[Bag. 4] Romansa Gayo dan Bordeaux : Ufuk Barat Indonesia

oleh

Novel Karya : Win Wan Nur*

Setelah duduk beberapa waktu di Hamdan Restaurant dan menghabiskan birnya, Jack dan Gianna mulai merasa lapar. Jack memesan makan siang.

Selain Jack dan Gianna, hanya ada satu pelanggan lain di Hamdan Restaurant, seorang laki-laki asal Belanda yang usianya sepantaran perempuan Italia ini. Seperti mereka berdua, laki-laki Belanda ini pun memesan makan siang.

Tak butuh waktu lama, makanan yang mereka pesan terhidang di meja dan mereka pun menikmatinya sambil merasakan hembusan angin sepoi-sepoi.

Saat ketiga pelanggan Hamdan Restaurant ini sedang menikmati makan siang mereka, empat remaja berwajah lokal dan berkulit sawo matang tiba di tempat ini. Gaya keempat orang ini nyaris seragam.

Memakai kacamata hitam, jaket, celana jins dan sepatu kets. Dilihat dari umur, penampilan dan logat, mereka berempat sepertinya adalah mahasiswa dari keluarga berada yang berasal dari Banda Aceh.

Tanpa merasa perlu meminta izin pada Rahma, mereka langsung mengambil kamera dan berfoto-foto.

“Nginap di mana, Dek?” Tanya Rahma pada mereka dengan nada kurang enak didengar. Dia merasa terganggu dengan sikap keempat remaja yang tidak menunjukkan sikap sopan-santun.

“Di rumah Ampon Li. Saya keponakannya,” sahut salah seorang di antara keempat remaja ini acuh tak acuh, dia menjawab pertanyaan tanpa melihat ke arah Rahma sama sekali. Yang dia maksud Ampon Li adalah Teuku Ramli, mantan pejabat tinggi Kota Sabang asal Banda Aceh yang sekarang menetap dan menjadi orang terpandang di pulau ini.

“Mau pesan apa, Dek?” sindir Rahma dengan ucapan yang sebisa mungkin terdengar sopan.

“Kasi teh dingin empat!” Si remaja yang mengenakan jaket jins berkata ketus, masih tanpa melihat dan melanjutkan berfoto-foto dengan berbagai gaya. Sesekali dia dan ketiga temannya mencuri-curi mengambil foto dengan Jack, Gianna dan si orang Belanda sebagai latarnya.

Sesekali mata mereka melirik ke arah tiga pelanggan Hamdan Restaurant yang sedang makan itu. Terlihat jelas keempat anak muda tersebut ingin bergabung, tapi tidak berani. Mereka memandang Jack dengan tatapan kagum setengah iri.

Jack tahu kalau dia sedang diamati. Dia berhenti makan dan bangkit dari tempat duduknya lalu dengan sengaja melintas di dekat keempat anak muda itu menuju meja Rahma untuk memesan bir lagi.

Ketika Jack tepat berada di depannya, salah seorang remaja yang baru datang ini bersuara dengan nada ragu, “Bang.”

“Heuh…” sahut Jack acuh tak acuh, meski panggilan ini, sangat jelas sudah dia perkirakan sebelumnya. Bahkan dia lewat di depan keempat remaja inipun, dia sengaja. Tujuannya, apalagi kalau bukan pamer.

“Boleh tolong mintain foto sama bulek-nya, Bang?” tanya salah satu dari empat remaja itu, seorang anak muda usia awal dua puluhan, berambut klimis dan tampak berasal dari keluarga berada.

Indikasinya bisa dilihat dari pakaian yang dia pakai: celana Levi’s 501 dan sepatu Adidas putih. Harga kedua outfit yang dia kenakan ini saja digabungkan, nilainya setara dengan uang belanja satu semester kebanyakan mahasiswa Unsyiah yang menyewa kamar kost di bangunan-bangunan sederhana di tengah kebun kelapa daerah Rukoh atau Limpok.

Nada anak muda ini saat meminta pada Jack, benar-benar sopan, setengah memohon.
“Bentar…aku tanya dulu.” Jawab Jack. Perasaan superior tercermin jelas dari nada jawaban dan bahasa tubuhnya.

“They want foto with you. O.K?” tanya Jack pada Gianna dan si Belanda dengan Bahasa Inggris seadanya.

Mendengar itu mata Gianna berbinar, “Ofcourse. Baby…come!!” serunya antusias sambil membentangkan tangan kepada anak-anak muda pribumi berkulit bersih itu. Si Belanda pun menunjukkan tanda persetujuan dengan cara menganggukkan kepala.

Melihat itu, mereka berempat tersenyum senang dan langsung berlarian ke arah dua turis berkulit putih itu.

“Tolong difotoin ya, Bang.” kata seorang yang memegang kamera saku kepada Jack. Dia pun ikut lari bergabung dengan ketiga temannya.
Jack dengan wajah tanpa senyum, mengambil kamera dan mulai membidik mereka yang berfoto dengan beberapa gaya.

Selesai berfoto, keempat remaja itu menyalami Gianna dan si Belanda. Mereka menanyakan Gianna dan si Belanda… berasal dari mana, berapa lama di sana, berapa umurnya, apa pekerjaannya, apa agama mereka dan mengobrol sebisanya.

Perubahan raut wajah Gianna dan kerutan yang tiba-tiba muncul di kening si Belanda, saat mendengar pertanyaan yang mereka ajukan, sama sekali tak mereka sadari. Di mata mereka, dua turis ini seolah tontonan di layar kaca atau bioskop, yang tak bisa bereaksi atas apapun ucapan mereka.

Setelah puas berfoto dan bertanya-tanya, mereka kembali ke tempat semula setelah mengucapkan terima kasih pada Jack.

“Abang paten li’ kok, Bang, bisa gabung sama bulek. Belajar bahasa Inggris dimana, Bang?” tanya anak muda bercelana Levi’s ini saat meminta kembali kamera milik temannya. Caranya bertanya seperti orang yang bertanya pada seorang artis idola.

“Belajar sendiri aja,” jawab Jack acuh tak acuh kemudian melangkah ke meja Rahma untuk memesan bir. Sikapnya menunjukkan kalau bergaul dengan orang asing itu adalah hal biasa yang tak perlu dibesar-besarkan.

Dia menampilkan kesan kalau dia tidak ingin berlama-lama berbicara dengan keempat remaja itu. Pesan yang ingin dia sampaikan jelas, level dirinya terlalu tinggi untuk mengobrol dengan mereka.

Keempat remaja ini tampak menangkap pesan itu dengan sempurna dan menerimanya sebagai fakta.

Saat Jack kembali ke meja untuk melanjutkan makannya, empat pasang mata anak muda ini menatapnya penuh kekaguman. Dada Jack membuncah dengan rasa bangga.
***

Baca Juga :

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.