Agar Tidak Menyesal Kemudian

oleh

Catatan : Jumat Mahbub Fauzie*

Ketaatan yang sesungguhnya, rasa syukur yang sebenarnya dan upaya yang niscaya dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt perlu diimplementasikan oleh orang-orang yang beriman dan bertakwa.

Tiga hal tersebut tentu merupakan ikhtiar yang betul-betul menjadi keyakinan bagi orang-orang beriman dalam rangka meraih ridha Allah Swt. Kesanalah fokus tujuan segala ibadah dan amal shalihnya.

Keshalihan individu yang dibarengi dengan keshalihan sosial menghiasi perilakunya sebagai hamba Allah Swt sekaligus sebagai makhluk bernama manusia yang tidak terlepas dengan kehidupan sesama.

Orang yang shalih adalah orang yang selalu berperilaku baik, taat kepada perintah Allah dengan menjalankan ibadah-ibadah mahdhah semisal shalat, puasa, zikir serta amalan individual lainnya.

Akan menjadi sempurna dan lebih indah sekiranya, amalan individual tersebut juga dilengkapi dengan aktualisasi ‘nilai’ serta efek sosial dari ibadah ritual itu. Ibadah-ibadah ghaira mahdhah pun dilaksanakan sebagai bonus keshalihannya.

Dikenalilah kemudian apa yang disebut dengan orang ‘shalih dan orang yang ‘mushlih’. Dua istilah tersebut merupakan istilah yang terkait dengan penyebutan ‘orang baik’. Dari dua sebutan itu kemudian memunculkan definisi yang berbeda dan jelas.

Orang ‘shalih’ menurut Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumuddin adalah orang yang baik secara pribadi atau secara individu. Sedangkan orang ‘mushlih’ adalah orang yang baik secara pribadi sekaligus secara sosial.

Jadi, jelaslah bahwa ‘shalih’ adalah orang yang kualitas kebaikannya hanya untuk diri sendiri, sedangkan ‘mushlih’ adalah orang yang kualitas kebaikannya bisa merambah dan menjadi petunjuk serta bermanfaat bagi orang lain atau masyarakat luas.

Orang shalih yang mushlih tentu menyadari betul tentang eksistensi dirinya dalam kehidupannya. Baik di dalam keluarga, masyarakat maupun bangsa dan negaranya. Kebaikan dirinya tercermin juga dalam kemanfaatan sosial kemasyarakatannya.

Keyakinan akan adanya balasan dari segala apa yang dilakukan juga menjadi kesadarannya sebagai hamba Allah Swt. Konsekwensi dari segala amal ibadah dan amal sosial sangat dipahami.

Orang yang beriman, berilmu dan gemar beramal shalih selalu mempunyai orientasi transendensi (ketuhanan) dalam semua tindakan, ucapan bahkan dari apa yang dipikirkan. Orang yang seperti ini melekat kontrol dirinya. Ada tanggung jawab moral.

Orientasi ketuhanan atau transendensi inilah yang kemudian menjadi semangat dalam memanfaatkan kesempatan dengan baik. Atau dengan kata lain, ada kesadaran tentang pentingnya memanfaatkan waktu.

Mumpung masih ada kesempatan atau waktu untuk bisa berbuat baik dan melakukan yang terbaik, maka ia segera melakukannya. Apalagi terkait dengan kewajibannya. Tidak sekadar melakukan kewajiban, tapi lebih dari itu adalah sebagai ketaatan selaku hamba Allah Swt.

Sebagai pejabat misalnya; Jika pejabat itu adalah orang yang shalih dan mushlih, maka akan sangat menyadari dalam menjalankan tugas kepejabatannya. Selain karena kewajibannya, ia melakukannya dengan kesungguhan dan penuh ikhlas serta penuh iman.

Semangat amal shalihnya mengiringi pemahamannya sebagai manifestasi keilmuan yang dimiliki. Yakin bahwa yang dilakukan dalam menjalankan tugas itu sebagai ibadah. Sebagai tugas yang jika dijalankan membawa manfaat bagi umat selain pemenuhan kewajiban pribadi.

Tidaklah heran jika kemudian muncul istilah kerja cerdas, kerja keras, kerja ikhlas dan kerja tuntas. Itu semua tidak terlepas dari spirit keshalihan dan kemushlihannya. Kerja cerdas karena ada ilmunya, kerja keras, ikhlas dan tuntas karena memang tugas dan kewajibannya.

Tentu, implementasi ketaatan, rasa syukur serta upaya mendekatkan diri kepada Allah Swt berlaku bagi semua orang Islam yang beriman. Siapapun, apapun profesinya dan dimanapun berada. Baik di rumah (keluarga), kantor (tempat kerja) atau di tengah-tengah masyarakat.

Orang shalih dan mushlih, jika ia adalah seorang pekerja, dipastikan ia selalu memiliki jiwa optimis, profesional, inovatif dan kreatif. Punya kepekaan yang tinggi dalam melakukan pekerjaannya. InsyaAllah.

Mumpung masih ada kesempatan, lakukan apa yang seharusnya bisa dilakukan sesuai dengan tugas dan kewajibannya. Janganlah menjadi orang-orang yang ingkar, yang khianat, yang suka menyia-nyiakan waktu dan kesempatan. Agar tidak menyesal kemudian.

Menyesal di kemudian hari tidaklah ada gunanya. Al-Qur’an dalam surah As-Sajadah ayat 12 memberikan alarm atau peringatan sebagaimana firman Tuhan:
“Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Rabbnya, (mereka berkata), “Wahai Rabb kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami ke dunia. Kami akan mengerjakan amal shaleh. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yakin” [QS. As-Sajdah/32:12]

Demikian, sedikit dari apa yang penulis bisa catat dalam kesempatan jumat ini. Substansi catatan ini terinspirasi dari taushiah yang disampaikan oleh Tgk Dr. Ihsan Harun M.A. dalam rangkaian khutbah jumat yang dibacakan di Masjid Jami’ Al-Latifah Kampung Kung Kecamatan Pegasing Kabupaten Aceh Tengah (24/9/2021).

Semoga bermanfaat.

*Penghulu pada KUA Kec. Pegasing, Aceh Tengah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.