Akhirnya, Pedang Pahlawan Gayo Tengku Said Abdullah Aman Nyerang Bertemu Pewarisnya

oleh

Tengku Said Abdullah Aman Nyerang adalah seorang Pahlawan perang melawan Belanda asal Gayo yang namanya begitu ditakuti Belanda pada masa dua dekade awal abad ke-20.

Aman Nyerang yang mendapatkan gelar Said, bukan dari keturunan melainkan karena kemampuan spiritual beliau yang luar biasa, pada masa itu, bersama empat rekan lainnya berjuang di sekitar wilayah Linge, Lokop Serbejadi dan Samarkilang.

Belanda menggelari kelompok pejuang, Pang Nyerang dan kawan-kawan yang dipimpin oleh Pang Akob ini sebagai gerombolan Samarkilang.

Menurut catatan Belanda yang dimuat dalam Sumatranjes yang berisi catatan perjalanan H.C. Zentgraaff dan W.A. Van Goudoever kelompok Aman Nyerang yang dipimpin oleh Pang Akob ini sering muncul di wilayah selatan Simpang Ulim; Setiap hari Jumat, mereka sering mengunjungi sebuah Masjid yang terletak di lembah Lokop.

Selain itu, mereka juga sering terlihat di wilayah Tamiang. Tapi ketika mereka dipergoki oleh patrol Belanda, mereka akan segera menghilang ke dalam hutan lebat di pedalaman Aceh yang membayangkannya saja sudah membuat orang merasa ngeri.

Kelompok pejuang yang dipimpin oleh Pang Akob yang diikuti oleh Aman Nyerang ini, selama dua dekade membuat pusing Belanda akibat taktik gerilya mereka. Kelompok ini sering sekali secara tiba-tiba menyerang bivak atau tangsi Belanda, lalu berpencar sehingga menyulitkan Belanda untuk mengejar mereka.

Setelah berpencar untuk menghindari kejaran Belanda, mereka akan bersatu kembali dan tiba-tiba tanpa ada tanda-tanda, mereka menyerang pasukan Belanda kembali.

Perjuangan Aman Nyerang berakhir pada tanggal 3 oktober 1922, saat dirinya bersama Aman Rasum yang merupakan rekan sesama pejuang, yang diburu oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Jordans, syahid karena tertembak oleh pasukan musuh di hulu sungai Serbejadi.

Aman Nyerang syahid dengan meninggalkan dua orang anak, Nyerang dan Ahmad di kampung halamannya Jamat.

Saat beliau tertembak, tak seorangpun dari anggota pasukan Belanda yang menembak beliau, yang mengenal sosok sang pahlawan Gayo yang berkeliaran di hutan selama 20 tahun itu. Mereka hanya mengetahui ciri-ciri fisik beliau dari orang lain, bahwa Tengku Said Aman Nyerang memiliki janggut abu-abu yang panjang. Ciri yang cocok dengan sosok pejuang yang baru saja berhasil mereka tembak jatuh setelah melalui proses perburuan yang panjang dan melelahkan.

Sekitar tahun 1960-an salah seorang anggota pasukan Jordans yang berasal dari Jawa, menceritakan kalau saat dipergoki pasukan Belanda, Aman Nyerang tidak menyerah. Dia melawan sampai titik darah penghabisan. Bahkan ketika tubuhnya sudah tidak bernyawa, pedang yang beliau pegang di tangan kanannya, tetap tidak bisa dilepaskan dari gagangnya. Sehingga salah seorang anggota pasukan Belanda terpaksa memotong pergelangan tangan sang pahlawan untuk bisa membawa pedangnya.

Mantan anggota pasukan Belanda ini, belakangan memilih bergabung dengan pasukan republik dan sewaktu Indonesia merdeka, dia pensiun dan menghabiskan sisa hidupnya di Takengen, tepatnya di daerah sekitar Simpang Wariji.

Sementara itu, Pedang milik Aman Nyerang kemudian dibawa ke negeri Belanda oleh Letnan Jordans, komandan pasukan Belanda yang menyergapnya.

Tiba di Belanda, rupanya Letnan Jordans masih terus mengingat peristiwa itu dan terpikir untuk mengembalikan pedang milik musuhnya ini ke negeri asalnya dan ini dia wasiatkan pada puterinya.

Sehingga 71 tahun kemudian, kira-kira 3 tahun setelah Letnan Jordan yang sudah uzur meninggal dunia, Putrinya melaksanakan wasiatnya dengan menyerahkan pedang tersebut melalui Pengurus Yayasan Dana Peucut di Negeri Belanda dan pada tanggal 14 Maret 2003 menyampaikannya kepada Gubernur Aceh yang saat itu dijabat oleh Abdullah Puteh.

Tiba di Aceh, pedang Aman Nyerang disimpan di Museum Aceh, dijaga dan dirawat dengan standar museum.

Pedang ini dimasukkan ke dalam kotak penyimpanan dari baja dan tidak sembarangan dipamerkan.

Sejak pedang ini tiba di Aceh, pedang peninggalan Aman Nyerang ini, meski sudah diketahui kabar kembalinya di kampung halaman sang Pahlawan. Tapi, meski sangat ingin melihatnya, pedang ini belum kunjung bisa bertemu dengan para ahli waris dari pemiliknya.

Sampai Jum’at 10 September 2021, akhirnya para ahli waris Aman Nyerang yang masih tinggal di kampung Jamat, kecamatan Linge Aceh Tengah, atas bantuan dari Hendra Budian, anggota DPRA asal Bener Meriah, berkunjung ke Museum Aceh.

Rombongan keluarga Aman Nyerang dari Kampung Jamat ini didampingi oleh Ana Kobat dari sanggar Kuta Dance Teater dan Sertalia Gali, Ketua KIP Aceh Tengah yang bukan kebetulan juga berasal dari Kampung Jamat.

Museum Aceh yang sebenarnya tutup karena alasan Covid -19, hari itu khusus dibuka untuk kunjungan rombongan ini.

Para keturunan Aman Nyerang ini adalah keturunan dari anak kedua beliau Ahmad. Keturunan dari anak pertama beliau Nyerang, sudah tidak terlacak lagi.

Anggota tertua dari rombongan ini adalah Rudin aman Juan yang merupakan putra tertua dari cucu perempuan Ahmad bin Tengku Abdullah Aman Nyerang. Beliau didampingi oleh adik sepupunya, yang merupakan pewaris langsung Aman Nyerang dari garis laki-laki, Baiqi Aman Peteri yang merupakan putra dari cucu laki-laki Ahmad.

Mereka datang bersama anak dan cucu untuk menyaksikan pedang milik leluhur mereka yang dulu menjadi momok menakutkan bagi Belanda.

Tiba di dalam ruangan dimana pedang itu disimpan, petugas museum mengeluarkan pedang tersebut dengan sangat hati-hati dari ruangan penyimpanan setelah tangannya dibungkus dengan sarung tangan karet standar rumah sakit.

Ini adalah standar perlakuan terhadap benda-benda bersejarah yang terbuat dari logam. Perlakuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan benda koleksi dari karat yang disebabkan oleh keasaman tangan dari orang yang menyentuhnya sehingga menghasilkan reaksi kimia yang merusak logam.

Kemudian, anggota keluarga Aman Nyerang dan yang ikut mendampingi, satu persatu menyentuh untuk kemudian mencoba menggenggam sendiri gagang pedang yang sudah kehilangan bantalannya ini, merasakan semangat perjuangan Aman Nyerang yang syahid nyaris seabad yang lalu.

Setelah berbincang beberapa lama dengan pengurus museum, akhirnya rombongan pulang untuk melaksanakan shalat Jum’at di Mesjid Raya Baiturrahman.

[Win Wan Nur]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.