Arogansi Fetish Prahara Unsyiah

oleh

Oleh : Diyus Hanafi*

Tanpa menghitung kata dalam judul, catatan saudara Win Wan Nur (selanjutnya akan disebut WWN) berjumlah 3598 kata. Uraian mengenai keresahannya di hari jadi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah).

Keresahan WWN bermula dari postingan yang menyindir Unsyiah pada momentum Maulid Jantong Hate Rakyat Aceh. Di tengah kesemarakan warga media sosial mengunggah flyer ucapan selamat, menyempil pesan satire dari warmedsos yang menyentil-nyentil Unsyiah.

Pasalnya, tepat pada perayaan hari jadi tersebut, seorang tenaga pengajar yang bernama Saiful Mahdi (SM) bertafakur di balik jeruji pengap karena mengkritik kebijakan rekruitmen tenaga pengajar.

Rasa resah yang berlandas kecintaan terhadap almamaternya. Resah yang menjadi bagian dari rasa, sehingga segala yang melibatkan rasa layak disebut sebagai baper (bawa perasaan, terlalu mengedepankan perasaan dalam merespon sesuatu). Sebutlah sensasi yang dijalani oleh WWN sebagai “Baper Akademis, atau Baper Almamater” agar tampak lebih ilmiah dan elegan.

Semangat suci-nan-mulia yang saya rangkum dalam tulisan WWN adalah keinginannya untuk membangun diskursus. Sesuatu yang sudah lama sekarat dalam ranah keilmuan di Aceh. Bahkan, ketika SM mencoba membangun diskursus mengenai kelamnya lorong-gelap penerimaan CPNS di Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala (FT-Unsyiah), ia mesti menjalani hukuman.

Faktor bukan-Unsyiah yang tercetus oleh WWN menyiratkan bawah selaku masbuk dalam perjalanan kasus SM, ia tengah menunjukkan sentimen-lokal atau lebih spesifik lagi, ego sektoral; berkaitan dengan statusnya sebagai bagian dari sivitas akademika Fakultas Teknik Unsyiah.

Sejak awal, komponen Unsyiah mengarahkan kasus ini untuk mendiskreditkan SM. Buktinya, Senat Universitas Syiah Kuala tidak memberi sorotan terhadap potensi yang kecurangan yang dicetuskan.

WWN tidak tampak mempertanyakan tentang kebocoran pesan WAG. Padahal, ini juga bagian tak terpisah yang menyebabkan kasus ini bocor ke ranah publik. Saiful Mahdi menolak menutuntut pembocor kasus ini dengan undang-undang ITE karena ia ingin menunjukkan bahwa meskipun dirinya menjadi korban kasus ITE, ia tidak sudi menggunakan undang-undang yang dalam pandangannya adalah perangkat yang berfungsi memutilasi kebebasan berpendapat!

Berdasarkan obrolan santai saat membahas perspektif WWN, tawaran untuk singgah dan berdiskusi di kantor LBH Banda Aceh dimaksudkan agar ia mendapat perspektif yang lebih menyeluruh. Sebab, di media sosial WWN tampak antusias membahas masalah SM.

Bisa saja LBH memberi penjelasan langsung di medsos, namun akan lebih elok jika WWN melihat dan membaca sendiri paradoks yang terjadi selama proses hukum SM berlangsung.
Tampaknya WWN memiliki prasangka tertentu yang membuatnya enggan memenuhi undangan LBH Banda Aceh.

Padahal, jika ia bersedia berkunjung, LBH bisa menunjukkan langsung notula sidang dan beragam kejadian absurd yang berlangsung di ruang pengadilan; rangkaian peristiwa yang terlalu panjang jika diurai satu per satu di medsos. Sama sekali bukan untuk mengajaknya berpihak pada Saiful Mahdi. Sebab, bagi LBH, Saiful Mahdi just another client.

Bahkan, jika ada botol kecap yang mengalami sengketa struktural, LBH tetap akan mendampinginya untuk mencari keadilan.
Secara personal, saya menilai bahwa LBH Banda Aceh adalah lembaga bantuan hukum yang berupaya mendorong kecintaan terhadap keadilan untuk mencapai level berahi.

Sehingga upaya mengadvokasi Saiful Mahdi harus menyentuh titik permasalahan utama, ketertindasan Trisna. Bagi LBH kasus SM adalah pintu masuk untuk mendakwahkan efek destruktif UU ITE, sementara bagi SM, kasus Trisna adalah upaya mengungkap tabir probabilitas korupsi, kolusi dan nepotisme di Unsyiah.

Jadi, klaim arogansi terhadap SM adalah sikap fetish yang lebih fokus pada objek non-seksual ketimbang subjek yang menjadi inti sebuah peristiwa.

Jadi, tujuan mengajak WWN untuk mengurai dan memaparkan mengenai kasus SM adalah untuk memberi tambahan puzzle bahkan amunisi bagi argumentasinya di tempat lain, bersama orang lain. Agar ia tak perlu membangun apologia: “Ini cuma essay, wajarlah kalau datanya nggak lengkap…”

Padahal, semestinya jika data tidak lengkap atau setidaknya memiliki unsur yang berimbang. Akhirnya, artikel WWN menghasilkan kesan yang lugas, cerdas, berani, melawan arus dan mantaplah pokoknya…

Namun, jika diteliti lebih lanjut, tulisannya cuma menggunakan satu perspektif meski melibatkan banyak sumber. Hal memciptakan efek ilusif di benak pembaca. Oh.. iya… kami lupa. WWN cuma ingin membangun perspektif lain dari pihak yang disebutnya lebih lemah.

Saya juga mesti mengabaikan potensi ketidakmampuan sebagian besar pembaca yang tidak memiliki kemampuan menganalisa, meski itu akan menggiring mereka memandang kasus ini ke satu perspektif saja, karena penulisnya cuma menggunakan satu perspektif.

Tak perlu membayangkan dampak yang akan ditimbulkannya. Saya membatasi diri membahas argumentasi WWN saja.
Dalam argumennya, WWN tampak lebih menggelisahkan wibawa Unsyiah ketimbang wibawa nilai-nilai kebenaran universal, atau sekurang-kurangnya mekanisme transparansi dan akuntabilitas.

Bahkan jika lingkupnya diperkecil menjadi kewibawaan Unsyiah sekalipun, semestinya WWN mampu menangkap elan vital upaya SM justru menunjukkan semangatnya membangun Unsyiah yang berwibawa dengan entry-point rekrutmen pegawai dalam proses yang transparan dan akuntabel.

Saat melontarkan kritiknya, SM sedang berupaya menyelaraskan pengelolaan Unsyiah dalam koridor keadilan dan kebenaran. Tindakan yang dipilihnya untuk mendorong budaya ‘kebersihan’ di jajaran struktur pengelolaan Universitas Syiah Kuala.

Namun, respon petinggi Unsyiah dalam kasus ini telah memelintir upaya luhur yang dilakukan SM. Sebab, Kejanggalan rekrutmen CPNS yang disuarakan SM tidak pernah diselidiki lebih jauh. Petinggi Unsyiah malah lebih fokus menyudutkan Saiful Mahdi dengan memaksanya meminta maaf atas sikap skeptis dalam konteks akademisnya.

Bukannya mencoba menyelidiki tuduhan Saiful Mahdi terhadap proses rekrutmen pegawai.
Jika menggunakan urutan logis (silogisme) semestinya SM baru bisa meminta maaf jika tuduhannya salah. Sementara, tuduhannya belum dibuktikan salah atau benar.

Pada titik ini, kita mesti bisa memahami perbedaan antara “Tidak bisa membuktikan tuduhan” dengan “Tuduhan yang belum terbukti” dan “Tuduhan yang salah”.

“Tuduhan SM belum terbukti” tidak sama artinya dengan “Tuduhan SM salah” juga tidak serupa dengan “Tidak bisa membuktikan tuduhan. Jika tuduhannya salah, SM memang harus meminta maaf.

Semestinya saat ini argumen WWN yang harus kita kejar bersama adalah pernyataannya bahwa, “Hasil tes kelulusan CPNS itu sepenuhnya bukan wewenang Fakultas Teknik, itu sepenuhnya wewenang Dikti, teknik hanya punya wewenang menerima pendaftaran.”

Peran FT Unsyiah tidak semata-mata pendaftaran, tetapi juga terlibat dalam proses seleksi, terutama wawancara. Tim yang menyeleksi memang dibentuk oleh DIKTI, tetapi formasinya berisi sumber daya dari Fakultas Teknik. Mekanisme detailnya bisa ditelisik dengan mudah dengan memverifikasinya ke pihak Unsyiah dan DIKTI.

Pernyataan tersebut akan mengembalikan kita pada jalur yang benar untuk menelisik benar-salahnya kritik SM mengenai proses tersebut.
Tudingan WWN bahwa Tim Hore dan Minion kasus Saiful Mahdi melakukan peng-iblis-an (demonisasi) juga melampaui batas.

Sebagai kuasa hukum, LBH membatasi diri pada pendampingan hukum untuk menjamin hak klien. Jika Unsyiah merasa diserang, semestinya jajaran pimpinannya menggelar eksaminasi publik mengenai hal yang dituduhkan SM soal proses rekrutmen pegawai di Fakultas Teknik Unsyiah.

Sorotan khusus yang diberikan WWN bahwa Saiful Mahdi bukan alumni Unsyiah adalah hal yang menarik untuk kita cermati bersama. Status SM yang bukan alumni Unsyiah adalah kapasitas pribadi. Hal yang tidak relevan dengan peristiwa yang sedang berlangsung.

Serangan terhadap kapasitas pribadi meliputi fisik, mental, sosial, ideologi, agama, pendidikan dan sebagainya. Serangan terhadap kapasitas pribadi tergolong sebagai logical-falacy yang bernama argumentum ad hominem. Hal yang sangat ditentang oleh WWN.

Jaringan persahabatan SM dengan aktivis, jurnalis, komponen gerakan yang bertaraf nasional dan internasional juga berulangkali diserang WWN. Hal yang juga tergolong kapasitas pribadi SM.

Argumentum ad hominem lagi, logical fallacy lagi.

Belum lagi interpretasi WWN yang paling akan merepotkan dirinya sendiri adalah:

Tapi meski sang dosen terkesan seperti menantang, seolah berkata “coba aja laporkan saya, kalau itu kalian lakukan, kerugian besar ada pada kalian.” Seolah ingin pamer kalau dia lebih besar dari Unsyiah bahkan lebih besar dari hukum yang berlaku di negeri ini. Sang dekan tidak gentar. Kasus ini tetap dia laporkan ke polisi dan kemudian bergulir di pengadilan.

Implikasi pernyataan tersebut sangat mengagumkan karena memuat tafsiran WWN tentang apa yang dipikirkan oleh SM. Apakah WWN bisa membaca pikiran SM? Apa yang membuktikan bahwa SM merasa lebih besar dari Unsyiah dan lebih besar dari negara?

Selain itu, WWN adalah orang yang meyakini premis berikut:

Hampir semua manusia di Bumi menilai orang yang belum dikenalnya dengan menjadikan dirinya sendiri dan karakter orang-orang di lingkungan pergaulannya sebagai patokan dan standar penilaian.

Biasanya ketika orang mencoba menilai seseorang yang belum dikenalnya, sebenarnya dia sedang merefleksikan dirinya sendiri, tanpa dia sadari, sebenarnya dia sedang melihat pantulan wajahnya sendiri di depan cermin.

Seorang pengecut, berpikir bahwa semua orang yang tak dikenalnya adalah pengecut seperti dirinya dan orang-orang yang dia kenal (atau dia pikir dia kenal) di lingkungan sekitarnya.
Berdasarkan tafsiran WWN atas pikiran SM dan membandingkan pernyataan WWN dalam tiga paragraf yang saya kutip di atas, maka WWN sedang mengalami pertarungan dalam dirinya sendiri.

Jadi, saya ber kesimpulan berdasarkan dua arguman WWN tersebut, ada hal yang belum tuntas dipahami olehnya. Atau, ia belum tuntas dengan nalarnya sendiri, sebab kedua pernyataan WWN yang berjarak tak lebih dari 7×24 jam sangat bertentangan. WWN sedang membangun pertarungan yang tak dipahaminya soal kasus SM, sementara ia belum tuntas bertarung dengan dirinya sendiri!

Mungkin WWN bisa saja menggunakan alasan “Hampir semua manusia tapi tidak termasuk saya!” tapi kami tak mau mencoba membaca pikiran WWN. Itu cuma fantasi iseng saja.
Sampai di sini, kami mencoba kembali ke dasar untuk membangun perbandingan dan kembali mereguk semangat awal bergulirnya kasus ini.

SM mengkritik proses rekrutmen pegawai Unsyiah di Fakultas Teknik. Kritik tersebut mengarah pada problema struktural dalam pengelolaan kampus. Meski ia bukan alumnus Unsyiah, SM telah mengabdikan dirinya selama 25 tahun. Tak perlu membandingkan pengabdiannya dengan WWN, itu akan menjurus pada argumentum ad hominem.

Kita mesti tetap fokus memahami bersama, bahwa langkah SM adalah upaya membangun tradisi yang adil dalam aorta Unsyiah, Jantong Hate Rakyat Aceh agar tak menjadi Jantong Mate Rakyat Aceh.

Namun, ingatlah tidak boleh ada nilai yang lebih besar dari kebenaran dan keadilan yang diamanatkan Tuhan kepada manusia.

Semoga kita dapat memahami bersama bahwa arogansi adalah arogansi, ia kerap tak mampu membedakan mana glorifikasi dan mana Gloria Estefan!

*Penulis adalah Tim Hore dan Minion Kasus Saiful Mahdi

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.