Lebih Dari Sekedar Olahraga, Pacuan Kuda adalah Hari Raya-nya Orang Gayo

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Bagi orang non Gayo yang tidak pernah tinggal di Aceh Tengah dan Bener Meriah, sulit memahami bagaimana pentingnya event pacuan kuda dalam kehidupan orang Gayo. Rata-rata mereka menganggap event pacuan kuda hanyalah sebuah event olahraga biasa yang digemari oleh masyarakat Gayo.

Tapi bagi orang Gayo dan masyarakat non Gayo yang tinggal di seputaran Aceh Tengah dan Bener Meriah, tahu persis kalau pacuan kuda bukanlah sebuah event olahraga biasa yang bisa dilewatkan begitu saja.

Bagi masyarakat Gayo yang tinggal di Aceh Tengah dan Bener Meriah, selain hari raya Idul Fitri alias lebaran, pacuan kuda adalah sebuah event yang akan meninggalkan perasaan hampa di dalam dada, kalau dilewatkan. Sebegitu pentingnya, bahkan bagi rata-rata orang Gayo menyaksikan event pacuan kuda di kampung halaman lebih penting dibandingkan merayakan hari raya idul adha bersama keluarga.

Dalam skala tertentu, bahkan persiapan untuk menyaksikan event pacuan kuda bahkan dilakukan lebih serius daripada persiapan menghadapi hari raya idul fitri.

Di Aceh Tengah dan Bener Meriah, adalah hal yang jamak kita saksikan, di bulan Mei atau akhir April, anak-anak muda di kampung-kampung menanam “senuen mude” alias palawija, entah itu tomat, kol, jagung atau cabai. Yang kalau kita tanyakan, untuk apa?. Mereka menjawab “Ken belenye pacu kude” untuk belanja di event pacuan kuda.

Dulu, ketika saya masih SD, ketika event pacuan kuda berlangsung, sekolah-sekolah di seputaran kota Takengen hanya menjalankan proses belajar mengajar sampai pukul 10.00 pagi. Setelah itu, semua berangkat ke lapangan untuk menyaksikan pacuan kuda.

Tidak ada satu event pun di Gayo yang bisa mengumpulkan semua orang untuk berkumpul di Takengen, selain pacuan kuda. Ini yang membedakan pacuan kuda dengan hari raya Idul Fitri.

Kalau hari raya Idul Fitri orang pulang benar-benar ke kampung halamannya, entah itu Timang Gajah, Janarata, Toweren, Pegasing dan seterusnya. Tapi pada event pacuan kuda, semua orang menumpuk di Takengen. Kerabat dan anggota keluarga yang punya rumah di Takengen akan menjadi tempat “tenelen” selama event berlangsung. Atau paling tidak, dua hari terakhir pada saat semifinal dan final.

Para mahasiswa Gayo yang ada di perantauan gelisah kalau tidak bisa pulang pada saat event pacuan kuda.

Apa sebabnya?

Sebab, yang dirindukan orang Gayo saat pacuan kuda, bukan sekedar menyaksikan kuda yang berpacu merebut juara. Tapi yang dirindukan oleh orang Gayo adalah kemeriahannya, suasana gembira dan banyaknya orang berkumpul. Suasana yang mengundang datangnya para pedagang dan berbagai penyelenggara permainan.

Anak-anak kecil, yang datang ke acara pacuan kuda bahkan jarang sekali peduli pada acara pacuannya, tapi yang mereka rindukan adalah membeli balon. Dulu balon yang berbunyi ketika ditekan adalah ciri khas pacuan kuda, dulu kami menyebutnya balon “ek ok” karena bunyinya terdengar seperti itu. Naik komidi putar dan berbagai permainan lain dan makan berbagai cemilan, seperti gula kapas dan lain-lain yang hanya ada dijual orang di acara pacuan kud.

Pada momen pacuan kuda, sepanjang pinggir lapangan dipenuhi dengan warung-warung yang menjual berbagai jajanan. Selain warung itu, para pedangan acung juga juga berkeliling mendatangi keramaian untuk menjajakan dagangannya. Satu penganan khas yang hanya ada dijual di acara pacuan kuda adalah tebu yang dicucuk dengan bambu sehingga berbentuk seperti bunga dengan lima kelopak yang dijual dalam ember yang diisi air untuk menjaga kesegarannya.

Kemudian, terkait dengan adat Gayo yang menerapkan pantangan untuk menikah antara pasangan laki-laki dan perempuan yang tinggal di kampung yang sama. Menemukan pasangan di Gayo adalah sesuatu.

Dulu, ketika sekolah belum ada, karena tidak bisa menikah antara laki-laki dan perempuan yang tinggal di satu kampung dan yang masih memiliki hubungan darah atau saudara angkat. Momen untuk mendapatkan jodoh itu biasanya didapatkan ketika acara memotong padi, dengan mengundang pemuda dan pemudi dari kampung lain.

Tapi, dalam kegiatan seperti ini pilihan sangat terbatas, karena yang diundang juga tidak mungkin dari kampung yang terlalu jauh. Di samping pilihan terbatas, juga sangat mungkin masih ada hubungan kekerabatan.

Nah, Pacuan kuda menjadi ajang yang sempurna untuk mendapatkan pasangan. Untuk mendapatkan jodoh pilihan, event pacuan kuda, benar-benar ajang yang sempurna. Di event ini, orang tidak hanya bisa bertemu dengan lawan jenis dari kampung-kampung di dekatnya, tapi mereka bisa bertemu dengan lawan jenis dari kampung-kampung yang jauh.

Pemuda dari Wih Tenang Toa bisa bertemu dengan perempuan dari Pegasing atau Belang Gele misalnya, kemungkinan ada hubungan kekerabatan sangat kecil, berkenalan lalu berlanjut ke hubungan yang lebih serius.

Dan ini bukan hanya berlaku untuk pemuda kampung, mahasiswa yang berpendidikan tinggi juga sama saja. Biasanya di event pacuan kuda, mahasiswa Gayo yang kuliah di berbagai kota, membuat kantin di lapangan pacuan kuda, yang dikelola mahasiswa dan mahasiswi. Ini menjadi kesempatan untuk berkenalan dan PDKT.

Di samping mengenal dekat mahasiswa dan mahasiswi yang kuliah di kota yang sama, tidak jarang ini juga dimanfaatkan mahasiswa dari kota lain untuk PDKT pada mahasiswi yang kuliah di kota berbeda. Misalnya, kami dulu yang kuliah di Banda Aceh, tidak jarang tebar pesona di kantin yang dikelola mahasiswa dari Medan yang tergabung dalam kelompok IMAGA.

Karena itulah, saya berani bilang kalau pacuan kuda Gayo adalah event pacuan kuda terbesar dan termeriah seantero Asia Tenggara.

Untuk Indonesia, sepengetahuan saya berkeliling berbagai daerah, saya belum menemukan satu event sejenis non perayaan keagamaan yang benar-benar begitu berpengaruh dan dirindukan oleh satu kelompok masyarakat, selayaknya pacuan kuda Gayo.

Kalau dibandingkan dengan perayaan di daerah lain, momen yang paling mendekati “hype” pacuan kuda di Gayo adalah momen lebaran dan Manis Galungan bagi masyarakat Bali.

Sehingga tidaklah heran, ketika terjadi Pandemi seperti sekarang ini dan dua tahun ini sudah tidak ada pacuan kuda. Rata-rata orang Gayo merasa hampa, seperti ada sesuatu yang hilang dari dirinya. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.