[Cerpen] Kenangan Semesta

oleh

Oleh : Waddah Safitri*

22 Agustus

“Ibu, apa yang kau lakukan!!!” Mirna berteriak histeris. Saat melihat panci terbakar habis untung belum menyambar gorden. Tidak terlihat lagi bentuk masakan yang dimasak oleh Ibu sebelumnya.

Ibu lari tergopoh-gopoh menyusulku, “ya ampun, maaf, Ibu lupa Mirna” katanya gemetaran.

Aku menghembuskan napas kesal. Urusan Ini membuat urat-urat kepala ku tegang, bukan sekali dua kali ibu lupa akan sesuatu.

“Sudah berapa kali Mirna katakan, Ibu tidak perlu melakukan apapun,’’ aku memberengut kesal sambil mengangkat panci dengan kain lap.

“Maaf…” Ucapnya terputus setelah melihatku mendelik kesal.

Mata rentanya mengembun. Entahlah, sesaat Aku menyesali tindakan kasarku.

“Kumohon, jangan sentuh apapun,” kutinggalkan ia sebelum aku semakin tersulut emosi.

Kali sebelumnya, ibu mencuci baju yang sudah kuwanti-wanti tidak boleh dilakukannya, akibatnya baju-baju itu luntur tidak karuan. Sepertinya baru minggu kemarin pula, ikan mas kesayangan Nina mati, hanya karena ibu lupa dan terus-menerus memberikan makanan.

Aku menghela napas lagi, tak menyangka gejala itu datang semakin cepat. Mungkin ibu hanya berniat membantu untuk meringankan bebanku sebagai satu-satunya tulang punggung dan orang dewasa sehat di rumah ini. Namun, alih-alih membantu ibu hanya menambah masalah. Belum lagi masalah toko yang terus-menerus mengejarku.

26 Agustus

Nina kembali dari sekolah, aku buru-buru menyiapkan makan siang sebelum kembali ke toko. Mengurus Nina dan Ibu, sekaligus bekerja ditoko membuatku kewalahan.

27 Agustus

Aku menyalakan layar hape, membuka aplikasi kalkulator dan mulai menekan angka-angka. Aku terpaku di meja makan, bahkan aku tidak bisa menyewa seorang perawat untuk ibu. Kecewa pada diri sendiri.

“Mirna kau sudah kembali? Adit mana?” Ibu tiba-tiba menarik kursi dan duduk di depanku.
Aku memijit kepala ku yang semakin pusing, percuma menjelaskan pada ibu kalau aku sudah berpisah dengan Adit dari dua tahun yang lalu.

“Adit ada urusan, nanti dia kembali,” kataku asal sambil menutup buku catatan dan menyimpan hape, meninggalkannya. Tidak ingin mengulang-ulang penjelasan.

Setelah berpisah, aku tinggal dirumah ibu, dan dengan kepogahan tinggi aku meminta hak asuh Nina pada Adit, mantan suamiku. Kumenangkan gugatan tanpa banyak perlawanan.

Takdir berkata lain setelah itu. Tokoku diambang bangkrut, pandemi ini membuat semua rumit dan hanya berselang beberapa minggu setelahnya, Ibu mulai menunjukkan gejala-gejala lupa ingatan, diagnosis dokter menjelaskan segala nya, ibu terkena Alzheimer. Hanya menunggu waktu sebelum ibu melupakan segalanya. Melupakanku.

15 Oktober

Aku terbangun dengan suara ribut-ribut. Aku memegang bahu Nina setelah tau duduk persoalannya, ibu membangunkan Nina jam dua dini hari, dan mendandaninya untuk berangkat sekolah.

“Nenek lupa, nenek kan sudah tua,’’ senyumku pada Nina ditengah kantuk yang kutahan, Nina yang masih TK jelas tidak terlalu mengerti konsep jam cemberut protes pada neneknya yang melongo. “Tidur lagi, nanti ibu yang bangunkan kalau sudah waktunnya.” Rasanya Aku benar-benar hampir gila

“Ibu, sudah kubilang jangan ikut campur urusan Nina ataupun urusanku. Ibu istirahat dikamar saja dan jangan menganggu kami!” Hardikku kasar, setelah melihat Nina menghilang dari balik pintu.

“Ibu yakin tadi melihat sudah jam enam, ibu takut Nina terlambat,” jawab Ibu kebingungan. “Tapi nyatanya kan jam masih jam dua pagi, aku harus pergi cepat pagi ini,” kataku sambal mengusap wajah. “Ibu mau menghancurkan hidup kita?” Darahku sudah di ubun-ubun. Sebelum sempat menjawab, kutinggalkan ia sendirian di ruang tamu yang dingin.

16 Oktober

Paginya, saat membuka pintu kamar baru kusadari ibu masih berdiri ditempat semalam kutinggalkan, dengan lantai yang basah dan genangan air, ibu ngompol, lagi. Aku terperanjat. “Ibu, apa yang kau lakukan?” Aku bergegas mencari kain lap dan membersihkan lantai. “Ibu apa kau dari semalam berdiri disini?” Terpaku menatap matanya yang kuyu. Hatiku menjerit.

“Mirna apa yang kau lakukan disini? Adit mana?” Ekspresi Ibu tiba-tiba berubah normal setelah kugoncang berkali-kali. “Kaki ibu sakit,” sambungnya, kantung mata terlihat menghitam menunjukkan kelelahan.

Kubaringkan ibu ke tempat tidur. Belum beberapa menit ia tertidur, aku mulai menimbang-nimbang, meninggalkannya atau tetap berangkat ke toko.

Dengan agak menyesal aku berangkat juga ke toko, setelah sebelumnya mengantar Nina kesekolah. Kami masih perlu uang, rasa bersalah membuatku tidak fokus seharian dan menimbulkan banyak kesalahan di toko.

13 November

Ibu lupa namannya sendiri, dan buang air besar dimana-mana. Ia hanya duduk terpaku dikursi kesayangan hingga sore. Kupilih menutup Toko hari itu.

04 Desember

Ibu menjambak rambutku menuduh aku menculik anaknya, tak peduli berapa kali kujelaskan padanya, aku adalah Mirna anaknya. Kukurung dia dikamar, sebelum kami berdua menjadi gila.

19 Desember

Aku berlari panik pulang dari Toko saat kuangkat telepon dari tetangga yang mengatakan ibu berlari ke jalanan tanpa sandal dan hijab. Ia berusaha menyusul tapi kehilangan jejak.

Siang itu dengan dibantu tetangga, kuhabiskan waktu mecari ibu kesana-kemari, sebelum akhirnya kusadari Nina pasti kelaparan kutinggalkan di rumah.

Sorenya, ibu pulang kerumah seolah tak terjadi apa-apa. Aku hanya beristighfar sekaligus bersyukur dalam hati. Perasaanku campur aduk.

22 Desember

Ibu punya kebiasaan baru kabur dari rumah. Tapi tidak pernah telat pulang sebelum sore, tapi hari ini lebih larut, sudah hampir gelap. Sebelum kuputuskan mencarinya, dengan perasaan tenang yang dibuat-buat aku menyuapi Nina terlebih dulu. “Nenek pasti pulang kan mama?” Aku kembali menangis dalam hati sambari mengangguk.

Aku memilih mencari diam-diam tanpa membebankan tetangga. Langit menghitam, aku terkesiap dan menyadari sesuatu. Ada suatu tempat yang belum kucari. Kutinggalkan Nina dengan gamang.

Ibu selalu pergi di jam yang sama, aku menebak ia memjemput Mirna kecil di SD. Ia lupa, Mirna sudah tidak disana lagi. Ia sudah dewasa.
Dengan motor aku menuju SD-ku dulu, benar saja, ibu di sana termagu didepan gerbang.

Kusandarkan motor, berjalan cepat kearahnya dan menariknya kuat-kuat kembali ke motor. Ia menepisnya, namun Aku lebih kuat. “Siapa kamu? lepaskan!” Teriaknya, “aku Mirna bu, aku Mirna,” kataku tak kalah gila menghiraukan mata orang yang menatap kami aneh.

Sekilas, terlihat kami seperti baku hantam. ”Bukannn!!!” Ia melorot menangis sesungukkan di tanah. “Mirna kemana? kenapa tidak tunggu Ibu pulang?” Racaunya berulang-ulang.

23 November

Mantan suamiku menelepon menwarkan pilihan, Pilihan yang cepat atau lambat harus kusetujui. Nina terlalu muda untuk dikorbankan. Ia akan mengambil alih pengasuhan Nina.

29 Desember

Ibu tampak ceria hari ini, ia menyiram tanaman dan membaca buku. Nyaris tanpa kesalahan.

“Nina mana?” tanyanya setelah tidak melihat Nina seharian.

“Ia ditempat Ayahnya” jawabku pahit.
Ibu hanya ber-ohh panjang.

31 Desember

Ibu duduk di kursi dengan pandangan kosong. Kuusap tangannya mencari tanda-tanda kesadaran, sudah beberapa hari kesehatan Ibu menurun. Ia harus terus diawasi.

“Mirna,” tiba-tiba ia menatapku.
Aku tak menjawab, merasakan sesak di dadaku entah kenapa.
“Mirna, jangan tinggalkan Ibu ya,” katanya tiba-tiba.

Aku menggeleng, “Mirna gak akan tinngakan Ibu,” kataku sedih.
“Kalau nanti Ibu lupa segalanya, jangan tinggalkan ibu di rumah sakit atau panti jompo. Ibu takut Mirna.“Mirna gak akan pernah tinggalkan ibu, ibu semesta Mirna,” kataku mulai sesungukkan“Kamu janji ya, ibu akan membantu pekerjaan rumah asal kamu gak akan membuang ibu. Ibu akan mengurus Nina supaya kamu fokus bekerja di toko. Ibu akan berusaha sehat, Ibu akan berusaha terus ingat Mirna,” katanya menyakinkanku.

Aku memeluknya erat-erat, Tidakkah Ibu mengerti? Ibulah duniaku kataku dalam hati.
“Mirna, ibu kira kamu tinggalkan Ibu.” Ibu membalas pelukanku, ibu kembali mengulang pernyataanya.

Dengan sabar kujawab, “ibu ngomong apa? Ibu semestanya Mirna, tanpa ibu, Mirna gak bisa hidup,” sambungku dalam tangis.

Ibu melepaskan pelukan kami. “Tapi, Mirna tinggalkan ibu karena ibu sakit, ibu gak berguna lagi buat Mirna, gak bisa apa-apa.”
Kupandangi mata orang yang telah melahirkanku tersebut.

“Mirna tinggalkan Ibu buat kerja, kerja buat kita semua juga”

“Biar Ibu yang kerja, asal Mirna gak tinggalin ibu lagi, jangan marah sama ibu lagi.”
Kembali kupeluk ia tanpa menjawab.
Sejarah sudah mengajarkan cinta ibu, Ia bahkan rela memberikan hidupnya untukku.

Tanpa lelah berjalan kaki menjemputku, datang lebih awal. Hanya karena takut aku menangis telat dijemput. Ia sedikitpun tidak ingin aku merasa ditinggalkan.

Ibu satu-satunya hartaku, di Madrasah dan hampir seluruh hidupku mengajarkan berbakti pada ibu. Kesal dan emosiku pada ibu mungkin spontan, kerap kali aku menyesal sesudahnya. Tidak terbilang penyesalanku melihat kekecewaan ibu.

Biarlah suratan yang tertulis jika Ibu harus melupakan semuannya sedikit demi sedikit. Hanya saja detik-demi detik yang kita lalui berdua tidak akan pernah kulewatkan, tidak akan kulewatkan! Tiketku ke jannah dengan berbakti pada ibu. Selagi kita berdua masih diberikan waktu.

Teras dingin itu menjadi saksi, aku dan ibu pernah menjadi bagian semesta ini. []

*Waddah Safitri kelahiran Takengon,19 Maret 1993. Wanita dari dataran tinggi tanah gayo ini sedang belajar menekuni dunia pariwisata, Motto hidup “terus belajar”.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.