Kisah Penyintas : Jangan Bercanda Dengan Covid-19

oleh

Masih banyak yang beranggapan Pandemi Covid-19 yang telah menyebar seantero donya sebagai hoaks. Padahal, pandemi ini sudah berjalan lebih dari setahun yang telah memakan banyak korban. Lain lagi, banyak yang percaya dengan segala bentuk konspirasinya dan kabar negatif. Isu ini merupakan hal konyol, namun tetap saja banyak yang percaya.

Kombinasi hoaks dan rendahnya pola penanganan yang dilakukan saat ini menjadikan virus ini semakin merajalela hingga menjadi kritis. Bahkan, lingkungan sekitar kita saat ini dimana masih ada warga yang menjaga dan taat akan ptotokol kesehatan seakan frustasi menghadapi lingkungan sekitarnya yang termakan isu miring yang disebar di media-media sosial.

Disini, LintasGAYO.co akan mencoba berbagi pengalaman dari salah seorang penyintas yang berhasil bertahan hidup dari ganasnya Covid-19. Win Wan Nur seorang penyintas Covid-19 di Kabupaten Aceh Tengah kepada LintasGAYO.co beberapa waktu lalu bercerita, dirinya dinyatakan terpapar Covid-19 pada 5 Juli 2021 lalu.  Menurut Win Wan Nur, sepekan sebelum ia dinyatakan positif terpapar Covid-19 dirinya sudah merasakan gejala-gejala yang tak biasa.

“25 Juni 2021, tepat sehari setelah hari ulang tahun saya ke 47, malam itu saya merasa menggigil, biasanya cukup satu selimut, ini. Sege, kata orang Gayo. Saya pikir itu hanya flu biasa, saya beli obat flu yang dijual bebas di kede di depan rumah. Gejala flu-nya mereda. Badan saya lebih enak, malamnya saya pergi ke Banda Aceh,” cerita Win Wan Nur.

Dikatakan, di Banda Aceh, badan tetap tidak enak dan dirinya tetap mengkonsumsi obat flu yang dijual bebas. “Biasanya, kalau saya minum obat itu, paling lama dua hari gejala flu langsung hilang. Apalagi ini, saya sudah dua tahun lebih tidak pernah sakit, bahkan sekedar pilek, jadi biasanya minum obat itu langsung sembuh,” katanya.

“Tapi ini di Banda Aceh, saya belum merasakan kesembuhan. Tinggal di Ulee Kareng, di rumah adik saya, saya yang biasanya tidur kepanasan melepas baju kalau ruangan tidak ber-AC malah harus tidur mengenakan jaket tebal ala Takengen. Kepala saya pusing, selera makan hilang, makan satu piring nasi saja sudah perjuangan berat, karena rasanya ingin keluar,” tambanya.

Persendiannya mulai sakit, badan rasanya seperti dipukuli orang sekampung. Beberapa hari kemudian, Win mulai diare dan tiap malam mimpi buruk. “Saya merasa seperti didatangi dua kelompok orang. Satu kelompok ingin membunuh saya dan satu lagi ingin menyelamatkan. Saya mencoba menghilangkan mimpi buruk itu dengan cara memikirkan hal-hal lain yang sama sekali tidak berkaitan, tapi tidak berhasil, mimpi buruk itu tetap datang dengan variasi scene dan waktu yang berbeda-beda,” ujarnya.

Menyadari keadaan seperti itu, Win memilih pulang ke Takengon. Dalam angkutan yang ia tumpangi, sebisa mungkin untuk tidak melepas masker saya sepanjang perjalanan. Takut kalau-kalau dirinya sebenarnya terkena Covid dan menulari penumpang lain.

“Untuk tempat duduk sendiri, saya memilih tempat duduk yang terisolasi sendirian di belakang. Untungnya, tidak begitu banyak penumpang hari itu. Sebelum sampai di Takengon, karena sudah curiga kalau saya terpapar Covid-19, saya menelpon adik saya untuk menyiapkan rumah kosong yang biasanya kami gunakan untuk masak-masak untuk besinte, sebagai tempat untuk saya tidur malam itu. Saya takut menulari ayah saya yang sudah berusia 74 tahun dan belum divaksin dan juga anak-anak di panti asuhan yang kami asuh di kampung Dedalu,” katanya.

Tiba di rumah itu, sekitar pukul 4 pagi, keadaannya sudah payah. “Di rumah itu, karena saya katakan, saya sudah mulai susah bernafas. Adik saya sudah menyiapkan satu tabung oksigen dan alat penguapan nebula,” ujarnya.

“Ketika hari sudah terang, adik saya membelikan nasi gurih untuk sarapan yang diletakkan di meja di luar rumah. Dua jam lebih saya coba makan, saya hanya mampu menghabiskan seperempat porsi sarapan favorit saya ini. Pagi itu juga saya menyadari kalau daya penciuman saya sudah hilang sama sekali,” lanjut Win.

Ia pun dikontrol oleh sang adik melalui video call. Dan akhirnya memutuskan untuk membawa petugas medis untuk melakukan test SWAB kepada dirinya. “Sekitar pukul 10.00 pagi, petugasnya datang dan tak perlu waktu lama, hasil test-nya langsung keluar dan benar, saya sudah terpapar Covid -19,” kata Win.

“Saya bolak-balik datang ke dan tinggal di daerah yang parah terpapar Covid-19, Bali yang dipenuhi turis asal Tiongkok di awal pandemi, Jakarta yang tinggal penularannya paling tinggi. Semua bisa saya lewati. Tapi, justru di Takengen, kota yang sejuk di ketinggian 1250 meter dari permukaan laut tempat di jantung Provinsi Aceh, yang penduduknya tak lebih banyak dari Ubud plus Gianyar, di kota yang selama dua tahun terakhir bisa dikatakan hampir tak pernah disinggahi warga asing inilah saya terpapar Covid -19 yang menjadi momok bagi semua orang, sejak sekitar dua tahun belakangan ini,” ungkapnya.

Kemudian, petugas yang sama kemudian memeriksa Saturasi (kadar oksigen dalam darah) dan keluar angka 89. Karena berdasarkan pengalaman, orang yang selamat melewati serangan Covid biasanya adalah orang-orang yang memiliki saturasi di atas 92 dan usia di bawah 60 tahun.

“Sementara saturasi saya sudah di bawah itu, tanpa pikir panjang keluarga memutuskan untuk membawa saya ke rumah sakit. Sebab kalau diisolasi mandiri, oksigen yang dipasok dari tabung oksigen di tempat kami tidak akan mampu menaikkan saturasi oksigen saya. Dan saya harus dibawa ke Rumah Sakit Datu Beru,” bebernya.

Tiba di Datu Beru, karena jadwal test PCR hari itu sudah berakhir. Di sana dada saya di rontgen, lalu saya yang secara medis statusnya masih “suspect Covid-19” dimasukkkan ke ruang perawatan transisi.

“Hanya satu ruangan tersisa, ruang nomer 4, nomer yang sangat dihindari oleh orang Tionghoa, Jepang dan Korea karena dianggap pembawa sial karena dalam huruf kanji angka itu berarti Mati. Di sini saya diberikan oksigen terus menerus, diinfus, diberi infus paracetamol untuk mengurangi gejala demam, ditambah beberapa suntikan obat yang saya tidak paham apa,” kenangnya.

Setelah menerima beberapa tindakan medis, melalui injeksi dan berbagai macam obat yang diminum, mulai dari penambah nafsu makan, vitamin, anti mual sampai pereda rasa sakit, Win mulai merasa agak mendingan.

“Tapi, tengah malam saya terbangun dan rasa sakit di kepala mulai menyerang kembali, saya kembali menggigil. Adik saya memberi saya paracetamol, sedikit membantu tapi saya tetap menggigil. Saya mencoba memejamkan mata, beberapa kali berhasil, tapi begitu mata terpejam. Mimpi buruk yang sama seperti yang sudah saya alami sekitar seminggu datang kembali, membuat saya tidak bisa tidur dengan tenang. Malam berikutnya saya mendapat perawatan dengan infus paracetamol yang lebih banyak, agak mendingan, tapi krisis belum lewat,” kata Win.

Sementara itu, kadar saturasinya masih belum stabil. Pernah mencapai 97, tapi kemudian turun lagi ke 90 bahkan 89. “Hari selasa 5 Juli 2021, jadwal tes PCR di Datu Beru, saya dites dan dipastikan kalau saya memang terpapar Covid – 19, lalu saya pun dimasukkan ke ruang isolasi di ruang Melur lantai dua. Dan saudara-saudara, kamar yang saya dapat adalah kamar nomer 14,” katanya.

Di ruangan inilah dirinya menghabiskan waktu sampai sembilan hari kemudian untuk pemulihan. Beberapa pasien yang masuk di hari yang sama dengan dirinya, satu per satu mulai meninggalkan ruang isolasi.

“Sementara saya, meski sudah tidak demam, diare, mimpi buruk dan kemampuan indera penciuman sudah mulai kembali, tapi merasakan kesulitan bernafas tiap melakukan kegiatan fisik sekecil apapun, sebut misalnya ke kamar kecil. Yang paling berat itu, selepas bangun dari sujud. Nafas langsung terengah-engah. Ternyata menurut dokter yang memeriksa, virus Covid-19 sudah menyerang paru-paru saya,” terang Win.

“Kemudian dokter menyuruh saya untuk lebih aktif berjalan-jalan. Maka sayapun jalan mondar-mandir di ruang isolasi, yang saya hitung dengan Pacers, aplikasi penghitung langkah di smart phone, hari itu saya berjalan sejauh 1,3 km. Setelah melakukan apa yang diminta dokter, saya merasa agak mendingan dan akhirnya 14 Juli 2021, saya diperbolehkan pulang untuk melanjutkan isolasi mandiri,” lanjutnya.

Dari pengalaman ini, seburuk apapun. Dirinya merasa diri saya masih sangat beruntung karena, ketika dirinya benar-benar membutuhkan, ketika saturasi drop sampai 89 dan tingginya tingkat penularan Covid 19 di Aceh Tengah yang membuat pasien membludak.

“Saya masih berhasil mendapatkan satu tempat di ruang perawatan rumah sakit Datu Beru, sehingga saya masih bisa mendapatkan pasokan oksigen untuk meningkatkan saturasi saya,” katanya.

Seandainya saat itu rumah sakit penuh,atau seandainya saya tinggal di Jamat, Pamar atau Samarkilang, bukan di Dedalu yang hanya sepelemparan batu dari RSU Datu Beru.

“Jelas, hari ini anda semua tidak akan pernah membaca tulisan ini, karena sejak dua belas hari sebelumnya, grup WA, beranda media sosial milik kerabat dan sahabat saya sudah dipenuhi ucapan “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun”, “Semoga khusnul khatimah” “Semoga dilancarkan, dilapangkan, diampunkan dan ditempatkan di tempat yg baik di sisi Allah”, “Semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan serta keikhlasan” , “RIP” , “Amor ing acintya” dan berbagai stiker artistik bernada simpatik dengan emoticon sedih,” kata Win Wan Nur.

Disampaikan lagi, saat dirinya telah dinyatakan sembuh, seorang sahabatnya dulu di UKM PA Leuser Unsyiah yang kini menjadi Kolonel Paskhas TNI AU Yasir Arafat, yang terpapar Covid dan masuk ruang perawatan di waktu yang bersamaan dengan dirinya, tidak berhasil melewati krisis. “Dan akhirnya sahabat saya ini menghembuskan nafas terakhir di RSAU Halim Perdana Kusumah. Innalillahi wa Inna Ilaihi Rajiun, selamat jalan kawan,” kata Win Wan Nur.

Ia pun berpesan, kepada para pembaca LintasGAYO.co yang budiman, apa yang ingin disampaikan melalui tulisan ini adalah Covid – 19 itu nyata, jangan meremehkan makhluk satu sel ini.

“Tetaplah taati prosedur kesehatan. Sebab bisa jadi saat ini anda beruntung imun sedang bagus, sehingga ketika terpapar pun tidak ada gejala. Tapi bagaimana kalau di rumah, adik, anak, kakak, bapak atau ibu anda kebetulan imunnya sedang turun seperti saya. Bagaimana kalau dalam situasi itu ternyata rumah sakit sedang penuh? Sanggupkah anda memperjudikan hidup dengan taruhan semahal itu?” Tandas Win Wan Nur.

[Darmawan]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.