Milad Unsyiah Dalam Jebakan Kerancuan Definisi Antara Kebebasan Akademik dan Arogansi Akademisi (Bagian I)

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Kemarin, laman facebook saya mengharu biru dengan tampilan foto para alumni Universitas Syiah Kuala yang berulang tahun untuk yang ke – 60. Sebenarnya sekarang nama kampus ini secara resmi disingkat USK, tapi banyak alumni lawas, belum bisa move on dari singkatan lama, Unsyiah. Saya sendiri masuk dalam barisan yang belum bisa move on itu, karena itulah dalam judul tulisan ini, saya masih menyebut Unsyiah, bukan USK.

Banyak nostalgia dan cerita indah semasa kuliah yang bermunculan dalam kolom komentar di bawah foto-foto tersebut. Begitu semarak dan memberikan kebahagiaan kecil bagi para alumni di tengah kesuntukan berbagai pembatasan akibat pandemic Covid-19 ini.

Tapi, kesemarakan dan rasa suka cita, atas ulang tahun ke-60 Unsyiah ini sedikit terganggu dengan sikap segelintir alumni yang mengungkit luka agak lama terkait konflik antara seorang dosen/akademisi dari fakultas MIPA dengan institusi Fakultas Teknik yang berujung pada dipenjaranya sang dosen selama tiga bulan.

Konflik ini bermula dari pernyataan sang dosen terkait proses penerimaan CPNS dosen Unsyiah di WA group ‘UnsyiahKita’ dan ‘Pusat Riset & Pengembangan’ yang keduanya merupakan grup internal para akademisi Unsyiah.

Di dua WA group tersebut, sang dosen menuliskan: “Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup? Gong Xi Fat Cai!!! Kenapa ada fakultas yang pernah Berjaya kemudian memble? Kenapa ada fakultas baru tapi begitu membanggakan? Karena meritokrasi berlaku sejak rekrutmen. Hanya para medioker atau yang terjerat ‘hutang’ yang takut meritokrasi.”
Pernyataan sang dosen ini kemudian ditanggapi oleh beberapa anggota grup sesama pengajar di lingkungan Unsyiah.

Salah seorang anggota grup ‘UnsyiahKita’ menuliskan, “Sahihkan, Pak SM?”
sang dosen menjawab, “Sahih, layak masuk publikasi terindeks scopus,Q1. He hehehe”
Pernyataan yang mendiskreditkan institusi dan pimpinan Fakultas Teknik, yang disampaikan dengan gaya sangat meyakinkan ini, memicu ketersinggungan dekan fakultas penghasil para insinyur tersebut.

Sang dekan merasa, akal sehat diri dan jajarannya sama sekali belum mati dan determinisme teknik bukanlah sesuatu yang mudah dikorup, sebagaimana klaim sang dosen MIPA yang nota bene adalah orang luar institusi mereka.

Beberapa waktu setelah beredarnya chat di WA group yang dimaksud, tersiar kabar bahwa dekan Fakultas Teknik melaporkan sang dosen MIPA ke senat Unsyiah.

Ketika informasi tentang pelaporan ini bocor (atau sengaja dibocorkan) ke publik. Gelombang dukungan kepada sang dosen pun datang mengharu biru. Dalam pelbagai dukungan ini, sang dosen dicitrakan sebagai pahlawan pejuang kebebasan berpendapat yang sedang dizalimi oleh institusi tempatnya berkarir sebagai akademisi.

Seperti bola salju, dukungan pada sang dosen yang dikenal punya pergaulan luas di kalangan akademisi, intelektual, wartawan, aktifis sampai seniman serta memiliki jaringan sangat luas di tingkat nasional dan level internasional ini bergulir terus dan semakin membesar dari hari ke hari.

Pada periode ini, terus terang saya sendiri berada di barisan pendukung sang dosen dan mengecam Unsyiah yang menghalangi kebebasan berpendapat.

Yang tidak saya ketahui waktu itu, yang mungkin juga tidak diketahui oleh tim hore sang dosen. Ternyata pelaporan yang dilakukan pimpinan Fakultas Teknik, tidaklah terjadi dengan serta merta.

Faktanya, sebelum pelaporan itu terjadi, sebenarnya jajaran pimpinan Fakultas Teknik sudah mencoba melakukan berbagai mediasi, yang intinya mereka ingin nama mereka dibersihkan dari tuduhan yang tidak benar. Kalau itu dilakukan, persoalan ini sudah kapan-kapan selesai secara kekeluargaan.

Informasi tentang adanya usaha mediasi ini saya dapatkan dari orang yang saya kenal baik dan juga saya tahu persis memiliki hubungan sangat baik dengan sang dosen dan juga dengan pimpinan Fakultas Teknik yang menjadi korban serangan verbal sang dosen. Atas pertimbangan inilah namanya tidak ingin saya sebutkan.

Di titik ini, saya mengubah sikap dan pandangan.

Sementara itu, rektor Unsyiah menyikapi laporan dari pimpinan fakultas Teknik dengan serius. Pimpinan tertinggi Unsyiah ini mengirim surat kepada Ketua Senat Unsyiah, memohon pertimbangan senat terhadap dugaan pelanggaran etika.

Kemudian senat Unsyiah menanggapinya dengan mengirim surat kepada Ketua Komisi F yang merupakan komisi yang berwenang dalam penegakan tata nilai, evaluasi, dan protokoler.

Dalam surat ini, senat Unsyiah memohon kepada Komisi F untuk melakukan pemeriksaan terhadap yang bersangkutan, dan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut sesuai peraturan perundangan-undangan yang berlaku, dan hasilnya dapat dituangkan dalam berita acara.

Menanggapi ini, Ketua Komisi F, Prof. Dr. Abdul Rahman Lubis, M.Sc., kemudian meminta kepada Ketua Senat Unsyiah menerbitkan surat undangan narasumber kepada pimpinan Fakultas Teknik untuk mengklarifikasi dugaan pelanggaran etika/penyebaran berita bohong menyangkut proses penerimaan CPNS dosen di Unsyiah sebagaimana

Keesokan harinya, Ketua Komisi F yang sama, juga mengirim surat kepada Senat Unsyiah untuk dapat menerbitkan surat undangan narasumber kepada sang dosen, untuk mengkonfrontasi fakta tentang ketidakberesan dalam proses penerimaan CPNS dosen di lingkungan Fakultas Teknik Unsyiah, sebagaimana yang dia tulis di WA group yang level kesahihannya, dia katakan layak masuk publikasi terindeks scopus,Q1. Tapi, sampai pada jadwal sidang yang ditentukan, sang dosen tak kunjung menunjukkan batang hidungnya.

Dalam prosesnya dalam kurun waktu antara 21 Februari 2019 sampai sidang tanggal 12 April 2019, yang dihadiri Ketua dan Sekretaris Senat, serta Ketua, Sekretaris, dan Anggota Komisi F. Pertemuan ini turut dihadiri Rektor dan Wakil Rektor II Unsyiah yang bertindak sebagai narasumber. Senat Unsyiah berkali-kali menyurati sang dosen untuk menghadiri sidang, untuk memberikan klarifikasi. Tapi sang dosen yang menyatakan bahwa kesahihan informasi yang dia sampaikan di WA group sebagai scorpus Q1 itu, tak pernah hadir.

Berdasarkan hasil sidang itu, pada tanggal 22 April 2019, Senat Unsyiah memohon bantuan rektor untuk memberikan teguran tertulis kepada sang dosen agar yang bersangkutan menyampaikan permohonan maaf secara tertulis kepada Pimpinan Fakultas Teknik Unsyiah dan disampaikan melalui media group Whatsapp “UnsyiahKita” dan “Pusat Riset & Pengembangan” dalam waktu 1×24 jam. Apabila ketentuan ini tidak dipenuhi, maka sang dosen akan mendapat sanksi.

Ketika sang dosen menerima surat dari rektor, dia menyatakan keberatan atas teguran pelanggaran etika akademik yang telah diputuskan senat. Sang dosen mengirim surat kepada Rektor Unsyiah dengan tembusan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi di Jakarta, Ketua Ombudsman RI Perwakilan Aceh di Banda Aceh, Dekan Fakultas MIPA Unsyiah, dan Dekan Fakultas Teknik Unsyiah.
Secara ajaib, dalam surat tersebut, sang dosen menyatakan keberatan, karena ia merasa tidak pernah disidangkan dalam suatu sidang majelis etika akademik di Unsyiah.

Padahal berdasarkan kronologis di atas yang detailnya bahkan sudah pernah dimuat salah satu mendia online berbasis di Banda Aceh, kita ketahui, dia sudah dipanggil berkali-kali untuk mengikuti sidang itu, tapi dia selalu mangkir dengan pelbagai alasan.

Kelihatan kan konyolnya?

Sehingga, mengacu pada fenomena ini, secara objektif, sebenarnya siapapun tidak bisa membantah fakta bahwa si dosen inilah yang menjadi biang kerok dari segala persoalan. Sebab sangat jelas, dirinya lah yang memicu polemik dengan mengeluarkan pernyataan yang merugikan nama baik pihak lain. Lalu dia pula yang dengan lantang menjamin kesahihan informasi yang dia tulis dalam pernyataan di dua grup itu. Kemudian, dia pula yang tidak mau menghadiri sidang etik yang digagas pihak berwenang di lembaga tempatnya berkarir.

Sulit untuk tidak menangkap kesan bahwa sang dosen sedang pamer kekuatan dan arogansi. Seolah dia ingin menunjukkan bahwa aturan yang ada di Unsyiah hanya mengikat buat akademisi Unsyiah selain dirinya. Seolah menantang lembaga tempatnya berkarir “Coba saja menantang saya, yang terjadi bukan saya yang hancur, tapi kalianlah yang akan berantakan”

Mengacu pada fakta yang sedemikian terang benderang, dimana orang awam saja bisa menilai bahwa kesalahan terletak di pundak sang dosen, apalagi para intelektual, kaum terpelajar berpendidikan tinggi, yang mendapatkan gelar S2 sampai S3 di pelbagai universitas top di dalam maupun luar negeri, para pembela HAM dan pejuang keadilan, pegiat media dan para seniman.

Saya teringat pada sebuah kalimat dalam dialog legendaris antara tokoh Minke dan Jean Marais dalam novel Bumi Manusia karya penulis besar Pramoedya Ananta Toer yang “seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan” penggalan dialog yang sangat sering dikutip oleh kaum terdidik, akademisi, sastrawan dan para aktifis yang aktif menyampaikan opini di pelbagai media.

Tentu tak berlebihan kiranya, kalau kemudian saya sebagai awam berharap bahwa sekian banyak kaum terpelajar dengan berbagai label dan latar belakang yang berada dalam luasnya lingkaran pergaulan sang dosen.

Tapi nyatanya, yang terjadi “jauh panggang dari api” alih-alih berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan, kaum terpelajar yang berada di dalam luasnya lingkaran pergaulan sang dosen, secara membabibuta mendemonisasi, pimpinan fakultas teknik Unsyiah yang merupakan pihak yang dirugikan dan menuntut keadilan melalui jalur yang benar dan bermartabat, sembari mengglorifikasi si dosen arogan dengan mencitrakannya sebagai seorang pejuang keadilan yang dengan berani melawan kekuasaan maha besar yang tak mungkin bisa dilawan oleh orang awam.

Kronologis yang jelas-jelas menunjukkan si dosen MIPA lah sebagai biang kerok dan pihak yang patut disalahkan, secara efektif berhasil mereka kaburkan dan putarbalikkan.

Plot layaknya cerita sinetron yang tayang di Indosiar dengan massif diamplikasi kaum terpelajar yang menjadi tim hore sang dosen MIPA ini.

Gaya playing victim tapi ngehek ala aktivis nasional berbadan tambun yang menampilkan diri sebagai pembela kebebasan tapi langsung memblokir siapapun yang berbeda pendapatnya, ditampilkan dengan telanjang oleh kaum terpelajar yang sama, anggota tim hore dosen MIPA yang sama.

Dosen lulusan ITS yang secara semena-mena menyebut akal sehat jajaran pimpinan Fakultas Teknik Unsyiah telah mati ini benar-benar mereka tampilkan sebagai sosok ideal.

Layaknya tokoh protagonis dalam sinetron Indosiar, foto sang dosen mencium kening sang istri, untuk menunjukkan bahwa sang dosen yang tak mau mempertanggung jawabkan ucapannya di depan senat Unsyiah ini adalah sosok yang cinta keluarga, mereka edarkan di pelbagai platform media sosial. Mereka membuat petisi di change.org.

Di sisi lain, dekan Fakultas Teknik, seorang akademisi murni, lebih banyak bergaul di kalangan sesama akademisi karir. Dia tak punya banyak pengaruh serta tak memiliki pergaulan luas di kalangan wartawan, aktifis, akademisi, kaum intelektual dan seniman. Jaringannya di tingkat nasional dan internasional juga jauh lebih inferior dibanding jaringan yang dimiliki sang dosen MIPA yang coba dia lawan.

Situasi ini membuatnya menjadi sansak hidup dari kaum terpelajar yang menjadi pendukung fanatik sang dosen MIPA. Dekan Teknik, tanpa ampun dirisak dan didemonisasi dari pelbagai sudut dan pelbagai sisi.

Dekan Fakultas Teknik, yang seorang akademisi cum teknokrat ini mereka labeli dengan pelbagai sebutan yang tidak enak didengar, mulai dari baperan sampai orang yang anti kebebasan berpendapat. Begitu bebasnya sang dekan didemonisasi, seolah dirinya tak punya status yang sama dengan sang dosen MIPA, sebagai seorang ayah dan seorang suami.

Meskipun sang dekan mencoba melawan, karena dirinya tak punya banyak pendukung militan yang punya banyak waktu luang berperang opini di media massa dan media sosial. Segala pembelaannya, hanya terdengar sayup-sayup di kalangan sangat terbatas.

FAKTA bahwa jauh sebelum persoalan ini masuk ke ranah pelaporan ke lembaga berwenang, pimpinan fakultas Teknik yang dalam hal ini merupakan pihak yang dirugikan sudah mencoba pelbagai cara untuk melakukan mediasi untuk menyelesaikan persoalan ini, sama sekali tak pernah muncul dalam segala narasi yang dikembangkan oleh kaum terpelajar lulusan universitas top di dalam dan luar negeri, yang menjadi tim hore sang dosen MIPA.

Saat pimpinan Fakultas Teknik yang merasa sangat dirugikan akhirnya tak punya pilihan selain melaporkan persoalan ini ke polisi. Serangan dari kaum terpelajar pada dirinya, fakultas Teknik bahkan Unsyiah sendiri sebagai institusi, semakin menjadi-jadi.

Kali ini, yang dirisak oleh kaum terpelajar yang jadi tim hore dosen MIPA bukan hanya pimpinan Fakultas Teknik Unsyiah, tapi Unsyiah sendiri sebagai lembaga sampai pada pribadi-pribadi manapun yang memiliki pandangan berseberangan dengan mereka terkait persoalan ini, mereka risak habis-habisan.

Tanpa tedeng aling-aling, kaum terpelajar tim hore sang dosen, menyebut siapapun yang memiliki pandangan berseberangan dengan mereka, sebagai orang yang anti kebebasan berpendapat, memakai kacamata kuda.

Secara umum, kita bisa melihat kalau banyak sekali serangan yang dilancarkan kaum terpelajar ini masuk kategori “sesat pikir” alias “logical fallacies” mulai dari “Argumentum of Authority” yang memaksakan kebenaran argument karena sesuai pendapat orang penting(dalam hal ini kaum terpelajar) sampai “Argumentum ad Hominem” yang menyerang pribadi akibat kehabisan kata-kata.

Tapi meski sang dosen terkesan seperti menantang, seolah berkata “coba aja laporkan saya, kalau itu kalian lakukan, kerugian besar ada pada kalian.” Seolah ingin pamer kalau dia lebih besar dari Unsyiah bahkan lebih besar dari hukum yang berlaku di negeri ini. Sang dekan tidak gentar. Kasus ini tetap dia laporkan ke polisi dan kemudian bergulir di pengadilan.

Meskipun selama proses peradilan, tim hore pendukung fanatiknya terus menggalang dukungan dan membanjiri kanal media sosial dengan berbagai opini positif tentang sang dosen. Nyatanya hukum tak mampu mereka intervensi. Sang dosen kalah dan dihukum penjara selama tiga bulan, hukuman yang sekarang sudah selesai dia jalani.

Tidak puas dengan hukuman itu, sang dosen dan tim pengacaranya mencoba melakukan banding, tapi mereka tetap kalah bahkan konon sampai tahap kasasi.

Awalnya saya berpikir kalau dengan selesainya sang dosen menjalani hukuman, polemik tentang kasus ini akan padam.

Tapi ternyata saya salah, momen ulang tahun Unsyiah ini, dijadikan oleh tim hore sang dosen untuk mengungkit kembali luka lama ini dan membuka kesempatan bagi mereka untuk merisak dekan Fakultas Teknik yang saat ini sudah meletakkan jabatan sekaligus, kembali merisak Unsyiah yang punya julukan kampus Jantong Hatee Rakyat Aceh ini.

Inilah yang menggerakkan saya untuk menulis artikel ini, dengan harapan, terkait dengan polemik ini, siapapun yang membaca artikel ini, entah itu kaum terpelajar atau bukan, bisa bersikap adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.

Bersambung ke bagian 2

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.