sekitar lapangan.

Bobby T Prinoe, seorang pemilik Cafe di pinggir danau, nun di Teluk One-one, menceritakan kepada saya. Di masa pandemi ini, pemasukan Cafe yang dikelolanya terbilang seret. Tapi ketika ada event olahraga, pemasukan Cafe miliknya meningkat drastis.

Pernyataan Bobby menunjukkan kalau, event olahraga ini memberi dampak positif secara ekonomi yang sangat luas bagi masyarakat Aceh Tengah.

Hal seperti inilah yang sebenarnya saya lihat sejak lama. Fenomena seperti inilah yang terjadi ketika Singapura dan Monaco mengadakan balapan F1 atau Malaysia menyelenggarakan Moto GP.

Inilah yang disebut dengan Sport Tourism. Orang pergi berkunjung ke suatu daerah, mengeluarkan uang di sana untuk mengikuti, menonton atau sekedar jadi penggembira di sebuah event olahraga.

Karena itu, ketika bapak bupati Aceh Tengah, memberi saya amanah menjadi Plt Kadispora Aceh Tengah, sport tourism inilah yang menjadi inti dari segala tujuan kebijakan saya.

Semua visi ini saya rangkumkan dengan tajuk “Gayo Sport Tourism”

Kenapa sport tourism?

Itu karena saya berpandangan, bahwa setiap rupiah dana pemerintah yang diamanatkan kepada kami, harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi peningkatan kemakmuran rakyat.

Inilah yang kemudian menjadi dasar, mengapa saya mendorong para pengurus cabang olahraga di daerah ini untuk membuka divisi wisatanya.

Cabang arung jeram, selam dan sebentar lagi balap sepeda ada cabang-cabang olahraga, yang selain membina atlet, tapi juga mampu menjadikan cabang olahraga itu sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat sekitar dan terutama bagi atlet-atlet binaan mereka untuk mendulang rupiah dari aktivitas olahraga itu yang mereka kemas sebagai atraksi kepada para wisatawan yang berkunjung.

Ke depan, saya berharap cabang-cabang lain segera menyusul. Kami pemerintah kabupaten Aceh Tengah, dalam hal ini Dinas Pemuda Olahraga, akan mendukung usaha-usaha seperti ini dengan sekuat yang kami bisa.

*Penulis adalah Plt Kadispora Aceh Tengah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.