Bandara Rembele Dalam Bingkai Sejarah

oleh

Oleh : Ir. Yan Budianto*

Tulisan ini menyampaikan selintas informasi tentang sejarah ringkas perjalanan bandara Rembele dari awal pembangunan sampai kondisi saat ini, sebagai referensi singkat.

Dulunya pernah terjadi konflik bersenjata antara TNI dan GAM di Provinsi Aceh yang tentu berdampak pada roda kehidupan masyarakat, salah satunya adalah terganggunya kelancaran transportasi.

Dipenghujung tahun 1990an dan di awal tahun 2000an transportasi darat mulai tidak aman dan pernah sampai lumpuh total akibat sering terjadinya konflik bersenjata dan pemeriksaan identitas penumpang yang dilakukan oleh TNI maupun GAM selama di perjalanan menyebabkan situasi menjadi tidak nyaman dan mencekam.

Untuk berpergian saja dari dataran tinggi Gayo ke Medan Sumatera Utara rute yang relatif aman menggunakan jalur Blang Kejeren – Kutacane – Kabanjahe – Medan dengan kondisi jalan sangat jelek sekali pada saat itu dan sarana angkutan penumpang yang ada hanya angkutan sejenis L300 dengan waktu tempuh mencapai 20 jam lebih yang seharusnya apabila lewat rute Biruen hanya ditempuh 12 jam saja.

Kondisi serba tidak menentu ini membuat pimpinan daerah Kabupaten Aceh Tengah (pada saat itu Bener Meriah belum dimekarkan) berpikir keras untuk keluar dari keterisolasian daerah akibat terganggunya sarana transportasi yang menjadi urat nadi kestabilan perekonomian.

Pemerintah Daerah pada saat itu mulai melirik keberadaan bandara Rembele yang sebenarnya sudah mulai dibangun sejak tahun 1996 oleh Kantor Wilayah Perhubungan Aceh Departemen Perhubungan.

Dari pemantauan hasil pembangunan selama 5 tahun progresnya berjalan lambat sehingga tidak dapat diprediksi kapan bandar ini akan dapat difungsikan dipicu lagi Aceh dalam kondisi konflik sehingga mungkin Kanwil Perhubungan Aceh tidak dapat fokus untuk menyelesaikan pembangunannya.

Di awal tahun 2000-an Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Tengah mulai melakukan lobi-lobi ke Pemerintah Pusat dengan alasan Aceh dalam situasi konflik transportasi darat terganggu maka dibutuhkan transportasi udara sebagai solusinya selain mengikuti trend mengikuti zaman kebutuhan transportasi udara di masa depan.

Alhamdullilah usulan tersebut mendapat tanggapan yang positif dari Departemen Perhubungan dan untuk menyikapi program pembangunan ini secara profesional baik untuk jangka pendek, menengah dan jangka panjang Pemerintah Daerah berinisiatif menyiapkan seluruh dokumen perencanaan yang dibutuhkan antara lain Feasibility Study (FS), Masterplan dan Detail Enggineer Design (DED).

Dari hasil final kajian tersebut didapat tahapan pembangunan yang diukur dari demensi panjang landasan adalah fhase I 30 x 1.200 meter (sebagai bandara perintis) rencana pembangunan tahun 2001 – 2005 dengan rencana pesawat Cassa 100 atau CN 235, Aceh dalam situasi konflik fhase II 30 x 1.800 meter rencana pembangunan tahun 2020 – 2025 dengan pesawat ATR 72 dan Fokker 28/100, fhase III 45 x 2.500 meter rencana pembangunan tahun 2025 – 2030 dengan pesawat Boeing 737 maksimum dengan perhitungan kajian kelayakan angkutan pesawat penumpang pada saat itu tidak memberikan skor yang positif sehingga untuk mendapatkan nilai yang maksimal harus dikombinasikan dengan angkutan kargo yang diperhitungkan mengangkut kargo hasil pertanian dari Kabupaten Aceh Tengah sehingga didapat rencana tahapan pembangunan yang dituangkan dalam dokumen perencanaan.

Dengan kegigihan seluruh stakeholder pada saat itu, mulai tahun 2001 melalui dana APBN dialokasikan dana pembangunan bandara Rembele yang dilanjutkan lagi dengan dana APBN tahun 2002 dan 2003 yang cukup signifikan dikucurkan oleh Departemen Perhubungan untuk kelas bandara perintis pada saat itu sehingga dapat diselesaikan pembangunan landasan pacu sepanjang 30 x 1.200 meter selesai pada bulan Maret 2003 yang siap untuk didarati pesawat.

Untuk memfungsikan bandara ini, sesuai dengan ketentuan harus dilakukan uji coba landasan (Test Flight) dan atas kerja sama Pemerintah Daerah dengan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang dimotori oleh Putra Putri Gayo yang berkarya di IPTN pada tanggal 23 April 2003 pesawat CN 235 mendarat mulus di bandara Rembele yang disaksikan oleh puluhan ribu masyarakat dengan rasa haru tumpah ruah ke bandara Rembele dan momentum ini menjadi catatan sejarah pesawat pertama sekali mendarat di daratan dataran tinggi Gayo.

Selanjutnya penerbangan Joyflight dengan menerbangkan para Kepala Desa dan tokoh masyarakat dengan durasi terbang selama 20 menit secara bergantian sebanyak 20 flight selama 4 hari berturut turut yang telah menjadi ajang pesta rakyat di bandara Rembele.

Penerbangan inilah yang menjadi cikal bakal bandara Rembele mulai melayani penerbangan perintis dimana sejak tahun 2004 untuk rute Medan – Rembele – Banda Aceh (PP) melalui dana subsidi APBN.

Sebagai catatan juga bahwa diluar kelaziman dana pembangunan yang dialokasikan Departemen Perhubungan dikelola oleh Pemerintah Daerah dari tahun 2001 s/d 2005 dan hasil hasil dokumen perencanaannya menjadi model perencanaan di Direktorat Jenderal Perhubungan Udara dan baru tahun 2006 bandara Rembele kembali dikelola secara penuh oleh Pemerintah Pusat dengan terbentuknya Satuan Kerja Pengembangan Bandar Udara Rembele Direktorat Jenderal Perhubungan Udara yang secara berkesinambungan terus melengkapi fasilitas bandara.

Selain dana APBN juga pada tahun 2003 dan 2004 dialokasikan dana dari Provinsi Aceh untuk pembuatan taxiway dan apron dan tahun 2005 mendapat dana dari BRR NAD Nias untuk pemulihan ekonomi Aceh pasca musibah Tsunami 2004 yang dialokasikan untuk perpanjangan landasan menjadi 30 x 1.400 meter.

Terjadinya gempa bumi berkekuatan 6,2 skala richter pada tangal 2 Juli 2013 yang mengguncang wilayah Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah telah meluluhlantakkan puluhan ribu bangunan rumah dan rusaknya bangunan infrastruktur lainnya yang membuat kepanikan dan lumpuhnya kehidupan masyarakat sehingga sangat membutuhkan bantuan dari pihak luar.

Bandara adalah salah satu transportasi yang cepat untuk mendistribusikan bantuan, namun akibat masih keterbatasan landasan pacu bandara Rembele pada saat itu tidak dapat didarati pesawat untuk penganggkut kargo sejenis C-130 Hercules menyebabkan bantuan yang akan dikirimkan oleh Pemerintah Pusat maupun para donatur tidak dapat disalurkan secara cepat ke daerah bencana.

Berdasarkan kondisi ini Pemerintah Kabupaten Bener Meriah menyampaikan usulan ke Pemerintah Pusat agar meningkatkan fasilitas bandara Rembele sehingga dapat didarati pesawat kargo dan dijadikan sebagai bandara mitigasi bencana wilayah tengah Aceh mengingat daerah ini merupakan daerah rawan terhadap bencana.

Usulan ini disampaikan pada saat kunjungan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke lokasi bencana pasca gempa. Alhamdullilah Presiden SBY merespon baik permohonan tersebut dan sepulangnya dari lokasi bencana Presiden langsung membicarakannya dengan Gubernur Aceh dalam pertemuannya di Arun Lhoksemawe.

Selanjunya Presiden dalam sidang kabinet memerintahkan Bappenas dan Kementerian Perhubungan untuk segera menyiapkan dana pembangunan fisik melalui dana APBN dan Pemerintah Aceh menyelesaikan dana untuk pembebasan tanah.

Tidak berselang waktu lama Direktorat Jenderal Perhubungan Udara memerintahkan Kepala Unit Penyelenggara Bandar Udara (UPBU) Rembele agar segera menyiapkan dokumen perencanaan bandara Rembele dapat dilandasi pesawat sejenis C-130 Hercules yang dibahas secara teknis di Direktorat Bandar Udara.

Tahun anggaran 2014 Pemerintah Pusat mengalokasikan dana untuk perpanjangan landasan menjadi 30 x 2.100 meter sementara secara simultan Pemerintah Aceh menyediakan dana untuk pembebasan lahan dan tahun 2015 ditambah lagi dana APBN untuk perpanjangan landasan sehingga menjadi 30 x 2.250 meter untuk dapat didarati pesawat Boeing 737 classic.

Dari hasil pengembangan Bandara Rembele, seluruh hasil pembangunannya telah diresmikan oleh Presiden Jokowi pada tanggal 2 Maret 2016 dan ini merupakan momen yang sangat berkesan karena Bandara Rembele diresmikan oleh seorang Presiden.

pada tanggal 19 Agustus 2016 dilakukan penerbangan perdana oleh operator Wings Air yang merupakan perusahaan Group Lion Air yang melayani penerbangan komorsil regular setiap hari rute Kualanamu – Rembele (PP) dan dengan tersedianya penerbangaan komersil secara otomatis penerbangan perintis yang disubsidi Pemerintah Pusat ditutup.

Apabila melihat kajian dalam masterplan pembangunan telah melewati target dalam fhase II 30 x 1.800 meter sedangkan realisasi telah mencapai 30 x 2.250 meter demikian juga tahun pembangunan mendahului 9 tahun dari target rencana fhase II tahun 2025.

Sebagaimana diharapkan pada awal perencanaan paska bencana gempa 2013 bahwa bandara ini dapat didarati oleh pesawat C-130 Hercules dan ini terlaksanan pada tanggal 25 Juli 2021 pesawat C-130 Hercules TNI AU mendarat mulus di bandara Rembele Keberadaan bandara Rembele dalam rangka uji coba pendaratan dan selanjutnya tanggal 26 Juli 2021 dua unit pesawat C-130 Hercules TNI AU mengangkut pasukan TNI Batalyon Infanteri Raider Khusus 114/SM Kodam Iskandar Muda berangkat ke Papua untuk misi Pasukan Satgas Pam Perbatasan.

Tanpa kita sadari sampai saat ini telah menerbangkan lebih dari 100 ribu lebih penumpang dari dan ke bandara Rembele dan keberadaan bandara di suatu daerah akan menjadi kebanggaan tersendiri dan menjadi posisi tawar dari suatu wilayah tersebut walaupun saat ini bisnis penerbangan sangat terpuruk akibat wabah pandemi Covid 19 yang melanda dunia, namun kita yakin transportasi udara ini akan bangkit kembali karena transportasi merupakan suatu kebutuhan.

Mendaratnya pesawat TNI AU di bandara Rembele hanya dalam misi keamanan saja, tentu dalam arti yang lebih luas dengan keberhasilan pendaratan C-130 Hercules tersebut banyak prospek kedepan yang perlu dipikirkan baik misi sosial maupun bisnis lainnya.

Menelisik hasil kajian masterplan terdahulu dengan realisasi pembangunan saat ini, masih ada PR yang tersisa untuk menyelesaikan pembangunan fhase III sehingga bandara ini nantinya dapat didarati oleh pesawat sekelas Boeing 737 secara optimal. Penyelesaian masterplan ini dikuatkan lagi dengan terbitnya hasil Review Masterplan yang telah disahkan oleh Menteri Perhubungan Nomor KM 135 Tahun 2021 tanggal 4 Juni 2021 tentang Rencana Induk Bandar Udara Rembele.

Tentu dalam merealisasikan rencana besar ini perlu keseriusan semua pihak terutama Pemerintah Daerah baik Kabupaten maupun Provinsi untuk dapat membebaskan tanah sesuai peta masterplan kebutuhan perpanjangan bandara sebagaimana yang pernah dilaksanakan tahun 2014 dan 2015 dan pada umumnya pembangunan bandara lainnya di Indonesia pembebasan lahan merupakan tugas Pemerintah Daerah sehingga mempercepat program pembangunan pusat di daerah.

Dengan tersedianya lahan yang cukup kita yakin dana APBN akan dapat direalisasikan dan dengan tersedianya fasilitas bandara yang optimal akan lebih mudah menggandeng teman, rekan bisnis, wisatawan dan lainnya datang ke Gayo yang tentu semuanya bermuara untuk kemajuan Gayo pada masa yang akan datang dan semoga mimpi mulia ini terkabul… Aamiin YRA. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.