Final Ala Persatuan Indonesia, di Cabang Sepakbola PON XX Papua

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Terlepas dari prestasi tim nasional yang tak memuaskan, PSSI dengan segala suguhan dramanya, sepakbola tak bisa dipungkiri adalah olahraga paling populer yang pertandingannya paling banyak menyedot perhatian para peminat tontonan olahraga.

Dalam setiap penyelenggaraan event olahraga multi cabang, meskipun dalam penghitungan raihan medali di tabel klasemen, kontribusinya hanya senilai sekeping medali. Tapi gengsi medali cabang sepakbola ada di level berbeda.

Bahkan untuk banyak kasus, seperti SEA Games misalnya, masyarakat di satu negara lebih bahagia menyaksikan tim nasional negaranya meraih emas cabang sepakbola daripada negaranya menjadi juara umum event tersebut.

PON bukan pengecualian, cabang sepakbola adalah crème de la crème dari seluruh cabang olahraga yang dipertandingkan. Karena itulah, untuk cabang ini, biasanya pertandingan dimulai lebih awal dibandingkan pertandingan cabang lain dan finalnya merupakan pertandingan terakhir menjadi penutup event ini.

PON tahun ini yang diselenggarakan di Papua adalah PON penuh simbol. Penyelenggaraan PON di Papua sendiri secara politis adalah maklumat tegas dari pemerintah Indonesia bahwa status Papua bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah final.

Sebagaimana kita ketahui, belakangan ini beberapa negara asing begitu aktif menggoyang status Keindonesiaan Papua.

Negara kesatuan Indonesia sendiri, terbentang mulai dari Papua di ujung timur sampai ke Aceh di ujung baratnya. Bukan kebetulan, kalau dua wilayah paling ujung Indonesia ini, keduanya akrab dengan konflik yang terjadi akibat friksi antara dua daerah ini dengan Jakarta. Saat ini kedua provinsi ini menyandang status otonomi khusus, yang berbeda dengan provinsi lain di Indonesia.

Kesadaran akan kepemilikan wilayah negara ini tertancap kuat dalam kesadaran warga negara ini, karena ditanamkan dari generasi ke generasi melalui pelbagai metode, salah satunya adalah melalui lagu “Dari Sabang sampai Merauke,” lagu yang nada awalnya sangat mirip dengan lagu kebangsaan Prancis “Les Marseilles” ini dihafal dengan penuh kesadaran oleh semua warga Indonesia yang pernah mengenyam bangku pendidikan di negeri ini.

Kembali ke PON Papua, cabang sepakbola yang merupakan puncak dari semua cabang yang menjadi pusat perhatian para penikmat tontonan olahraga ini secara ajaib mempertemukan Aceh dan Papua di final. Ini seperti secara simbolis menegaskan kesadaran ke-Indonesiaan dari Sabang sampai Merauke.

Kenapa ini dikatakan ajaib, karena bagi sebuah tim yang mewakili sebuah provinsi, bukanlah hal yang mudah untuk bisa bertanding di PON.

Untuk bisa mendapatkan tiket bertanding di PON, tim dari pelbagai provinsi di Indonesia ini harus terlebih dahulu melewati saringan yang bernama Pra PON. Hanya 9 tim terpilih yang berhasil melewati Pra PON ini yang berhak berangkat dan bertanding di Papua.

Tentu saja dengan penyelenggaraan PON di Papua yang begitu simbolis, akan terasa hambar kalau tim Aceh yang merupakan gerbang Indonesia di ujung barat tak ikut berpartisipasi. Dan Aceh sendiri pun tentu tidak ingin skenario hambar seperti ini terjadi.

Karena itu, tak main-main, demi untuk bisa bertanding di Papua, Aceh membujuk dan berhasil meyakinkan Fakhri Husaini, mantan pelatih Timnas U-16 dan U-19 yang melahirkan Bagus Kahfi dan kawan-kawan untuk melatih tim PON Aceh, dengan target mencapai final.

Fakhri sendiri bersedia melatih Aceh karena melihatnya sebagai tantangan sekaligus sumbangsihnya bagi negeri tempat kelahirannya, sebab Fakhri selama ini menghabiskan karir sepakbolanya dan mencapai kejayaan di luar tanah kelahirannya ini. Sebagian besar karir sepakbolanya dihabiskan di Kalimantan Timur.

Dan hasilnya, kita saksikan sekarang, tidak hanya sekedar membawa Aceh bertanding di Papua, Aceh meski tidak melalui perjalanannya di PON dengan mulus, Fakhri berhasil membawa tim asuhannya mencapai final, sesuai target yang ditancapkan oleh KONI Aceh.

Pertemuan Aceh dan Papua di final penyelenggaran olahraga tertinggi di negara ini bukanlah terjadi pertama kali. Tahun 1993, Aceh sudah pernah bertemu Papua saat PON diselenggarakan di Jakarta.

Saat itu, kedua provinsi ini secara nomenklatur masih menyandang nama berbeda, Aceh saat itu masih bernama Daerah Istimewa Aceh sementara Papua sendiri masih bernama Irian Jaya.

Waktu itu, Papua hadir ke Jakarta sebagai ‘Dream Team’ layaknya AC Milan ketika masih diperkuat oleh trio Belanda.

Beberapa pemain Tim PON Papua saat itu, belakangan menjadi nama besar di blantika sepakbola Indonesia dan menjadi tulang punggung tim nasional, sebut saja nama Aples Gideon Tecuari dan Chris Leo Warangga yang namanya berkibar sejak bergabung dengan timnas Primavera yang berlatih di Italia.

Di sana juga ada nama Ronny Wabia, pencetak gol indah ke gawang Kuwait dalam kemenangan bersejarah 2 -1 di Piala Asia, setelah di tahun yang sama dia menjadi pemain terbaik Liga Indonesia.

Ketika itu, di final Aceh benar-benar dipandang sebelah mata oleh seluruh pecinta sepakbola Indonesia. Dalam pertemuan 28 tahun silam, salah satu gol yang dicetak oleh Papua melalui David Saidui, top skor turnamen itu dilesakkan dengan cara yang tidak biasa.

David yang saat itu memperoleh peluang emas akibat kesalahan komunikasi antara penjaga gawang Zulfan dengan bek legenda PersirajaTarmizi Rasyid. Kesalahan ini membuat David tak terkawal dan tidak ada kiper yang menghalanginya. Waktu itu, alih-alih langsung menendang, David memilih menghentikan bola di garis gawang dan kemudian menggulirkan bola dengan menggunakan (maaf) pantatnya.

Tapi yang menarik, Aceh yang dianggap akan menjadi bulan-bulanan tak bisa melawan, menolak menyerah. Melawan tim sekuat itu, meski gawang Zulfan harus menderita kemasukan sampai setengah lusin gol, Aceh dengan ujung tombak andalannya asal Lho’nga, Irwansyah, yang kelak menjadi striker top tanah air dan sempat memperkuat tim nasional, masih mampu melesakkan tiga gol ke gawang tim impian ini.

Kali ini dalam pertemuan kembali di final PON, yang akan diselenggarakan sebentar lagi, tim Aceh tidak mencapainya dengan mulus. Bahkan Aceh mengawali kampanye PON ini dengan mengkhawatirkan, kalah 1 -2 dari Sulut di pertandingan pembuka.

Tapi kemudian, Aceh dengan susah payah berhasil mengalahkan Kalimantan Timur dengan skor 3 -2, setelah sebelumnya sempat tertinggal 1 – 2. Gol kemenangan inipun didapat melalui hasil bunuh diri pemain lawan.

Ini yang kemudian dikampanyekan oleh Sulawesi Utara yang berhasil mengalahkan Aceh tapi dikalahkan Kaltim dengan skor 0 – 1 sebagai sepakbola gajah.

Karena kemenangan tipis Aceh atas Kaltim membuat kedua tim ini melaju ke babak selanjutnya dan menyingkirkan Sulut yang memiliki nilai sama dan selisih gol yang sama tapi kalah produktifitas.

Di babak selanjutnya, Aceh yang bertemu Papua dan provinsi tetangga, Sumut yang dulunya selalu superior, kembali hanya lolos melalui lubang jarum. Kalah 0 -1 dari Papua dan menang 2 -1 melawan Sumut, untuk melaju ke semifinal, bertemu juara grup sebelahnya, Jawa Timur yang sebelumnya pernah mengalahkan Aceh dengan skor 4 – 0 di laga ujicoba sebelum PON.

Sampai ke semifinal, selisih gol kemasukan dan memasukkan Aceh adalah nol. Enam memasukkan dan enam kemasukan.

Di semifinal, Aceh kembali menjadi under dog di hadapan Jatim yang superior. Tapi adagium bola bundar menunjukkan wajah aslinya di pertandingan ini, kombinasi antara kecerdasan Fakhri Husaini sebagai pelatih, daya juang para pemain dan subjektifitas keberpihakan sang Dewi Fortuna, membuat Aceh mampu mengalahkan Jawa Timur, kembali dengan skor tipis, 2 -1. Sebenarnya, Jawa Timur memiliki peluang menyamakan skor, ketika dalam kedudukan 2 – 1 di babak kedua, mereka mendapat hadiah pinalti. Tapi Dewi Fortuna, seperti tidak rela melihat Jawa Timur melenggang ke final, bola yang ditendang algojo mereka melambung tinggi di atas mistar gawang dan Aceh pun melaju ke final.

Berbeda dengan Aceh, Papua melaju mulus ke final. Hanya Aceh yang sanggup menahan mereka dengan margin kekalahan satu gol, selebihnya mereka berpesta gol, termasuk di pertandingan terakhir mereka di semifinal, mereka mencukur gundul Kaltim dengan 5 gol berbalas satu, seperti kepala gundul yang menyisakan sedikit rambut di ujung kepala ala Ronaldo di Piala Dunia 2002.

Dan di final nanti, apakah Papua kembali berpesta, ataukan Aceh yang akan mencetak sejarah dan berjaya dengan bantuan kecerdasan seorang Fakhri Husaini dan keberpihakan Dewi Fortuna. Mari sama-sama kita saksikan sebentar lagi di layar kaca. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.