Milad Unsyiah Dalam Jebakan Kerancuan Definisi Antara Kebebasan Akademik dan Arogansi Akademisi (Bagian II selesai)

oleh
Win Wan Nur

Oleh : Win Wan Nur*

Melanjutkan tulisan sebelumnya, momen ulangtahun ke – 60 Unsyiah dimanfaatkan oleh tim hore sang dosen MIPA untuk mengangkat kembali isu perseteruan antara sang dosen dengan dekan dan institusi Fakultas Teknik.

Saya perhatikan di media sosial, tidak banyak orang yang berani meng-counter narasi-narasi berbau glorifikasi sang dosen dan demonisasi Unsyiah yang dikembangkan oleh pendukung, tim hore dan para minion dari sang dosen MIPA. Tapi ketika saya menyampaikan pandangan berbeda dari arus utama narasi yang mereka kembangkan. Saya lihat, mulai muncul beberapa suara yang senada dengan yang saya sampaikan.

Tapi dengan cepat, atas nama memperjuangkan kebebasan berpendapat, tim hore sang dosen beramai-ramai menyerang dan merisak untuk membungkam orang-orang yang berani bersuara memainkan nada yang berbeda dengan yang mereka orkestrasikan.

Satu hal menarik saya temukan ketika tim penasehat hukum mereka gagal mempertahankan argumen logis ketika posisi mereka yang ada di sisi sang dosen MIPA saya pertanyakan. Alih-alih memberi jawaban memuaskan, mereka malah meminta saya untuk datang ke kantor mereka untuk diberikan penjelasan.. Alasannya, pembelaan yang mereka lakukan berdasarkan pada argumen hukum, bukan berdasarkan perasaan. Jadi tak mungkin sikap mereka salah.

Saya langsung tertawa membacanya, karena faktanya, mereka sudah kalah di pengadilan terhadap lawan yang sama-sama menggunakan argument hukum. Apa point-nya mereka menyampaikan ini kepada saya, toh saya tak punya kuasa dan wewenang untuk mengubah ketetapan hukum. Yang punya wewenang itu pengadilan.

Ini menurut saya lucu sekali, kok mereka tidak malu menyampaikan hal sekonyol itu di hadapan publik.

Kemudian, pendukung lain mencoba membelokkan persoalan ini dengan mempersalahkan UU ITE, dia menyatakan. “Rasanya terlalu remeh, seorang dosen dipenjara karena UU ITE.”

Well, terus terang, saya sendiri adalah orang yang sangat menentang UU ITE, saya bahkan sudah menolaknya sejak undang-undang ini masih berbentuk RUU. Tapi, mau setuju atau tidak setuju, saat ini UU itu sudah berlaku. Jadi apa boleh buat kalau orang ditahan dengan menjadikan UU itu sebagai pintu masuk, kita harus terima. Ini sama kasusnya seperti saya menganggap undang-undang terlalu ringan dalam menghukum pelaku pemerkosaan, tapi ketika seorang pemerkosa yang divonis bersalah dan dihukum ringan karena menggunakan pintu masuk itu. Kita bisa apa selain menerima fakta itu?

Tapi dalam kasus ini, tidak tepat pula kalau dikatakan sang dosen dipenjara karena UU ITE, sebab jauh sebelum UU ini digunakan untuk melawan sang dosen di pengadilan, pihak yang merasa dia rugikan sudah berulangkali melakukan mediasi. Bahkan menurut sumber yang sangat saya percaya, di saat-saat terakhir pun di Polda, sebenarnya sang dosen MIPA dan dekan Fakultas Teknik sudah setuju menyelesaikan persoalan ini secara kekeluargaan, sehingga UU ITE sebagai pintu masuk tak perlu digunakan.

Anehnya, entah kenapa di detik-detik terakhir, justru si dosen MIPA berubah pikiran dan memilih untuk menyelesaikan persoalan ini di pengadilan.

Ketika dia memilih jalan ini sebagai pilihan, jelas dia sepenuhnya sadar kalau pintu masuk yang akan digunakan oleh tim hukum yang dia tantang untuk melawan dia dan timnya adalah UU ITE.

Jadi, dalam hal ini apakah etis Dekan Fakultas Teknik yang disalahkan dan disebut baperan?

Inilah sebabnya, mengapa saya secara pribadi sulit untuk tidak merasa ada udang di balik batu dalam polemik ini. Sulit untuk tidak berpikir bahwa ada upaya massif untuk mendiskreditkan Fakultas Teknik bahkan Unsyiah secara umum.

Sebab faktanya, dosen itu “cuma” dipenjara 3 bulan, tapi Dekan Fakultas Teknik yang menjadi lawannya dan Unsyiah yang dicitrakan berpihak pada Dekan Fakultas Teknik, dirisak sama so called “pembela kebebasan berpendapat” sampai hari ini bahkan entah sampai kapan setiap kali mereka menemukan momentum yang tepat, sebagaimana yang mereka demonstrasikan di hari ulangtahun Unsyiah ini.

Selanjutnya, karena beragam pernyataan mereka di pelbagai platform media selalu mengklaim, bahwa alasan mereka tetap membela sang dosen MIPA ini adalah karena apa yang dia sampaikan ada dalam koridor mimbar akademik sehingga tidak boleh dihakimi di ranah hukum positif.

Klaim seperti ini membuat saya tergerak untuk mencari, apa sebenarnya definisi “kebebasan akademik” dan menemukan batasan-batasannya.

Pucuk dicinta, ulam tiba. Saat sedang bergerilya mencari berbagai data terkait hal itu. Seorang teman yang menyandang gelar doktor di bidang hukum, menyapa saya di WhatApp.

Teman ini, yang seperti banyak teman-teman lain di kalangan akademisi yang sebenarnya sudah muak dengan sikap para pendukung dan tim hore sang dosen MIPA tapi merasa tak enak dan berpotensi kehilangan teman jika menyampaikan pandangannya secara terbuka di hadapan public, kemudian membanjiri saya dengan berbagai informasi dan fakta terkait polemik ini, informasi yang selama ini tak pernah disampaikan ke publik oleh tim hore sang dosen MIPA, mengirimkan saya beragam referensi terkait definisi kebebasan akademik.

Dari referensi yang dikirimkan sang doktor bidang hukum ini, salah satunya adalah tulisan lama Mahfud MD yang dia beri judul “Perspektif Politik dan Hukum Tentang Kebebasan Akademik dan Kritik Sosial”

Artikel yang ditulis Mahfud MD ini memuat beberapa referensi terkait kebebasan akademik. Dalam pelbagai referensi tersebut. Saya menemukan bahwa definisi tentang apa yang disebut sebagai “kebebasan akademik” tidaklah tunggal.

Dalam salah satu referensi itu, saya menemukan satu pandangan menarik dari Harsja W. Bachtiar yang menyatakan bahwa “kebebasan akademik hanya berlaku di lingkungan kampus sehingga jika sudah dikonsumsikan ke luar dan ada yang merasa dirugikan nama baiknya, bisa melakukan gugatan”

Saya pikir definisi “kebebasan akademik” yang disampaikan Harsja W. Bachtiar ini cocok dengan situasi yang terjadi antara si dosen MIPA dengan Dekan Fakultas Teknik dan menunjukkan dengan telak bahwa apa yang dilakukan oleh Dekan Fakultas Teknik, sudah tepat adanya.

Pandangan lain datang dari Sydney Hook dalam tulisannya yang berjudul “The Long View” yang dimuat dalam “In Defence of Academic Freedom”

Di sana dia menyatakan bahwa kebesaran universitas ada berkat hasil karya dosen-dosennya, karena itulah kebebasan akademik menjadi urgen. Sebab tanpa kebebasan akademik, para dosen akan sulit menghasilkan karya ilmiah yang objektif.

Sydney Hook kemudian melanjutkan. Profesor filsafat dari New York University ini menyatakan bahwa makna kebebasan akademik seringkali rancu dengan kebebasan mengemukakan pendapat pada umumnya. Yang mana yang dikategorikan sebagai kebebasan mengemukakan pendapat pada umumnya ini adalah kebebasan warga perguruan tinggi untuk secara terbuka mengemukakan pendapat yang tidak terkait dengan isu atau hal-hal yang tidak berkaitan dengan bidang keilmuannya. Di sini, Sydney mengambil contoh kasus seperti pernyataan sikap seorang warga kampus atas sebuah kebijakan atau sebuah situasi.

Di sini, apa yang disampaikan penulis ini persis seperti yang dilakukan sang dosen MIPA. Apa yang dia sampaikan di-chat WA group itu sah saja sebagai kebebasan warga perguruan tinggi untuk menyatakan pendapat, tapi itu jelas tidak bisa dikategorikan sebagai ekspresi atau implementasi dari kebebasan akademik.

Kalau kita mengacu pada pendapat Sydney Hook ini, maka, apa dapat disimpulkan yang disampaikan oleh si dosen MIPA itu di WA group tersebut hanyalah sekedar kebebasan biasa yang dimiliki warga negara manapun. Sederhananya, nilai kebebasan yang dimiliki sang dosen MIPA dalam menyampaikan pendapatnya ini segaris dan sebangun dengan nilai kebebasan yang saya miliki sebagai orang awam ketika saya menyatakan pendapat di warung kopi kepada tukang becak langganan saya. Itu hanya kebebasan biasa bagi warga negara untuk menyatakan pendapat, itu bukan kebebasan akademik yang tak boleh diintervensi kekuasaan luar.

Mengaitkan ini dengan pendapat Harsja W. Bachtiar, artinya menyampaikan pendapat dengan kebebasan seperti itu, ya sah saja dilaporkan ke polisi seandainya, seseorang melalui pernyataannya dalam situasi seperti itu membuat pihak tertentu merasa dirugikan nama baiknya. Pelaku tidak bisa berlindung di balik tameng kebebasan akademik atas ucapan semacam itu yang dia lontarkan.

Kemudian Achmad Icksan, dalam bukunya yang berjudul “Mahasiswa dan Kebebasan Akademik” yang terbit pada tahun 1985, menyatakan bahwa kebebasan akademik umumnya memiliki dua wilayah perhatian yaitu :

Pertama, kebebasan yang dimiliki lembaga pendidikan tinggi untuk melaksanakan fungsinya tanpa dicampuri oleh kekuasaan di luar.

Kedua, kebebasan seseorang di dalam universitas untuk belajar, mengajar dan melakukan penelitian serta mengemukakan pendapatnya sehubungan dengan kegiatan tersebut tanpa ada pembatasan kecuali dirinya sendiri.
Artinya, di sini kita dapat menyimpulkan bahwa warga perguruan tinggi memiliki kebebasan akademik hanya terkait dengan pelaksanaan kegiatan di perguruan tinggi dan aktivitas ilmiah. Di luar itu, segala pendapat, pernyataan di luar konteks keilmuan, di luar proses belajar mengajar dan aktivitas ilmiah yang dijalankan dengan prosedur tertentu, tidak dapat dikategorikan sebagai kebebasan akademik.

Jadi berdasarkan uraian ini, mengacu pada berbagai referensi ini dan beberapa referensi lain yang tak bisa saya sebutkan satu persatu. Kita dapat menyimpulkan bahwa menyatakan apa yang disampaikan oleh dosen MIPA ini di grup WA sebagai kebebasan akademik adalah sebuah pernyataan sesat dan menyesatkan. Apalagi menyatakan WA group sebagai mimbar akademik, tentu menjadi lebih rancu lagi.

Lalu kitapun sampai pada kesimpulan akhir dari dua seri tulisan ini. Setelah menelaah, berbagai referensi dari akademisi yang ada di dalam maupun di luar negeri. Apa yang ditampilkan oleh sang Dosen MIPA dan tim hore beserta para minionnya dalam polemik melawan Dekan Fakultas Teknik dan Unsyiah sebagai institusi ini bukanlah sebuah KEBEBASAN AKADEMIK, apa yang mereka tampilkan ini adalah pameran AROGANSI dari seorang AKADEMISI.

-Selesai-

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.