Publik Pressure Saiful Mahdi Pasca Putusan Inkrah

oleh

Oleh : Nourman Hidayat*

Apa yang terjadi pasca putusan kasasi mahkamah agung terhadap kasus pencemaran nama baik yang dilakukan oleh seorang dosen Universitas Syiah Kuala bernama Saiful Mahdi menjadi pembicaraan hangat, paling tidak di kalangan aktivis Aceh.

Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan Terdakwa Dr. Saiful Mahdi, S.Si., M.Sc. terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencemaran nama baik melalui media/sarana eletronik sebagaimana dalam dakwaan Penuntut Umum melanggar Pasal 27 ayat (3) Jo. Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2016 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;

Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh menjatuhkan hukuman tiga bulan penjara dan denda Rp 10 juta subsider satu bulan kurungan. Vonis tersebut dibacakan majelis hakim pada Selasa, 21 April 2021. Hukuman badan ini mulai dijalankan sejak tanggal 2 September 2021 lalu.

Putusan Mahkamah Agung itu pada dasarnya menyimpulkan dua hal :

– Menyatakan Saiful mahdi bersalah telah melakukan pencemaran nama baik;
– Menyatakan pimpinan fakultas teknik adalah korban pencemaran nama baik.

Putusan kasasi ini adalah putusan akhir (inkrah), yang maknanya sudah berkekuatan hukum tetap dan harus dieksekusi.

Sebelumnya Saiful Mahdi sudah menggunakan segala upaya pembuktian bahwa dirinya tidak bersalah selama persidangan di pengadilan tingkat pertama dan upaya hukum lainnya hingga ke Mahkamah Agung..

Salah satu yang gagal dibuktikan oleh Saiful Mahdi adalah dugaan kecurangan itu dilakukan oleh jajaran Pimpinan Fakultas Teknik, karena yang mengemuka di pengadilan dan termuat dalam salinan putusan pengadilan, ternyata Universitas Syiah Kuala khususnya Fakultas Teknik, tidak memiliki wewenang dalam menentukan kelulusan CPNS.

Wewenang itu ada pada Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi dan Badan Kepegawaian Negara (BKN.) Artinya, tuduhan Saiful Mahdi kepada jajaran pimpinan Fakultas Teknik, salah alamat.

Dalam upaya pembuktian bahwa dirinya tidak bersalah itu, Saiful Mahdi menghadirkan saksi a de charge (yang meringankan terdakwa) , serta keterangan ahli.

Lalu dilanjutkan dengan upaya hukum banding dan kasasi. Tapi segala upayanya itu tidak cukup kuat untuk meyakinkan hakim bahwa dirinya tidak bersalah. Sampai akhirnya, putusan itu berkekuatan hukum tetap.

Putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) bisa dieksekusi walaupun ada upaya hukum luar biasa seperti Peninjauan Kembali dijelaskan dalam Pasal 66 ayat (2) UU MA dimana permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan.

Maksud pasal ini, Saiful Mahdi masih bisa menggunakan upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali dengan menghadirkan bukti bukti baru. Itulah sebabnya, Proses eksekusi terhadap Saiful Mahdi pada tanggal 2 September 2021 tetap dilaksanakan meskipun pada saat yang sama ada gerakan sipil berupa petisi dan permohonan amnesti untuk membebaskan Saiful Mahdi.

Petisi adalah gerakan sipil menggerakkan publik untuk sepakat terhadap satu isue bersama. Dalam kontek ini, petisi menjadi semacam public pressure untuk mempengaruhi putusan hakim. Sedangkan Amnesti adalah permohonan kepada presiden untuk turun tangan memberi ampun atau menghapus hukuman Saiful Mahdi. Rasanya sudah sempurna, meski petisi dan amnesti bukanlah upaya hukum Luar biasa.

Dalam perspektif hukum, apa yang dilakukan oleh Saiful Mahdi berupa upaya hukum banding dan kasasi adalah tepat dan benar, selama dia merasa belum mendapatkan keadilan.

Begitupun sudah benar dan tepat apa yang dilakukan oleh pimpinan Fakultas Teknik yang namanya telah dicemarkan oleh Saiful Mahdi untuk melaporkan kepada penegak hukum bahwa dirinya diperlakukan tidak adil. Keduanya diakui haknya oleh konstitusi.

Permasalahan yang sampai sekarang masih diributkan adalah masih hangatnya tuduhan telah terjadi kriminalisasi oleh pimpinan Fakultas Teknik terhadap Saiful Mahdi melalui penggalangan opini publik, sehingga Saiful Mahdi menjadi ‘korban’ mereka yang anti kritik.

Persoalan adalah pada penafsiran. Pendukung Saiful Mahdi meyakini bahwa apa yang dilakukan oleh Saiful Mahdi adalah kritik, sementara yang dirasakan oleh pelapor, dalam hal ini pihak pimpinan Fakultas Teknik, apa yang disampaikan oleh Saiful Mahdi adalah pencemaran nama baik.

Itu sebabnya, pendekatan “public pressure” yang dilakukan pasca inkrah ini tidak selalu tepat, bahkan bisa menjadi informasi liar dan menyesatkan bagi publik. Karena sejatinya, ini bukan lagi ranah pertarungan pimpinan FT dengan SM, Tapi ini sudah masuk dalam proses hukum, Dimana yang berhadapan dengan Saiful Mahdi bukan lagi pimpinan FT, tapi penyidik di kepolisian, jaksa penuntut umum, dan hakim di tiga tingkatan pengadilan. Kebenaran dan keadilan diuji di ruang pengadilan.

Dengan ‘public pressure’ semacam ini, pelapor, dalam hal ini pimpinan fakultas teknik, di ruang publik tidak mendapatkan kesempatan bela diri secara adil. Dia menjadi ‘terhukum’ padahal dia merasa dirinya adalah korban pencemaran nama baik. Itu tak boleh terjadi. Karena komitmen kita harus berlaku adil sejak dalam fikiran (presumption of innocence).

Jadi, sederhananya , sebagai praktisi hukum saya menyatakan, putusan ini sudah inkrah. Saiful Mahdi sudah menggunakan berbagai upaya hukum agar Hakim yakin dirinya tidak bersalah. Termasuk menghadirkan pakar sebagai Ahli untuk menyakinkan hakim bahwa dirinya tidak bersalah. faktanya, dia dinyatakan bersalah dan tetap harus menjalani hukuman itu.

Eksekusi yang dilakukan oleh Jaksa berdasarkan wewenang yang diberikan oleh UU nomor 16 Tahun 2004 pasal 30 itu sebagai bentuk kepastian hukum. Di sisi lain, UU ITE ini memang menjadi pasal karet yang multi tafsir serta sangat brutal.

Undang-undang ini yang awalnya diinisiasi oleh dua kampus ternama di Indonesia dimaksudkan untuk mengatur transaksi secara elektronik dan teknologi informasi, pada akhirnya lari kemana-mana, membungkam suara kritis mereka yang berbeda pendapat, khususnya berkaitan dengan kekuasaan.

Maka, jika gerakan sipil ingin merevisi UU ITE bukan karena Saiful Mahdi, tapi banyak sekali anak bangsa yang sudah menjadi korban pasal karet ITE ini.

Gerakan petisi dan amnesti yang dilakukan membela Saiful Mahdi harus dikapitalisasi menjadi gerakan Masif mendesak Jokowi merevisi UU ITE , Karena, sepertinya Jokowi masih enggan untuk itu.

*Penulis adalah praktisi hukum dari kantor hukum/pengacara Nourman & Partners

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.