Kampung Gegarang dan Misteri Lut Kucak Yang Bisa “Menghilang”

oleh
Lut Kucak Jagong Jeget

Catatan : Fathan Muhammad Taufiq*

Menyimak tulisan kakak beradik Makhmud Riyadhi dan Mahbub Fauzie di LintasGayo.co yang berkisah tentang sejarah Jagong Jeget dalam beberapa hari ini, membuat saya jadi “tergelitik” untuk ikutan menulis tentang eks pemukiman transmigrasi yang kini telah berubah menjadi “kota mini” dengan segala kemajuannya.

Sebagai “pelaku sejarah” yang terlibat langsung ikut “merukah” daerah tersebut, saya juga punya kisah tentang kampung saya yaitu kampung Gegarang, yang juga punya keunikan ketika baru dibuka pada era tahun 1982 yang lalu.

Kampung Gegarang di Kecamatan Jagong Jeget (sekarang sudah dimekarkan menjadi Kampung Gegarang dan Telegesari) merupakan Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) kedua di Kabupaten Aceh Tengah setelah UPT Jagong Jeget. UPT Gegarang mulai dibuka pada pertengahan tahun 1982 dan lokasi transmigrasi dengan kapasitas 150 kepala keluarga tersebut mulai dihuni oleh para transmigran yang berasal dari Jawa Tengah pada akhir tahun 1982 yang lalu. UPT ini merupakan satu kesatuan dengan UPT Atu Lintang yang berkapasitas 350 kepala keluarga.

Rombongan transmigran pertama yang mengisi Kampung Gegarang pada akhir bulan Oktober 1982 adalah 53 kepala keluarga (sekitar 250 jiwa) yang merupakan gabungan transmigran asal kabupaten Magelang dan Temanggung. Berikutnya menyusul 50 kepala keluarga yang berasal dari kabupaten Cilacap yang memasuki lokasi ini pada akhir bulan November 1982 dan terakhir rombongan 47 kepala keluarga asal kabupaten Semarang yang menjadi penghuni baru kampung Gegarang pada awal tahun 1983.

Pada saat baru dibuka, kampung ini masih berupa hamparan lahan dengan kayu-kayu basah berbagai ukuran yang baru ditebang, nyaris seperti tidak ada kehidupan manusia disini sebelumnya. Akses jalan yang masih begitu parah, tidak bisa dilalui kendaraan selain alat berat seperti buldozer dan backhoe, ditambah lahan yang dipenuhi batu, membuat para penghuni baru ini merasa bahwa sangat sulit memulai kehidupan baru di tempat ini.

Berbeda memang dengan lokasi di sekitarnya seperti Jagong Jeget maupun Atu Lintang yang memiliki lahan subur dengan tekstur lempung berpasir, kampung Gegarang merupakan kampung sebagian besar lahannya dipenuhi dengan batu, mulai dari kerikil sampai batu-batu besar. Batu-batu itu bukan hanya di permukaan tanah, tapi juga memenuhi kaedalaman tanah di daerah itu.

Namun kondisi ini tidak membuat warga baru itu bergeming dan tetap berusaha bertahan untuk memulai kehidupan baru disini. Sebelum berangkat dari tanah Jawa, mereka memang sudah punya tekat untuk bisa hidup lebih baik dari sebelumnya.

Begitu sulitnya akses transportasi waktu itui, sehingga untuk sekedar mencari sayuran saja, warga harus berjalan kaki sejauh 7 kilometer pulang pergi ke Jagong Jeget yang sudah terlebih dahulu dibuka sebagai pemukiman dan sudah mulai banyak orang yang menanam sayuran.

Untuk kebutuhan lain yang tidak ada di Jagong Jeget, warga gegarang terpaksa harus berjalan kaki sampai ke Isaq sejauh 35 kilometer sebelum melanjutkan perjalanan dengan kendaraan ke Takengon. Semua itu nyaris tidak pernah terbayangkan oleh warga baru yang tidak pernah menemukan kondisi seperti ini di daerah asalnya.

Tapi Allah memang Maha Adil, dibalik hamparan batu berbagai ukuran yang nyaris menutupi seluruh lahan di kampung Gegarang ini, ternyata tersembunyi lahan yang sangat subur. Ini terbukti setelah para warga mulai membersihkan lahan dan menananminya dengan berbagai jenis palawija dan hortikultura.

Tanaman jagung, talas, kacang merah, cabe, kol, labu tanah dan “senuwen mude” lainnya tumbuh subur disini. Begitu juga ketika warga kemudian menanami lahannya dengan tanaman kopi arabika, ternyata tanaman yang kemudian menjadi andalan warga sebagai penyangga ekonomi ini, dapat tumbuh dan berkembang baik disela-sela batu di kampung ini.

Bahkan belakangan, kopi dari kampung Gegarang ini dikenal sebagai salah satu kopi arabika Gayo kulaitas terbaik karena timbangannya berat dan hampir semua buahnya berisi, tidak ada yang “pesot”. Bahkan lahan rawa di bagian bawah kampung, sekarang juga sudah berupah menjadi hamparan sawah yang mampu menghasilkan beras untuk memenuhi kebutuhan pangan warga setempat.

Dan berkat usaha pertanian ini, sekarang kehidupan lebih dari 80 persen warganya sudah boleh dibilang sejahtera, demikian juga dengan pendidikan anak-naka dari kampung ini, sudah banyak lahir para sarjana S1 bahkan S2 dari kampung “diatas batu” ini.

Tidak banyak referensi tentang nama kampung Gegarang ini, selain cerita dari mulut ke mulut yang sudaha lama beredar di kalangan masyarakat Gayo khususnya di daerah Isaq.

Nama kampung Gegarang sendiri sudah ada jauh sebelum para perantau asal Jawa Tengah ini mengisi lokasi yang waktu itu masih berupa tebangan hutan baru dengan tumpukan kayu dengan berbagai ukuran diameter.

Konon nama Gegarang sendiri ditabalkan oleh masyarakat Gayo yang dulu sering berburu dan mencari ikan di daerah ini lantaran di daerah ini, terutama di bagian bawah kampung yang berupa rawa-rawa, banyak ditumbuhi Gegarang (Mentha aquatica), salah satu jenis tumbuhan yang sering digunakan sebagai pelengkap dan penyedap masakan ikan.

Ada juga literasi tentang kampung Gegarang ini yang berasal dari buku karangan “Tengku Poteh” Snouck Horgronye sebagaimana disebut dalam tulisan Mahbub Fauzie ( Baca : Asal Usul Jagong Jeget (Sejarah Singkat) di LintasGayo.co edisi 24 Juli 2021). Tentang kebenaran cerita asal usul nama Gegarang ini, sampai sekarang belum ada referensi yang bisa dibuat sebagai acuan.

Misteri Lut Kucak Gegarang

Terlepas dari asal usul nama kampung Gegarang, ada cerita unik tentang kampung ini ketika baru dibuka sebagai pemukiman. Pada waktu lokasi calon lahan pertanian bagi para transmigran itu masih berupa hutan yang baru sebagiannya di tebang.

Sementara di bagian bawah kampung yang berupa rawa-rawa dan bukan bagian dari lokasi lahan yang diperuntukkan bagi para penghuni baru itu, masih berupa belukar yang ditumbuhi oleh rumput Prumpungan (Bahasa Gayo : Pelu) yang tingginya mencapai tiga meter lebih. Lokasi tersebut merupakan wilayah yang nyaris belum pernah dijamah oleh orang sebelumnya.

Uniknya, kalau dilihat dari bagian atas Kampung Gegarang, akan terlihat sebuah danau kecil ditengah rerimbunan batang Pelu tersebut, tapi anehnya ketika tempat itu didatangi oleh beberapa orang yang penasaran dengan keberadaannya, danau itu seolah “menghilang”. Sampai beberapa bulan rasa penasaran warga baru kampung Gegarang akan keberadaan danau ‘misterius” itu belum juga terjawab.

Bahkan dengan bantuan penduduk asli ya ng berasal dari seputaran Isaq pun, danau kecil yang belakangan dikenal sebagai “Lut Kucak Gegarang” ini masih tetap menjadi misteri yang tidak terpecahkan.

Bahkan dari cerita mulut ke mulut yang bererar, kemudian muncul rumor kalau danau kecil itu merupakan danau “siluman” yang angker dan, hanya bisa dilihat dari jauh tapi ketika didatangi akan “menghilang”. Tapi romor itu bagia sebagian warga justru memancing rasa ingin tau dan ingin membuktikan bahwa keberadaan danau itu nyata adanya.

Rasa penasaran itu juga ikut membebani fikiran saya yang kebetulan juga merupakan anak dari seorang penghuni pertama kampung ini. Setiap pergi ke bagian atas kampung yang lokasinya memang bertopografi miring itu, danau kecil itu jelas terlihat memantulkan cahaya matahari di pagi dan sore hari, tapi danau itu seolah “lenyap” ketika saya dan kawan-kawan mendatangi tempat yang kami duga kuat sebagai lokasi danau tersebut. Yang kami temukan disitu hanyalah hamparan tanaman Pelu yang tumbuh rapat meninggi sehingga tidak bisa dilalui.

Meski sudah berbulan-bulan belum berhasil menemukan danau kecil itu, namun dalam fikiran saya tetap yakin kalau danau itu nyata adanya, bukan sekedar “penampakan” sebagaimana cerita beberapa orang dari Isaq. Akhirnya saya mulai berfikir kalau danau itu berada ditengah-tengah rimbunan batang pelu itu, hanya saja karena sulit untuk menembusnya, seolah-olah danau itu memang misterius dan tidak bisa dijamah.

Dengan prediksi bahwa danau kecil itu berada ditengah-tengah hamparan tumbuhan Pelu itu, saya berusaha meyakinkan teman-teman untuk bisa menemukan danau aneh itu. Dipandu oleh beberapa orang dari kampung Isaq, berbekal peralatan seperti parang, cangkul dan kapak, akhirnya kami, termasuk ayah saya ( Bapak M. Taufiq) mulai membabat batang-batang Pelu itu dan membuat semacam terowongan yang belum kami tau berapa panjangnya.

Ternyata dugaan saya benar, setelah membabat dan membuat terowongan sekitar satu kilometer, samar-samar mulai terlihat kilatan cahaya yang terpantul dari genangan air. Meski tangan kami habis melepuh akibat memegang parang untuk membabat batang-batang Pelu yang keras (karena tidak pernah ditebang) dan kaki kami terluka oleh tajamnya batang pelu yang habis ditebang, tapi rasa perih di tangan dan kaki itu terasa terobati setelah kami akhirnya menemukan danau kecil yang misterius itu.

Berair jernih, dengan luas sekitar 6 hektar, danau itu memang dikelilingi oleh ribuan batang Pelu dan pinggirnya berlumpur dalam, nyaris tidak bisa dilalui. Meski belum berhasil mengelilingi danau kecil itu, tapi rasa penasaran kami sudah terobati, karena sudah berhasil menemukan danau yang “hilang” itu setelah lebih 4 bulan kami mencarinya. Apalagi ratusan ikan Pedih/Gegaring kemudian muncul berbaris dipermukaan danau seolah mengucapkan “selamat datang” kepada kami.

Waktu itu kami belum berfikir untuk menangkap ikan-ikan itu. Sebagian dari kami beranggapan ikan-ikan itu bukan ikan sebenarnya, tapi ikan siluman, karena jumlahnya sangat banyak dan sepertinya tidak takut didekati manusia. Tapi logika saya mengatakan bahwa itu merupakan ikan endemik yang sudah menghuni danau kecil itu selama puluhan bahkan ratusan tahun.

Dan prediksi saya benar, danau itu berisi ribuan ikan, bukan hanya Gagaring, tapi juga Keperas Tue bahkan Denung (Sidat). Melihat peluang untuk mendapatkan sumber protein gratis yang sudah disediakan oleh alam, kamipun mulai mencoba mengekploitasi danau itu secara tradisional menggunakan pancing-pancing sederhana, karena kami juga punya prinsip kelestarian ekosistem danau itu juga harus kami jaga supaya bisa terus memberi manfaat bagi kami.

Awalnya ikan-ikan itu tidak mau menyentuh umpan pancing kami, tapi lama-lama setelah “damal”, pakan berupa ubi dan jagung rebus bisa jadi umpan andalan kami untuk mengambil ikan dari danau sekedar untuk lauk kawan nasi. Selama bertahun-tahun, sebagian warga kampung Gegarang (yang punya hobi memancing) bisa menikmati hasil pancingan di Lut Kucak itu, warga sepakat untuk tidak menggunakan jala atau jaring (doran) untuk menangkap ikan di danau tersebut.

Tapi sekali-kali ada juga oknum nakal yang melanggar kesepakatan tidak tertulis ini, bahkan kami sempat kecolongan ada orang entah dari mana, menebar racun di danau ini sehingga ratusan ikan “buntang” dan mebusuk di permukaan danau.

Tapi seiring dengan waktu, penduduk kampung Gegarangpun terus bertambah dan banyak juga warga lokal dari kampung-kampung lain yang kemudian menetap di kampung ini, Lut Kucak pun sedikit mengalami “degradasi”. Keliling danau yang berupa tumbuhan pelu itu sudah tidak ada lagi, sudah berubah menjadi kebun bahkan sebagian sudah digarap menjadi sawah.

Ikan Gegaring yang dulu sering “bedaring” di permukaan danau, nyaris tidak pernah terlihat lagi, begitu juga dengan Keperas Tue yang mulai langka. Degradasi itu mulai terjadi sejak pemerintah daerah melakukan restoking dengan menebarkan jenis ikan Mas/Bawal dan Nila ke danau itu bebarapa tahun setelah danau itu terbuka.

Populasi ikan mas dan nila yang begitu cepat, membuat ikan endemik danau kecil itu mulai tersisih dan jarang ditemui. Dari segi ekonomi mungkin itu sebuah keuntungan, tapi semakin langkanya ikan endemik di danau itu juga sebuah kerugian.

Debit air yang mulai mengecil dan semakin banyaknya lumpur serta mulai hidupnya eceng gondok yang menutupi permukaan danau, membuat Lut Kucak semakin menyempit, hanya tinggal setengah dari luas awalnya.

Sepertinya harus ada upaya normalisasi untuk mengembalikan keaslian danau itu itu seperti waktu pertama kali kami temukan, karena asest ini bisa dikelola menjadi destinasi wisata yang tantunya akan memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat. Meski sampai saat ini masih banyak para pemancing mendatangi danau ini, namun sepertinya danau ini sudah kehilangan keasriannya.

Sebagai salah seorang “penghuni pertama” kampung ini, saya merasa bahwa harus ada gerakan untuk mengembalikan ekosistem Lut Kucak sebagai habitat ikan endemik yang mulai langka. Selain akan mengembalikan keindahan danau kecil ini, upaya normalisasi danau juga akan bermanfaat untuk pengembangan wisata di daerah ini, apalagi saat ini infrastruktur jalan menuju daerah ini juga sudah sangat bagus, tentu ini akan menjadi potensi yang luar biasa. Semoga angan-angan saya untuk mengembalikan “marwah” Lut Kucak Gegarang mendapat respon dari berbagai pihak.

Meski Gegarang sudah lama saya tinggalkan dan kini berdomisili diseputaran kota Takengon, namun Gegarang (dan Telegesari) tetaplah kampung saya, karena disana masih ada kedua orang tua dan adik-adik saya serta teman-teman seperjuangan dimasa susah dulu. Di kampung ini saya banyak belajar tentang makna hidup dan kehidupan serta pahitnya perjuangan untuk merubah nasib. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.