Refleksi atas Wafatnya Akademisi dan Sastrawan Terkemuka Indonesia Profesor Budi Darma

oleh

Oleh : Salman Yoga S*

Saya mengenalnya melalui sejumlah karya-karyanya yang sempat menjadi tolok ukur kualitas dan mutu karya sastra di Indonesia. Terlebih salah satu novelnya yang berjudul “Olenka” tahun 1983 sempat booming dan menjadi bacaan vaforit yang dicari-cari selain karyanya yang lain seperti “Raflus” 1998, kumpulan cerpen “Orang-orang Bloomington” 1981, tiga kumpulan esai: “Solilokui” 1983, “Sejumlah Esai Sastra” 1984, “Harmonuium” 1995, Kumpulan Cerpen “Laki-laki lain dalam Secarik Kertas” dan lain-lain.

Prof. Dr. Budi Darma, MA, Ph.D adalah sastrawan kenamaan Indonesia yang juga Guru Besar pada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Ia lahir di Rembang pada tanggal 25 April 1937 dan wafat di Surabaya tanggal 21 Agustus 2021, jam 06.00 WIB di Rumah Sakit (RS) Islam A Yani, Surabaya dalam usia beliau 84 tahun.

Riwayat pendidikannya adalah Jurusan Sastra Barat, Fakultas Sastra UGM (1963) juga pernah mendalami pengetahuan di Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat (AS) antara tahun 1970 – 1971. Gelar Magister of Art (MA)-nya ia raih dari Universitas Indiana, Bloomington, Amerika Serikat (AS) tahun 1976, sedang gelar Ph.D ia dapat dari universitas yang sama tahun 1980 yang juga sempat menjabat sebagai Visiting Research Associate di Universitas Indiana.

Selain sebagai akademisi nama Budi Darma juga teracatat dan diabadikan dalam sejumlah buku ensiklopedia diantaranya adalah Who’s Who in The World, dan Ensiklopedi Pengarang Indonesia.

Masyarakat sastra Indonesia merasa sangat kehilangan atas kepulangan Prof. Dr. Budi Darma, MA, Ph.D kepangkuan ilahi. Sejumlah group media sosial baik Facebook, Twiters, Instalgram serta pemberitaan sejumlah media nasional turut menginformasikan berita duka ini dengan ucapan belasungkawa mendalam.

Saya mengenalnya secara fisik dan sempat duduk berdiskusi dalam satu meja pada pertengahan tahun 2011 silam. Saat itu beliau dan saya hadir di Kota Palembang Sumatera Selatan dalam sebuah even bergengsi para penggiat kata-kata berupa perhelatan penyair di kawasan Asia Tenggara dalam acara Pertemuan Penyair Nusantara (PPN ke-V).

Even tersebut tersebut juga menghimpun karya para penulis yang datang dari sejumlah Negara Asean dengan buku setebal 624 halaman berjudul “Akulah MUSI”.

Dalam even itu juga Prof. Dr. Budi Darma, MA, Ph.D hadir dengan membentangkan makalah dalam sesi seminar. Diskusi di meja makan dengannya berlangsung ringan dengan pertanyaan-pertanyaan familiar, “Dari mana, namanya siapa?”.

Namun ketika hidangan makan mulai tergerus dari piring keramik putih telah hampir habis, sambil meneguk air putih ia sempat berucap kepada saya bahwa sangat jarang sebuah puisi mengandung unsur konflik, umumnya puisi sebagai narasi tunggal atau orang ketiga.

“Sangat jarang sebuah puisi mengandung unsur konflik, umumnya puisi sebagai narasi tunggal atau orang ketiga, berjalan lurus. Dari itu sebagai penyair muda tulislah sesuatu dalam puisi yang bersifat baharu, baharu dalam konteks isi juga dalam konflik yang memungkinkan puisi tidak menjadi narasi tunggal tetapi juga ada unsur lainnya”, kata pak Budi Darma yang berkat karya dan dedikasinya dalam pendidikan pernah dinobatkan sebagai warga Surabaya berprestasi dalam bidang kesastraan pada tahun 1987 dan 1988 ini.

Kata-kata Prof. Budi Darma demikian menancap dalam kepala saya, meski saya tau apa yang ia sampaikan adalah bagian dari isi makalah yang ia persentasikan sebelummya. Tetapi karena disampaikan sambil makan se-meja saling berhadapan saya merasa ini sangat istimewa hingga menjadi catatan khusus dan terkenang sampai jauh.

Selamat jalan Prof. Dr. Budi Darma, MA, Ph. D, amal bakti dan karya-karyamu akan abadi dalam literasi anak negeri. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.